Renungan Minggu: Memulai Yerusalem Surgawi dari Kasih yang Dihidupi

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat saat derap langkah kecil terdengar di pelataran gereja. Di antara dedaunan yang berembun, suara lirih doa mengalun dari mulut seorang ibu tua.
Ia duduk bersila di bawah pohon flamboyan. Tangannya terlipat. Matanya tertutup. Namun jiwanya menghadap ke satu titik yang tak terlihat: Yerusalem surgawi.
Advertisement
Dua kata yang sakral di ujung sana. Sebuah impian abadi yang dijanjikan dalam kitab Wahyu, namun bisa dimulai di sini saat ini. Ya, di bumi yang luka ini.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pertanyaan ini menggema dalam hati orang-orang beriman: Bagaimana kita bisa hidup dalam kasih di tengah perbedaan yang nyata?
Jawabannya tidak hanya ditemukan di forum-forum wacana sosial. Namun bisa didapati dalam naskah-naskah kudus yang menghidupkan, yakni Kitab Suci.
Yesus, dalam Yohanes 14:23, tak pernah menuntut keseragaman. Ia justru mengajarkan: “Jika seseorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku. Bapa-Ku akan mengasihi dia, dan Kami akan datang dan diam bersamanya.”
Maka kasih, bukan penyeragaman. Kasih adalah syarat kehadiran ilahi.
Keberagaman dalam Gereja Awal
Kisah Para Rasul 15 mencatat sebuah peristiwa penting dalam sejarah Gereja; Konsili Yerusalem. Kala itu, perbedaan latar belakang budaya dan praktik antara umat Kristen Yahudi dan non-Yahudi menjadi sumber ketegangan.
Apa yang harus dilakukan? Haruskah semua pengikut Kristus disunat seperti tradisi Yahudi? Haruskah hukum Taurat dipaksakan secara mutlak?
Yang mengejutkan adalah respons para rasul. Mereka tidak melakukan penghakiman, melainkan kompromi kasih.
Mereka juga tidak menghapus identitas, namun menjembataninya. Hukum kasih menjadi fondasi solusi. Empat ketetapan dibuat bukan sebagai syarat keselamatan, tetapi sebagai bentuk kepekaan terhadap komunitas yang lebih luas. Mereka memilih keharmonisan, bukan dominasi.
Paulus: Kebebasan dalam Kasih, Bukan Ego
Paulus, dalam surat-suratnya (1 Korintus 8 & 10; Roma 14), menulis dengan nada lembut namun penuh kuasa: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi tidak semuanya berguna.”
Kebebasan, katanya, bukan untuk diri sendiri. Kebebasan untuk kebaikan bersama.
Bagi Paulus, kasih bukan sekadar perasaan. Ia adalah prinsip etika spiritual yang membuat seorang percaya sanggup menahan keinginan pribadi demi membangun tubuh Kristus.
“Jika makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku tidak akan makan daging selama-lamanya,” tulisnya.
Dalam konteks dunia modern, ini adalah seruan untuk tidak memaksakan kehendak atas nama iman. Tapi juatru merangkul dalam kasih yang peka.
Roh Kudus, Penuntun di Tengah Kompleksitas Dunia
Yesus tidak hanya meninggalkan perintah. Dia juga penghiburan.
Dalam Yohanes 14, Dia menjanjikan Roh Kudus, sang Pengingat dan Pengajar yang hidup.
Di tengah dunia yang kompleks, dengan perbedaan tak terhindarkan, Roh Kudus adalah suara lembut. Suara yang membimbing kita menerjemahkan kasih dalam tindakan.
Ia membisikkan bijaksana saat kita dihadapkan pada konflik. Ia menguatkan ketika kita harus memilih jalan pengampunan. Ia menegur ketika ego hendak menang atas cinta. Maka hidup dalam Roh adalah hidup dalam dialog terus-menerus dengan kasih.
Yerusalem Baru, Sebuah Panggilan
Dalam Wahyu 21, Yohanes melihat Yerusalem surgawi: kota suci yang bersinar bukan dari lampu, tetapi dari kemuliaan Allah. Di kota ini, tidak ada lagi tangis, tidak ada lagi maut.
Namun satu detail penting menyentuh: “Aku tidak melihat Bait Suci di dalamnya, sebab Allah dan Anak Domba adalah Bait-Nya.”
Yerusalem baru bukan sekadar tempat, melainkan keadaan jiwa dan komunitas yang telah diperbarui oleh kasih. Dan janji itu bukan hanya eskatologis, tetapi juga eksistensial.
Ketika kasih menjadi dasar hidup kita, Yerusalem itu mulai tumbuh, tak terlihat, namun terasa: dalam keluarga yang saling mengampuni, dalam komunitas yang merangkul, dalam gereja yang terbuka.
Membangun Yerusalem dari Dalam
Mewujudkan Yerusalem surgawi tidak dimulai dari revolusi besar. Ia tumbuh dari tindakan kecil yang didasari kasih.
Dari kesediaan mendengarkan alih-alih menghakimi. Dari keberanian memaafkan alih-alih membalas. Dari membangun bukan dengan kekuasaan, tapi kelembutan.
Ketika kasih menjadi hukum yang kita hidupi, maka dinding pemisah mulai runtuh. Perbedaan tak lagi menakutkan, namun menjadi ruang perjumpaan. Di sanalah Allah berkenan tinggal.
Dan ketika dunia melihat kasih itu menyala, Yerusalem baru pun mulai hadir. Bukan hanya di awan-awan jauh, tapi di tengah kita. Bukan nanti, tapi saat ini juga. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |