Peristiwa Daerah

Dari Gang Perkutut di Probolinggo, Subur Merakit Harapan dengan Serpihan Kayu

Sabtu, 21 Juni 2025 - 17:02 | 6.66k
Muhammad Subur, perajin kayu Probolinggo, membuat sangkar burung pesanan. (Foto: Fafa Harowy/TIMES Indonesia)
Muhammad Subur, perajin kayu Probolinggo, membuat sangkar burung pesanan. (Foto: Fafa Harowy/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Musik pop Indonesia mengalun dari sebuah ponsel sederhana di atas meja bambu. Bukan dari speaker pintar, bukan pula dari ruang kerja luas berpendingin udara. Musik itu menjadi satu-satunya teman setia Muhammad Subur (51), seorang difabel tunadaksa di Probolinggo, dalam menaklukkan kayu demi kayu yang ia ubah menjadi karya.

Di Gang Perkutut, Kelurahan Patokan, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo, Subur bukan sekadar nama. Ia adalah alamat dari ketekunan, simbol kerja sunyi yang tak pernah berhenti, karena ia percaya setiap orang bisa berarti dari tempatnya berdiri.

Advertisement

Kecintaan Subur pada kayu bukan datang tiba-tiba. Sudah sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, ia tertarik pada dunia kerajinan. Sekitar tahun 1995, Subur kecil sudah mulai membuat mobil-mobilan kayu, bahkan sempat mengukir cincin dari batok kelapa. “Dulu belum tahu istilahnya kerajinan,” katanya, “tapi saya suka bikin-bikin dari apa yang ada.”

“Jam kerja saya nggak tentu,” katanya pelan, namun jelas. “Biasanya dari pagi sampai sore. Tapi kalau jenuh, ya saya tinggal main dulu.”

Tak ada secangkir kopi, yang ada tumpukan papan kayu, lem, amplas, bor, dan gergaji. Di tangan Subur, benda-benda itu menjelma jadi tempat sendok, pisau, nampan, kotak perhiasan, meja dapur, kursi, bahkan sangkar burung. Karya-karyanya ia beri nama: SBR, singkatan dari namanya sendiri, sekaligus penanda bahwa tiap produk dibuat dengan kesungguhan.

Sangkar burung adalah garapan yang kini paling sering dipesan. Kayu sono ia hargai Rp700 ribu, kayu jati Rp500 ribu. Ruji sangkar dari fiber, bukan dari bambu biasa.

"Paling cepat seminggu jadi, biasanya dua minggu. Tergantung kerumitan,” ujarnya.

Ia tak sekadar membuat sangkar. Ia "menggarapnya," kata yang ia pilih sendiri. Karena baginya, kerja ini bukan sekadar memproduksi, melainkan mengolah perasaan dan kesabaran.

“Garap itu seperti orang ngukir,” katanya. “Harus sabar dan telaten. Kalau nggak, hasilnya bisa amburadul.”

Dan hasil tangannya tidak pernah amburadul. Detail ukiran pada karyanya terlihat indah, halus, penuh perhitungan. Bahkan untuk sangkar jangkrik, ia tetap menyesuaikan bahan dan tingkat kerumitannya. Harganya? Mulai Rp150 ribu.

Subur sering pula menerima pekerjaan rehab: mengecat kusen, memperbaiki pintu, membetulkan kunci. Kadang pula borongan ngecat rumah. Tak ada pekerjaan yang ia anggap sepele. Semua dikerjakan dengan cermat. Namun, karena sifatnya tak tetap, pendapatannya pun demikian. Rata-rata Rp1,5 juta per bulan.

Kebanyakan bahan ia beli dari mebel-mebel atau serkelan kayu. Untuk alat, ia sudah lengkap: gergaji, jigsaw, kompresor, bor duduk, hingga tablesaw. Hampir semuanya ia beli dari hasil menabung bertahun-tahun. Bahkan, ada juga alat yang ia modif sendiri, seperti alat untuk membuat kayu silinder. Tapi satu hal masih jadi kendala: tempat kerja yang kurang layak.

“Saya belum punya tempat kerja yang memadai. Saya ingin karya-karya saya berkembang luas,” ucapnya.

Dan memang, karya Subur tak berhenti di produk-produk fungsional. Ia pernah membuat miniatur Harley Davidson, bukan dari resin atau logam, melainkan dari kayu. Dengan ketelatenan yang sama, ia ukir bentuk, ia rakit bagian, hingga tampak seolah bisa melaju.

Tak ingin sendiri, ia pernah mengajak para pemuda di kampungnya untuk belajar menggarap kayu. Tapi ia sadar, “memang butuh ketelatenan.” Tak semua sanggup bertahan.

Subur adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ia tinggal bersama saudaranya. Tanpa istri, tanpa anak. Tapi ia hidup dengan kawan-kawan terbaiknya: kayu, alat, dan mimpi yang tak pernah padam.

Ia pernah ikut pameran Hari Disabilitas Internasional (HDI) di Genggong, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten setempat. Di sana, orang-orang menyaksikan bagaimana ketekunan dapat mengalahkan keterbatasan. Bahwa kerja sunyi dari pinggir kota pun bisa menyentuh hati yang melihat.

Promosinya? Hanya dari mulut ke mulut. Tapi cukup. “Cukup tanya nama saya Subur, perajin kayu, di Patokan ini pasti sudah tahu semua,” katanya. Dan betul. Ia tak butuh baliho atau akun marketplace. Kualitas dan ketekunannya bicara lebih banyak.

Di Gang Perkutut itu, dari rumah sederhana di timur Sasanakrida, Subur menggarap bukan hanya kayu, tapi pengakuan. Bahwa keterbatasan tidak selayaknya dikasihani, tapi dihargai. Bahwa kerja yang tulus dan telaten tetap punya tempat di dunia yang serba cepat ini.

Muhammad Subur tidak sekadar bertahan. Ia merakit harapan dari serpihan kayu, dan itu jauh lebih dari cukup.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES