
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dalam hening yang tenang, ketika dunia baru saja membuka matanya pada pagi yang segar, Gereja merayakan sebuah misteri; Hari Tritunggal Mahakudus.
Hari itu bukan perayaan rumus dogmatis atau spekulasi teologis. Bukan pula sekadar pengakuan bahwa Allah adalah satu dalam tiga pribadi. Yang pasti, hari itu adalah undangan untuk menyelami hal yang paling dasar dan paling dalam dalam iman Kristiani, yakni kasih.
Advertisement
Ya, kasih yang kekal. Kasih yang mengalir. Pula, kasih yang menyelamatkan.
Di dalam Injil Yohanes 17:20–26, kita mendapati Yesus yang sedang berdoa. Bukan doa biasa. Tapi doa dari suara hati Sang Putra. Untaian kata kepada Bapa-Nya menjelang penderitaan.
Di situ, Yesus tidak hanya berdoa untuk para murid yang berada di hadapan-Nya semata. Juga “bagi mereka yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka.”
Itu artinya kita. Ya, kita semua. Kita yang sudah hidup dalam jangkauan kasih-Nya, bahkan sebelum kita mengenal nama-Nya.
Kasih yang Bermula dalam Tritunggal
Yesus berkata, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau.”
Kalimat ini sederhana, namun mengandung kedalaman tak terukur. Ia menyingkapkan bahwa kasih bukan berasal dari manusia. Kasih bukan produk budaya atau hasil dari kebaikan moral.
Kasih adalah realitas Ilahi. Kasih mengalir dari relasi kekal antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Tritunggal bukan hierarki. Ia adalah komunitas kasih sempurna. Tidak ada dominasi. Tidak ada kepentingan diri. Hanya kerelaan memberi diri sepenuhnya satu sama lain.
Dalam kasih Tritunggal, Allah tidak berdiam dalam keagungan-Nya. Tetapi keluar. Menjangkau, menyelamatkan.
Kasih-Nya turun ke bumi, mengambil rupa manusia dalam diri Yesus Kristus, dan melalui Roh Kudus, tinggal dalam hati setiap orang percaya.
Kasih Allah bukanlah empati dari kejauhan. Ia turun dan menyentuh luka manusia. Ia mengangkat yang tertindas, memulihkan yang patah, dan menghidupkan yang mati. Tapi kasih itu juga menuntut tanggapan.
Yesus berkata, “Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku…” (Yoh 14:23).
Maka tanda kasih bukanlah kata-kata yang manis, melainkan ketaatan yang setia. Di meja makan bersama keluarga. Di tempat kerja yang penuh tekanan. Di komunitas yang berbeda pendapat. Di sanalah kasih diuji, dan di sanalah kasih menjadi nyata.
Kesatuan sebagai Wajah Kasih Tritunggal
Yesus tidak hanya memohon agar kita dikasihi, tetapi juga agar “mereka menjadi satu.” Kesatuan bukan keseragaman, melainkan persekutuan yang dijiwai oleh kasih.
Dunia saat ini sudah terlalu sering melihat perpecahan, pertentangan, dan persaingan. Maka yang dibutuhkan adalah kesaksian hidup yang bersatu dalam kasih. Inilah Injil yang paling hidup.
Contohnya nyata dalam kisah St. Stefanus, yang bahkan di ujung nyawanya tidak menyimpan dendam. Ia berdoa: “Tuhan, jangan tanggungkan dosa ini kepada mereka.”
Contoh di atas adalah kasih yang sejati. Kasih Tritunggal yang hidup dalam diri manusia. Kasih yang tidak membalas, kasih yang menyentuh dan menyembuhkan.
Kitab Wahyu memberi kita harapan: “Sesungguhnya Aku datang segera.” Tapi bukan dalam nada ancaman, melainkan dalam nada cinta: “Roh dan pengantin perempuan berkata: Marilah!” (Why 22:17).
Di ujung segala sesuatu, kita tidak akan disambut oleh penghakiman kering, tetapi oleh pelukan kasih yang abadi. Allah menanti kita dalam perjamuan kekal, dan setiap hari Ia mengetuk hati—siapkah kita menyambut kasih-Nya?
Kasih Itu Tak Pernah Diam
Kasih Allah tidak boleh berhenti pada kita. Ia harus mengalir. Di dunia yang begitu cepat menghakimi, kasih Kristus mengajarkan pengertian. Di masyarakat yang mudah memutuskan relasi, kasih Allah merajut kembali yang retak. Dan kasih itu hadir melalui kita: manusia lemah, namun dipenuhi oleh Roh Kudus.
Yesus berkata, “Dengan demikian semua orang akan tahu bahwa kamu adalah murid-Ku: jika kamu saling mengasihi.” Maka, perayaan Tritunggal Mahakudus bukan hanya tentang misteri Allah di surga, tetapi tentang bagaimana kita hidup di bumi—sebagai wajah kasih Allah yang terlihat.
Kasih Tritunggal adalah kasih yang bergerak. Dari kekekalan menuju dunia. Dari hati Allah menuju hati manusia. Dan kini, dari hati kita menuju hati sesama.
Di tengah zaman yang penuh kegaduhan, semoga hidup kita menjadi tempat di mana orang lain bisa mengenali; inilah rumah kasih, inilah wajah Allah.
Dan saat dunia bertanya tentang siapa Allah itu, semoga kita tak hanya menjawab dengan kata, tetapi dengan hidup yang berkata:
“Allah itu kasih—dan kasih itu sedang mengalir lewat aku.” (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rifky Rezfany |