Mengi’tikafkan Tubuh, Menghijrahkan Hati dan Pikiran

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indah sekali ajaran Islam, dalam setiap gerak ibadahnya ada harmoni, hening, dan senyap yang menyelipkan makna mendalam. Dalam gerak hidup muslim ada puasa, dalam puasa terselip i’tikaf, dan dalam i’tikaf tersua tuma’ninah ketenangan jiwa yang mendekatkan kita kepada hakikat diri.
Dalam shalat, ada gerak; takbir, rukuk, sujud, i’tidal, dan tahiyyat, tetapi di sela-sela gerak itu tersisip tuma’ninah. Dalam haji, ada thawaf, sa’i, dan jumrah, tetapi semua itu berpuncak pada wuquf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan berdiam di Mina sebuah harmoni antara gerak dan diam, antara ikhtiar dan kepasrahan.
Advertisement
Untuk menjadi kupu-kupu yang membunga warna, yang terbang mengejar kumbang dan menyapa alam dengan keindahannya, ia bermula dengan berpuasa—menepi dalam kepompong, menghijrahkan tubuh, hati, dan pikirannya dari keramaian dunia. Dari ulat yang menjijikkan, ia menghilang dalam keheningan i’tikaf, bertafakkur dalam dengkur, melihat alam dalam senyap, sebelum akhirnya mengepakkan sayap ke angkasa, bertebar di antara bunga-bunga sebagai simbol kemenangan.
Allah berfirman: "Dan beriktikaflah kamu di masjid-masjid." (QS. Al-Baqarah: 187)
I’tikaf bukan sekadar diam dalam masjid, tetapi ia adalah perjalanan batin. Ia adalah upaya membersihkan hati dari penyakit iri, dengki, sombong, riya’, su'udzan, dan syahwat dunia. I’tikaf bukan melarikan diri dari realitas kehidupan, tetapi justru menata ulang orientasi jiwa, mengistirahatkan hati dari hiruk-pikuk dunia, agar ia kembali lebih bercahaya.
Menepi Bukan untuk Menghindar, tetapi untuk Menemukan
Beri’tikaf bukan berarti menyendiri untuk menutup diri, tetapi bersembunyi sejenak untuk menguatkan hati dan mengakarkan pikiran. Seperti benih yang tertanam dalam tanah, ia tidak hilang, tetapi tengah mempersiapkan diri untuk menjulang, menghamparkan dedaunan, dan melahirkan buah yang menyegarkan.
Kelihatan tenangnya air di sungai bukanlah tanda ia membeku, tetapi justru karena ia memiliki arus yang kuat menggerus segala yang kaku. Seperti itu pula i’tikaf, tampak diam tetapi sesungguhnya ia adalah perjalanan batin yang mengguncang.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اعْتَكَفَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang siapa beri’tikaf dengan penuh iman dan pengharapan kepada Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhari)
Lihatlah langit ketika malam, ia tampak gelap dan sunyi, tetapi sesungguhnya ia penuh dengan cahaya bintang. Begitulah hati yang beri’tikaf di saat manusia tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, ia justru bercahaya dalam diamnya, dalam zikirnya, dalam bacaannya terhadap Kalamullah.
Beri’tikaf Bukan Sekadar Menunggu Lailatul Qadar, tetapi Menemukan Diri
Banyak orang mengira i’tikaf hanya untuk berburu Lailatul Qadar. Padahal, lebih dari itu, i’tikaf adalah ihtibas memenjarakan diri dari gemerlap dunia, agar kita tidak menjadi hamba dunia. Sejenak kita melepaskan diri dari kesibukan fana, karena kehidupan yang sejati bukan di dunia, tetapi di keabadian nanti.
Saat ini, Ramadan mulai menghitung hari. Bulan yang penuh keberkahan akan segera pergi, dan kita harus menunggu sebelas bulan lagi untuk bertemu dengannya kembali. Maka, mari kita manfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya.
Mari kita ber’tikaf, mengajar hati, mempelajari diri, dan menemukan pikir kembali dalam Rumah Tuhan yang penuh cahaya ilahi. Karena pada akhirnya, kita semua akan kembali benar-benar kembali, ke kehidupan yang sesungguhnya, dan takkan pernah kembali lagi ke dunia.
Wallahul Musta'an wailahittuklan
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |