Rahasia di Balik "Ayyām Maʿdūdāt" dalam Ayat Puasa

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ayat-ayat tentang puasa dalam Surah Al-Baqarah (183-187) merupakan rangkaian yang kaya makna dan patut dikaji lebih dalam. Salah satu frasa menarik dalam ayat 184 adalah Ayyām Maʿdūdāt (أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ), yang secara linguistik dan sastra memiliki beberapa makna penting.
Mengapa Disebut "Ayyām Maʿdūdāt"?
Secara gramatikal, "Ayyām" (hari-hari) merupakan bentuk "jamak qillah", yang berarti jumlahnya terbatas, antara tiga hingga sepuluh hari. Begitu pula kata "Maʿdūdāt (terhitung atau tertentu), yang juga tergolong "jamak qillah".
Advertisement
Namun, puasa Ramadan berlangsung selama 29 atau 30 hari angka yang jauh lebih banyak dari sekadar "beberapa hari." Lantas, mengapa ayat ini tetap menggunakan istilah yang menunjukkan jumlah kecil?
Para ulama bahasa, seperti Syekh Fadil As-Samarai, menjelaskan bahwa ini merupakan bentuk "tanzīl al-kathīr ʿala al-qalīl" menggambarkan sesuatu yang banyak dengan ungkapan yang seolah sedikit. Dalam retorika Arab, gaya ini mengandung makna hiperbolik (mubālaghah), yakni menekankan bahwa meskipun puasa tampaknya panjang, hakikatnya ia sangat singkat dibandingkan pahala luar biasa yang dijanjikan Allah.
Isyarat Kemudahan bagi Orang Beriman
Penggunaan istilah Ayyām Maʿdūdāt juga menegaskan bahwa puasa adalah sesuatu yang ringan dan mudah bagi seorang mukmin. Imam At-Thabari menafsirkan frasa ini sebagai bentuk kasih sayang Allah, yang tidak membebankan ibadah sepanjang tahun, melainkan hanya dalam beberapa hari terbatas. Dengan demikian, seorang Muslim semestinya menyambutnya dengan ringan hati, bukan sebagai beban yang berat.
Waktu yang Terbatas, Kesempatan yang Berharga
Frasa ini juga mengingatkan bahwa Ramadan memiliki batasan waktu yang jelas. Maka, setiap detik dalam bulan ini harus dimanfaatkan dengan maksimal untuk ibadah dan kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Betapa besar pahala yang bisa diraih dalam waktu yang relatif singkat. Sayangnya, tidak sedikit orang yang justru menyia-nyiakan kesempatan ini, menghabiskan waktu dalam kesibukan dunia yang kurang bermanfaat, sementara Ramadan terus berjalan menuju akhirnya.
Hubungan dengan Syariat Puasa Sebelumnya
Ulama tafsir juga menghubungkan Ayyām Maʿdūdāt dengan ayat sebelumnya: "Sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian."
Sebelum umat Islam, puasa juga diwajibkan atas umat terdahulu dalam bentuk yang berbeda-beda. Sebagian ulama berpendapat mereka berpuasa tiga hari setiap bulan, sementara lainnya menyebutkan puasa pada hari-hari tertentu seperti Asyura. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban puasa selalu bersifat terbatas, tidak sepanjang tahun.
Sepuluh Hari Terakhir: Puncak Ramadan
Kini kita telah memasuki sepuluh hari terakhir Ramadan, saat di mana pahala dilipatgandakan dan malam Lailatul Qadar tersembunyi di dalamnya. Namun, justru di fase ini, banyak orang lalai dan terjebak dalam aktivitas yang kurang bernilai.
Meskipun Ramadan hanya berlangsung dalam waktu terbatas, dampaknya bisa menentukan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Karena itu, mari manfaatkan Ayyām Maʿdūdāt dengan sebaik-baiknya, mengisinya dengan ibadah, amal saleh, dan doa yang tulus. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa meninggalkan bekas kebaikan. Semoga renungan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih menghargai setiap detik Ramadan, sebelum ia pergi dan tak kembali lagi.
Wallahu Musta'an wailaihi tuklan
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |