Ketika Ramadhan Mengasah Jiwa: Tafsir Sosial Ayat Puasa

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kita telah memasuki hari ke 12 di bulan Ramadhan. Banyak latihan-latihan yang telah kita lakukan di beberapa hari sebelumnya. Latihan jasadi dan latihan ruhani. Latihan menahan benci dan latihan menahan isi panci. Latihan menahan marah, dan menahan nafsu amarah. Latihan menahan lelah karena lillah dan latihan mengurai masalah untuk masyarakat yang penuh fitnah. Dan inilah saatnya, bulan berbagi bukan minta jatah diri. Bulan sosial, bukan bulan personal untuk kepentingan diri. Berbagi adalah kunci dari sedekah (kejujuran), apakah kita masih punya simpati dan empati?.
Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah personal, tetapi juga momentum pembentukan jiwa dan kepedulian sosial. Puasa yang diwajibkan dalam Islam bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga sebuah latihan disiplin spiritual dan sosial yang mendalam. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
Advertisement
يَا أَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini menunjukkan bahwa tujuan utama puasa adalah mencapai ketakwaan. Namun, ketakwaan dalam Islam bukan hanya hubungan vertikal dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas). Inilah yang sering terlewat dalam pemahaman puasa—dimensi sosialnya yang begitu kuat.
Puasa dan Empati Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak selalu menyadari penderitaan mereka yang kurang beruntung. Kelaparan yang kita alami seharian saat berpuasa hanyalah bayangan kecil dari realitas hidup sebagian masyarakat yang terbiasa menghadapi keterbatasan makanan setiap hari. Dengan berpuasa, kita diajak untuk merasakan penderitaan mereka, bukan sekadar secara fisik tetapi juga secara emosional. Dari sini, Islam mendorong lahirnya kepedulian terhadap sesama.
Bukan tanpa alasan zakat fitrah diwajibkan menjelang Idul Fitri. Ini adalah manifestasi nyata dari bagaimana puasa melatih jiwa untuk berbagi dan memperhatikan mereka yang membutuhkan. Puasa bukan sekadar ritual pribadi, tetapi memiliki dampak sosial yang konkret.
Puasa sebagai Pengendalian Diri dalam Interaksi Sosial
Selain menahan lapar dan haus, puasa juga melatih kita untuk mengendalikan emosi. Rasulullah ﷺ bersabda:
Berikut adalah hadis tentang pengendalian diri saat berpuasa dalam bahasa Arab:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka janganlah ia berkata-kata kotor atau bertengkar. Jika seseorang mencelanya atau mengajaknya berkelahi, hendaklah ia mengatakan, 'Aku sedang berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa puasa bukan hanya soal mengendalikan nafsu makan, tetapi juga nafsu amarah dan ego dalam pergaulan sosial. Seberapa sering kita melihat konflik di masyarakat hanya karena ego yang tak terkendali? Puasa mengajarkan kita untuk bersabar, menahan diri, dan mengedepankan akhlak yang baik dalam interaksi dengan sesama.
Ramadhan dan Keadilan Sosial
Dalam tafsir sosial ayat puasa, ada dimensi lain yang perlu diperhatikan, yaitu keadilan sosial. Islam tidak hanya mendorong umatnya untuk memahami penderitaan orang lain, tetapi juga bertindak untuk mengurangi kesenjangan sosial. Itulah mengapa selain zakat fitrah, Islam sangat menganjurkan sedekah dan berbagai bentuk bantuan sosial selama Ramadhan.
Jika kita memahami hakikat puasa dengan benar, maka Ramadhan seharusnya menjadi bulan perubahan sosial. Kesadaran untuk berbagi, kepedulian terhadap yang lemah, serta kebiasaan menahan diri dari perilaku negatif seharusnya tidak hanya berlangsung selama sebulan, tetapi menjadi karakter yang terus melekat sepanjang tahun.
Puasa Ramadhan adalah sekolah kehidupan. Ia mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih peka terhadap penderitaan orang lain, serta lebih peduli terhadap lingkungan sosial. Tafsir sosial ayat puasa menunjukkan bahwa ibadah ini tidak hanya membentuk ketakwaan secara spiritual, tetapi juga membangun solidaritas dan keadilan di masyarakat. Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, tetapi momentum pembentukan karakter dan kebangkitan sosial. Kini, pertanyaannya adalah: sudahkah kita menjadikan puasa sebagai sarana perubahan diri dan lingkungan sekitar?
Wallahul musta'an walaihi tuklan
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |