Menilik Sejarah dan Keunikan Masjid Baiturahman Ponorogo
TIMESINDONESIA, PONOROGO – Masjid Baiturahman yang berada di Dusun Setono Desa Tegalsari Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo, didirikan oleh tiga ulama besar keturunan Sunan Tembayat, yakni Kiai Ageng Donopuro, Kiai Ageng Noyopuro, dan Kiai Ageng Wongsopuro.
Konon, bangunan Masjid Baiturahman ini berdiri sejak tahun 1600 M.
Advertisement
Masjid Baiturahman yang berjarak 10 kilometer dari kota Ponorogo ini menjadi saksi bisu perjalanan Pangeran Sumende murid dari Sunan Kalijogo dan putra dari Sunan Tembayat.
Bangunan Masjid khas berarsitektur Jawa dengan atap menjulang tinggi, dengan ditopang empat tiang Soko guru dari kayu jati. Ketika masuk ke dalam Masjid Baitirahman disambut dengan tiga pintu, bagian pintu utama berada di tengah yang langsung terhubung dengan posisi imam.
Ornamen dan ukiran di beberapa tiang penyangga Masjid masih asli. (FOTO: Marhaban/TIMES Indonesia)
Sementara di serambi Masjid Baiturahman terdapat enam saka atau tiang kayu dengan umpak sebagai pondasinya.
Keunikan lainnya juga terletak pada ukiran di beberapa soko guru tiang masjid tersebut. Ornamen yang terbalut dalam religi Islam, menambah kesan akulturasi budaya yang digambarkan oleh pendirinya.
Menurut penggiat keagamaan Masjid Baiturahman Fitri, Masjid Baiturahman hingga saat ini masih dirawat dan difungsikan sebagai tempat ibadah. “Sekarang masih digunakan untuk salat dan kegiatan keagamaan oleh masyarakat sekitar,” katanya, Kamis (14/3/2024).
Masjid Baiturahman memiliki luas bangunan sekitar 400 meter persegi, bisa menampung hingga 200 sampai 300 jemaah.
Fitri menambahkan, struktur bangunan sebagian mengalami peremajaan, namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. “Salah satu yang masih terjaga, yakni terdapat sumber mata air atau sumur kuno yang berada di sekitar masjid,” sebutnya.
Sementara Imam, salah satu warga Tegalsari kepada TIMES Indonesia mengatakan, Masjid Baiturahman adalah cikal bakal berdirinya pesantren Gebang Tinatar Tegalsari.
"Ya karena pendiri Masjid ini adalah sang guru dari Kiai Ageng Muhammad Besari Tegalsari. Yang jelas jariah dari Mbah Donopuro luar biasa terhadap perkembangan agama Islam di Ponorogo, bahkan di nusantara ini,” jelasnya.
Dulunya Masjid Baiturahman dan Masjid Tegalsari terpisah oleh sungai Keyang. Kini oleh Bupati Sugiri Sancoko dibuatkan jembatan gantung yang diberi nama jembatan Shirotol Mustaqim, untuk memudahkan peziarah dari Masjid Baiturahman ke Masjid Tegalsari.
Di bulan Ramadan seperti sekarang, Masjid Baiturahman di Kabupaten Ponorogo ini tidak pernah sepi dari jemaah untuk beriktikaf. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |