Menelusuri Jejak Laut Purba di Gunung Curi Majalengka

TIMESINDONESIA, MAJALENGKA – Udara pagi yang segar menyambut langkah rombongan kecil yang perlahan menapaki lereng Gunung Curi, sebuah bukit mungil setinggi sekitar 400 meter di atas permukaan laut, yang terletak di Desa Batujaya, Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka.
Di antara rombongan itu tampak pegiat Grup Madjalengka Baheula (Grumala) Naro, Pj Kepala Desa Batujaya, Rd Endang Suhara, bersama tokoh masyarakat Mang Ambang Tata beserta rekan-rekannya yang lain.
Advertisement
Bukit ini mungkin tak seterkenal destinasi wisata lainnya, namun Gunung Curi menyimpan cerita panjang yang tak ternilai, tentang kehidupan masa lalu, tentang manusia dan tentang hewan-hewan purba yang dahulu pernah hidup di sana.
“Dulu, sekitar tahun 1990-an, batu dari Gunung Curi ini ditambang oleh warga untuk diolah menjadi kapur,” ujar Naro, Sabtu (5/7/2025).
Menurutnya, kapur dari Gunung Curi sempat menjadi komoditas penting, menyuplai bahan bangunan sebelum semen modern mengambil alih pasar.
Batu Curi adalah sebutan bahan pembuatan kapur campuran semen untuk membangun rumah. Jika diamati batu ini berasal dari tumpukan fosil fosil laut dan batuan bawah lautan atau batu karang yang tidak begitu keras.
Untuk dijadikan kapur, batu Curi terlebih dahulu ditaburi garam kasar. Setelah itu, batu-batu tersebut dibakar di dalam tungku besar berbahan bakar kayu. Tempat pembakaran kapur ini oleh warga disebut sebagai hawu kapur.
Pada masa jayanya, hawu kapur banyak ditemukan di sepanjang jalan Desa Baribis, Kecamatan Cigasong. Deretan tungku pembakaran menjadi pemandangan umum, karena kapur merupakan salah satu bahan bangunan utama sebelum maraknya penggunaan semen modern dari pabrik.
Wisata Edukasi Jejak Laut Purba Majalengka
Daya tarik Gunung Curi tak berhenti pada sejarah tambangnya. Di sekeliling bukit ini, tepatnya di wilayah Baribis dan Batujaya, sejak lama telah ditemukan beragam fosil hewan purba, sebuah penanda bahwa tanah Majalengka pernah menjadi bagian dari lautan jutaan tahun silam.
“Kebetulan kami komunitas Grumala telah mengumpulkan beberapa fosil binatang laut seperti kerang, siput laut, kemudian gigi gajah purba, tanduk rusa bahkan tulang kaki banteng,” sebutnya.
Semua temuan itu kini disimpan di Museum Alit Grumala yang berada di Gedung Juang, sebuah bangunan yang berada di jalan KH. Abdul Halim, tepatnya di seberang Alun-alun Majalengka.
Pria yang akrab disapa Wa Naro ini mengungkapkan, bahwa laporan mengenai penemuan fosil di daerah ini sejatinya sudah ada sejak era kolonial Belanda.
“Tahun 1930-an sudah ada catatan peneliti Belanda soal temuan fosil Stegodon (gajah purba), buaya dan banteng dan babi hutan. Kemudian pada 1990-an, beberapa orang ahli kembali mengeksplor bukit-bukit kecil seperti Gunung Jurig, Tegal Asem, hingga Pasir Uncal, termasuk Gunung Curi ini. Beberapa fosil laut dan hewan darat pun berhasil ditemukan,” tambahnya.
Dari berbagai temuan dari masa yang berbeda, menurutnya bahwa wilayah Baribis dan Batujaya merupakan satu kawasan yang menyimpan jejak peradaban sangat tua.
Fosil-fosil hewan laut dan batu karang yang ditemukan menjadi bukti bahwa Baribis, Batujaya, bahkan wilayah Majalengka dan Pulau Jawa secara umum, dulunya merupakan bagian dari lautan luas yang telah ada sejak puluhan juta tahun lalu.
"Gunung Curi Batujaya dan perbukitan di sekitar Baribis Kecamatan Cigasong, Kabupaten Majalengka perlu mendapat perhatian bersama sebagai situs bersejarah. Pengetahuan kepurbakalaan ini penting untuk dijadikan bahan edukasi bagi generasi muda," ujarnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |