Gaya Hidup

Life Begin at 50

Senin, 09 Juni 2025 - 07:07 | 9.92k
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Life begin at 50. Kata ini begitu populer saat Oprah Winfrey dalam acara Talk Show yang digawanginya  sering membahas ini pada 2000 an. Ia mempopulerkan angka 50 sebagai usia “pencerahan kedua”. Lalu, ucapan wanita luar biasa ini menjadi semacam keyakinan pada banyak orang.

Banyak yang meyakini kebetulan itu menjadi kebenaran. Mereka memandang, lima puluh tahun bukan sekadar angka. Ia adalah musim yang telah melewati begitu banyak fajar dan senja. Ia menandai bukan hanya usia tubuh, tetapi usia kesadaran. 

Advertisement

Dan pada angka itu, hidup tak lagi diukur dari panjangnya hari yang dilalui. Tetapi dari dalamnya makna.

Ada yang berkata, usia setengah abad adalah saat segala hal mulai perlahan. Namun justru di sanalah letak keajaiban: ketika segala sesuatu tak lagi diburu, tapi mulai dihayati. 

Tak perlu lagi membuktikan siapa diri di hadapan dunia. Cukuplah menjadi diri sendiri. Diri yang hadir utuh. Terpenting, hadir dan tahu arah.

Langkah-langkah mungkin tak lagi secepat dulu. Rambut telah memutih, dan napas sesekali perlu jeda. Tapi semangat yang tumbuh di usia itu tak lagi dibakar oleh ambisi, melainkan oleh pengertian. Usia 50 bukan senjakala, melainkan cahaya yang baru menemukan sudut jatuhnya.

Di usia ini, manusia mulai mengerti bahwa keberhasilan bukanlah apa yang dimiliki. Namun keberhasilan adalah apa yang telah diberikan. Bahwa kebahagiaan bukan tentang dipuja, melainkan tentang berguna. 

Dan, akhirnya hidup pun tak perlu bising untuk menjadi berarti.

Pagi hari di sebuah desa pegunungan, embun yang menetes di ujung daun lebih membekas daripada gemuruh tepuk tangan dari panggung. Suara ayam, denting sendok di dapur, senyum istri yang sederhana hadir menyapa. 

Semua menjadi keajaiban kecil yang dulu terlewatkan karena sibuk mengejar yang besar.

Umur 50 adalah ruang untuk pulang. Pulang ke diri sendiri. Pulang ke rumah yang selama ini ditinggalkan oleh pikiran yang selalu ke depan. Oleh hati yang terlalu penuh harapan. Oleh waktu yang tak pernah cukup.

Namun tak berarti usia ini adalah akhir. Justru sebaliknya. 

Di sinilah hidup benar-benar dimulai. Ketika segala yang semu telah gugur, yang tersisa adalah yang sejati. Yakni, cinta yang tulus, doa yang pelan, dan karya yang lahir dari kesadaran.

Hidup memang tak selalu sesuai rencana. Banyak hal yang belum tercapai. Banyak luka yang belum sembuh. Tapi semua itu tak lagi menjadi beban. 

Karena yang utama bukan seberapa sempurna perjalanan itu. Yang utama justru seberapa dalam ia dijalani.

Ada masa ketika segalanya terasa ingin segera selesai. Ingin segera sampai. Tapi usia 50 mengajarkan bahwa hidup bukan perlombaan. Ia adalah taman yang harus disiram setiap hari, meski bunga belum tentu mekar esok pagi.

Dan dalam taman itu, ada satu pohon paling bijak. Pohon harapan.

Harapan yang bukan lagi berharap dunia berubah sesuai keinginan, tapi hati yang siap menerima segalanya dengan syukur. Harapan yang bukan tentang masa depan yang gemilang, namun tentang hari ini yang cukup dan damai.

Di usia ini, tak ada lagi genggaman yang terlalu erat. Yang perlu dijaga adalah yang betul-betul penting. Keluarga, kesehatan, kejujuran, dan keyakinan bahwa hidup selalu patut diperjuangkan.

Sebab hidup sejati bukanlah panggung, tapi ladang. Tempat di mana benih kebaikan terus ditanam, meski belum tentu sempat melihat buahnya. 

Tak perlu semua orang tahu. Cukuplah Tuhan yang melihat, dan satu dua orang yang merasakan.

Maka di usia ini, jangan pernah berhenti berkarya.

Bukan karena ingin dikenang. Tapi karena memberi adalah bentuk terbaik dari hidup. Berkarya adalah doa yang diam-diam bekerja. Ia bisa berupa tulisan, nasihat, kehadiran, atau hanya senyum yang tulus kepada orang asing.

Berkaryalah, selama napas masih ada. Selama hari masih pagi. Selama waktu masih terbuka. 

Karena hanya dengan berkarya, manusia bisa meninggalkan jejak. Dan jejak itulah yang akan tinggal, ketika nama tak lagi disebut.

Jangan lelah. Jangan surut. Jangan berhenti.

Sebab hidup tidak menunggu yang sempurna. Ia hanya meminta manusia tetap berjalan. Dengan langkah sekecil apa pun. Dengan cahaya sekecil lilin. Dengan suara sekecil bisikan. Karena dunia ini terlalu luas untuk dikuasai. Tapi juga terlalu indah untuk diabaikan.

Akan tiba waktunya tubuh tak lagi mampu. Pikiran tak lagi tajam. Mata tak lagi terang. Namun hingga saat itu datang, biarlah karya tetap mengalir. Seperti sungai yang tak pernah bertanya ke mana akhirnya.

Dan bila kelak Tuhan berkata: "Waktunya kamu berhenti,”
biarlah saat itu tiba dalam keadaan tangan yang masih sibuk menanam, hati yang masih hangat memberi, dan jiwa yang telah penuh oleh arti.

Karena hidup yang layak dikenang bukanlah hidup yang sempurna. Tapi hidup yang terus memberi makna, tanpa pernah lelah.

Maka benar adanya, Life begin at 50. Bukan karena muda kembali. Tapi karena pada akhirnya manusia bisa belajar hidup, bukan hanya menjalani! (*)

Lereng Argopuro, 5 Juni 2025

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES