Religi Mozaik Ramadan 2025

Ramadan, Antara Tradisi dan Esensi: Masihkah Kita Menjaga Ruhnya?

Rabu, 19 Maret 2025 - 10:02 | 10.44k
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ramadan yang suci sering kali disambut dengan semarak tradisi yang berkembang di berbagai lapisan masyarakat. Dari hidangan berbuka yang berlimpah, belanja besar-besaran menjelang Idulfitri, hingga maraknya aktivitas sosial yang kadang lebih berorientasi pada seremonial daripada spiritual. Tanpa disadari, tradisi ini perlahan mengalahkan ruh Ramadan yang sejatinya adalah bulan penyucian diri, penguatan ibadah, serta peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Padahal, hakikat Ramadan bukan hanya tentang ritual lahiriah, melainkan bagaimana setiap muslim mengendalikan hawa nafsunya dan semakin dekat dengan Rabb-nya.  

Kini, kita telah memasuki hari ke-19 Ramadan. Seharusnya, ini menjadi momentum untuk kembali merenungi esensi puasa yang sejati. Di saat sebagian orang mulai sibuk dengan persiapan Lebaran berburu pakaian baru, memesan kue kering, dan merencanakan mudik justru inilah waktu terbaik untuk kembali kepada ruh Ramadan. Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam ibadahnya di sepuluh hari terakhir, mencari Lailatul Qadar yang penuh keberkahan. Sudah sepatutnya kita juga memanfaatkan sisa Ramadan ini dengan memperbanyak istighfar, qiyamul lail, serta mendekatkan diri kepada Allah, bukan justru larut dalam tradisi yang menjauhkan dari makna sejati Ramadan.

Advertisement

Ramadan telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam. Setiap tahun, kita menyaksikan semaraknya bulan suci ini dengan berbagai tradisi: sahur bersama, buka puasa bersama, tarawih berjamaah, hingga meningkatnya kegiatan sosial seperti berbagi takjil dan zakat. Namun, di tengah maraknya tradisi yang berkembang, pertanyaan mendasar yang perlu direnungkan adalah: masihkah kita menjaga ruh dan esensi Ramadan, atau justru terjebak dalam euforia tanpa substansi?  

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan mencapai ketakwaan. Namun, di era modern, sering kali kita melihat Ramadan lebih identik dengan perubahan pola konsumsi daripada penguatan spiritual. Masyarakat berlomba-lomba menyajikan hidangan berbuka yang berlimpah, pusat perbelanjaan penuh dengan promosi diskon Ramadan, sementara masjid yang semarak di awal bulan mulai kehilangan jamaahnya menjelang akhir.  

Nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam sebuah hadis: "Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga." (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menohok kita semua, mengingatkan bahwa Ramadan bukan sekadar ritus tahunan, tetapi madrasah ruhaniah yang harus membentuk akhlak dan ketakwaan.  

Para ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa memiliki tingkatan: puasa umum (hanya menahan lapar dan haus), puasa khusus (menjaga anggota tubuh dari maksiat), dan puasa khususul khusus (mengendalikan hati dari segala penyakit batin). Di era digital ini, tantangan semakin besar. Puasa bukan hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari informasi yang merusak, hoaks, ghibah di media sosial, serta sikap konsumtif yang justru bertentangan dengan nilai kesederhanaan yang diajarkan Ramadan.  

Kita hidup di zaman di mana Ramadan semakin terekspos di ruang digital. Setiap momen berbuka dipotret, setiap ibadah didokumentasikan, bahkan sedekah pun dipublikasikan. Tentu, media sosial bisa menjadi sarana dakwah, tetapi jika niatnya bergeser menjadi ajang pamer, kita patut bertanya: apakah Ramadan masih menjadi ruang pembinaan diri atau justru ajang eksistensi?  

Di tengah pergeseran ini, penting bagi kita untuk kembali pada ruh Ramadan. Ramadan harus menjadi momentum untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan sesama. Menahan diri dari ghibah lebih berat daripada menahan haus, memperbaiki akhlak lebih sulit daripada menahan lapar. Sebab, sejatinya, keberhasilan Ramadan bukan diukur dari seberapa banyak kita berbuka di restoran mewah, tetapi sejauh mana hati kita dibersihkan dari kesombongan, kebencian, dan ketidakpedulian.  

Mari menjadikan Ramadan bukan hanya sebagai serangkaian tradisi, tetapi sebagai perjalanan ruhani menuju ketakwaan yang hakiki. Ramadan bukan tentang seberapa meriah kita merayakannya, tetapi seberapa dalam kita meresapi hikmahnya.

Ramadan akan segera berlalu, dan yang tersisa bukanlah kemeriahan tradisi, tetapi sejauh mana hati kita telah dibersihkan dan ruh kita telah dikuatkan. Jangan biarkan kesibukan duniawi menjauhkan kita dari kesempatan emas di penghujung bulan suci ini. Jika awal Ramadan kita masih sibuk dengan euforia, maka kini saatnya kembali pada ruh sejati Ramadan meningkatkan ibadah, memperbanyak doa, dan mencari ridha Allah SWT. Sebab, kemenangan sejati bukanlah pada hari raya yang dirayakan dengan kemewahan, tetapi pada jiwa yang keluar dari Ramadan dalam keadaan lebih bertakwa dan lebih dekat kepada-Nya.

Wallahul Musta'an wailahittuklan

***

*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES