TIMESINDONESIA, JAKARTA – Fiqih puasa wanita tentunya merupakan salah satu hal yang perlu untuk diketahui bagi seluruh umat muslim khususnya perempuan. Sebab beberapa hal terkait kewajiban untuk melakukan puasa memiliki Aturan tersendiri yang berbasis pada mekanisme mekanisme pelaksanaan khususnya pada perempuan.
Seperti yang telah diketahui bahwa kewajiban melaksanakan ibadah puasa merupakan tuntutan wajib bagi semua umat muslim baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan keutamaan melaksanakan ibadah puasa ini masuk pada kategori rukun Islam, sehingga sangat penting untuk diperhatikan.
Advertisement
Bahkan menurut hadist riwayat dari Bukhori dan Muslim menjelaskan bahwa “Islam didirikan atas lima pondasi yaitu bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Muhammad saw adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan kesana”.
Dengan semua hal yang berkaitan langsung dengan penguatan terkait kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa tersebut maka tentu ada pengecualian tertentu yang tidak bisa di diganggu-gugat khususnya pada beberapa problem wanita.
Oleh sebab itulah maka Fiqih puasa wanita dalam hal puasa wajib dipahami.
4 Fiqih puasa wanita yang wajib diketahui
beberapa penjelasan di bawah ini merupakan salah satu mekanisme penting terkait daftar-daftar utama mengenai masalah-masalah pada kehidupan wanita yang membuatnya bisa ditoleransi untuk tidak melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan terlebih dahulu. Dan tentunya wajib untuk menggantinya pada saat selesai bulan puasa.
Haid Dan Nifas
Fiqih puasa wanita berlaku pada saat menjalankan puasa kemudian ada dalam dalam keadan haid atau nifas, maka tentu haram melaksanakan puasa serta wajib mengqadanya bila telah bersih dan suci. Jika haid atau nifasnya datang ketika sedang berpuasa, maka puasanya batal.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a, yang menjelaskan bahwa “Kami diperintahkan untuk mengqada puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqada shalat”.
Dalam dalam masalah ini maka sudah umum menjadi pertimbangan bagi semua umat muslim khususnya wanita untuk tidak berpuasa dan menggantinya setelah masa suci pasca Ramadan.
Hamil Dan Menyusui
Fiqih puasa wanita berikutnya akan berlaku pada wanita hamil dan menyusui bayi. Jika hal ini tengah dialami maka dibolehkan berbuka puasa jika keduanya merasa khawatir atas dirinya ataupun bayinya, baik bayi itu anak kandung wanita yang menyusui maupun anak orang lain, baik wanita itu sebagai ibu dari bayi yang disusuinya maupun sebagai ibu susu yang disewa.
Disisi lain kekhawatiran yang membolehkan kedua wanita itu berbuka adalah kekhawatiran yang didasarkan perhitungan yang matang, seperti pengalaman yang telah lalu ataupun pemberitahuan dari dokter muslim yang ahli dan adil.
Bahkan Rasulullah juga menjelaskan dalam suatu hadist “Sesungguhnya Allah swt meringankan kewajiban puasa dan sebagian shalat dari musafir dan (meringankan kewajiban) puasa dari wanita hamil dan wanita menyusui”
Pemakaian Alat Kontrasepsi
Fiqih puasa wanita berikutnya akan berlaku pada wanita ialah penggunaan alat kontrasepsi. Seperti yang telah diketahui Allah swt telah menanamkan rasa senang dan bahagia bagi setiap pasangan yang telah dikaruniai keturunan dengan lahirnya anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
Namun pada sisi lain dengan beberapa alasan-alasan tertentu, apakah karena kekhawatiran akan kesehatan ibu jika selalu hamil dan melahirkan, ataupun disebabkan khawatir akan kesulitan materi bila anak terlalu banyak, yang akan mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak-anak maka ada beberapa pasangan yang membatasi untuk menambah anak.
Salah satu cara untuk membatasi proses kehamilan tersebut adalah dengan penggunaan alat kontrasepsi.
Dan proses kontrasepsi ini masuk pada kategori Fiqih puasa wanita.
Dalam hadist dari Muslim menjelaskan “Wahai Rasulullah, saya melakukan azal terhadap istri saya, Rasul menjawab: mengapa engkau lakukan itu ? orang itu menjawab : Saya kasihan kepada anaknya atau dia berkata saya kasihan kepada anak-anaknya. Rasulullah pun bersabda:Kalau azal itu berbahaya, tentu telah membahayakan bangsa Parsi dan Romawi”
Azal ini saat zaman Rasullullah adalah proses untuk membatasi kehamilan dengan cara mengeluarkan sperma diluar Rahim. Dan cara ini tentu juga dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya kehamilan, jika dahulu dikenal dengan istilkah azal maka saat ini bisa dikenal dengan kontrasepsi.
Jumhur ulama; mazhab Hanafi, Syafi‟i, dan Hambali berpendapat batalnya puasa dengan sebab pemakaian alat kontrasepsi melalui pemasangan spiral, sehingga berarti memasukkan sesuatu kedalam rongga tubuh bagian dalam melalui lobang terbuka dengan sengaja. Jika batal maka wajib menggantinya.
Istihadah
Fiqih puasa wanita berikutnya adalah ketika wanita mengalami istihadah. Seperti yang telah diketahui bahwa Istihadah adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita tidak pada waktu yang biasa (bukan haid ataupun nifas).
Jenis ini merupakan darah penyakit, yaitu bila terjadi pada wanita dibawah usia haid (9 tahun) atau darah keluar dalam waktu kurang dari sedikit-dikitnya masa haid atau melebihi selama-lama masa haid maupun masa nifas. Untuk wanita-wanita yang mengalami istihadah, tidak ada halangan apapun dalam melaksanakan ibadah, baik yang wajib maupun sunnat.
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan at-Tirmizi, “Nabi saw memerintahkan Hamnah binti Jahsy untuk berpuasa dan shalat pada waktu istihadah”.
Jadi wanita yang haid bersambung dengan istihadah hanya meninggalkan halhal yang dilarang dalam masa haidnya saja, kemudian ia mandi dan beribadah seperti biasa.
Semua aspek terkait Fiqih puasa wanita serta beberapa penjelasannya diatas menjadi satu aspek penting yang wajib dipahami, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah wajib bulan puasa.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |