Religi

Ramadan 2023 Sebentar Lagi Tiba, Tunaikan Segera Qadha Puasa

Sabtu, 25 Februari 2023 - 08:38 | 51.01k
Ilustrasi Ramadan. (Desain: Dena/TIMES Indonesia)
Ilustrasi Ramadan. (Desain: Dena/TIMES Indonesia)
FOKUS

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Memperbanyak puasa sunah merupakan di antara amalan yang disunahkan di bulan Sya’ban sebelum Ramadan 2023 tiba. Tetapi, yang lebih utama adalah menunaikan qadha’ (pengganti) puasa bagi yang masih memiliki utang puasa Ramadan karena masih tersisanya kesempatan untuk menunaikan utang tersebut.

Qadha’ artinya adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya. Mengqadha’ puasa artinya mengerjakan atau membayar utang puasa yang tidak bisa kita lakukan di bulan Ramadan.

Advertisement

Menukil Tutorial Ramadhan, berikut ini hukum yang menjelaskan qadha’ puasa:

1. Menunaikan Qadha’ Ramadan Wajib Hukumnya

Menunaikan qadha’ puasa Ramadan sering dianggap remeh oleh sebagian orang. Sampai-sampai utang puasanya menumpuk bertahun-tahun karena rasa malas untuk menunaikannya, padahal ia mampu.

Kecuali jika ia tidak mampu disebabkan kondisi tertentu seperti hamil atau menyusui selama beberapa tahun sehingga ia mesti menunaikan utang puasanya dilakukan pada dua atau tiga tahun berikutnya.

Hal ini dimaklumi dan memang ada udzur. Namun, tidak menunaikan qadha’ Ramadan padahal mereka dalam keadaan sehat dan mampu akan menjadi masalah.

Qadha’ puasa Ramadan adalah wajib ditunaikan berdasarkan firman Allah SWT, artinya:

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (Qs Al-Baqarah 185).

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah Ra, artinya:

"Kami dulu mengalami haid. Kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR Muslim no. 335)

Oleh karenanya, bagi yang dahulunya haid atau alasan lainnya dan sampai saat ini belum sempat melunasi utang puasanya selama bertahun-tahun, maka segeralah tunaikan. Jangan sampai menunda-nunda.

2. Hukum Mengakhirkan Qadha’ Ramadan hingga Ramadan Berikutnya

Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang dengan sengaja mengakhirkan qadha’ Ramadan hingga Ramadan berikutnya, maka dia cukup mengqadha’ puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.

Namun, Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i mengatakan bahwa jika dia meninggalkan qadha’ Ramadan dengan sengaja, maka di samping mengqadha’ puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi setiap hari belum diqadha’. Pendapat ini lebih kuat sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah pernah ditanya: “Apa hukum seseorang meninggalkan qadha’ Ramadan hingga masuk Ramadan berikutnya namun dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qadha’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat serta menunaikan qadha’ atau dia memiliki kewajiban kaffarah?”

Beliau rahimahullah menjawab: “Dia wajib bertaubat kepada Allah SWT dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha’ puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kilogram (kg) sebagai ukuran pendekatan. Namun,tidak ada kaffarah (tebusan) selain itu.

Hal ini difatwakan oleh beberapa sahabat  seperti Ibnu ‘Abbas. Namun apabila dia menunda qadha’nya karena ada uzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha’ puasanya.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi seseorang dengan sengaja menunda qadha’ puasa Ramadan hingga Ramadan berikutnya tanpa ada uzur, maka dia memiliki kewajiban:

(1). Bertaubat kepada Allah SWT

(2). Mengqadha’ puasa

(3). Wajib memberi makan (fidyah) kepada orang miskin sebesar setengah sha’ (1,5 kg), bagi setiap hari puasa yang belum ia qadha’.

Sedangkan untuk orang memiliki uzur (seperti karena sakit), sehingga dia menunda qadha’ Ramadan hingga Ramadan berikutnya (atau hingga bertahun-tahun karena ia terhalang hamil serta menyusui), maka dia tidak memiliki kewajiban kecuali mengqadha’ puasanya saja di saat ia mampu.

Bagaimana jika seseorang karena uzur seperti sakit, saat bulan Ramadan tiba, ia tidak berpuasa, kemudian ia wafat setelah Ramadan. Jelas, ia tidak sempat membayar qadha’ atas ditinggalkannya puasa. Apakah ia dipuasakan oleh orang lain atau puasa dibayarkan dengan memberi makan orang miskin atas nama si mayit?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Jika seorang muslim wafat pada saat ia sakit setelah Ramadan, maka tidak ada kewajiban qadha’ atasnya dan tidak ada pula kewajiban memberi makan, karena ia berhalangan secara syara’.

Demikian pula jika seorang musafir wafat dalam perjalanannya atau setelah ia tiba secara langsung, maka kewajiban qadha’ tidak dibebankan atasnya serta tidak ada pula kewajiban memberi makan, karena ia berhalangan secara syara’.

Lain halnya bagi mereka sudah sembuh dari penyakitnya lalu ia menunda-nunda qadha’ puasanya sampai ia wafat, atau orang telah tiba dari perjalanan, lalu menunda-nunda qadha’ puasanya, sampai ia wafat, maka disyariatkan bagi walinya yaitu para kerabatnya untuk mengqadha’kan mereka berdua.

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, artinya:

“Barangsiapa yang wafat sedang ia mempunyai tanggungan puasa, maka ia dipuasakan oleh walinya” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika tidak ada orang yang dapat mengqadha’kan puasanya, maka diambil warisan keduanya untuk memberi makan atas nama keduanya, seorang miskin setiap hari tanggungan puasanya, sebanyak satu sha’ yang ukurannya sekitar 1 ½ kg. Sama dengan bayaran tanggungan puasa serta orang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya”.

3. Tidak Disyaratkan Berturut-turut  dalam Mengqadha’ Ramadan

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah (terbitan kementerian agama Kuwait), menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama), tidak disyaratkan berturut-turut ketika menunaikan qadha’ Ramadan. Alasannya karena keumuman ayat:

"maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”

Jadi boleh saja mengqadha’ sebagian puasa di bulan Syawal, sebagiannya lagi di bulan Dzulhijjah, serta sebagiannya sebelum Ramadan yaitu di bulan Rajab dan Sya’ban. Artinya, ada keluasan dalam hal ini.

4. Lupa Jumlah Mengqadha’ Ramadan

Misalnya, ada seorang Muslim tidak pernah berpuasa pada usianya yang telah lewat. Maksudnya, dia tidak berpuasa tanpa alasan syar’i. Sekarang dia menyesal dan bertaubat, tapi dia tidak ingat jumlah puasa telah ditinggalkan. Apa yang wajib atas dirinya?

Menjawab hal ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Puasa pada bulan Ramadan merupakan rukun Islam yang ketiga. Seorang Muslim dilarang meninggalkan ataupun meremehkannya. Orang berbuka (tak berpuasa) pada bulan Ramadan tanpa ada alasan dibenarkan syariat, berarti dia telah melakukan perbuatan diharamkan, (juga) meninggalkan kewajiban yang agung. Orang seperti ini wajib bertaubat kepada Allah SWT dan mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya.

Jika ia terlambat mengqadha’ (sampai masuk Ramadan berikutnya), maka terkena kafarat (denda), satu hari pelanggaran, dendanya memberikan makan kepada satu orang miskin dengan (ukuran) setengah sha’ makanan (dikalikan) hari-hari ditinggalkannya. Jika pernah melakukan hubungan suami istri pada siang hari bulan Ramadan, maka dia wajib membayar denda berat, yaitu membebaskan budak. Jika tak bisa, maka dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tak mampu, maka dengan memberikan makan kepada enam puluh fakir miskin.

Jumlah denda ini dikalikan dengan banyaknya hari saat digunakan untuk berhubungan (dengan istrinya) pada siang hari bulan Ramadan, karena masalah ini sangatlah penting.

Jika tak mengetahui jumlah hari yang dilanggar, maka ia harus berusaha keras untuk memperkirakan, dan semaksimal mungkin, dia berhati-hati dalam masalah ini. Jika tetap tak bisa mengetahui jumlah hari dan juga tak bisa memperkirakannya, maka dia wajib bertaubat kepada Allah SWT senantiasa menjaga puasa pada sisa usianya serta memperbanyak perbuatan taat. Semoga Allah SWT menerima taubatnya.

5. Segerakan Qadha’ Puasa

Allah berfirman, artinya:

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (Qs Al-Mu’minun 61).

Jangan sampai menunda-nunda lagi qadha’ puasa sebelum Ramadan 2023  yang segera tiba. Jika mampu dilakukan saat ini, segeralah dilakukan apalagi itu kebaikan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES