Zakat, Konsumsi, dan Keadilan Sosial: Ramadan yang Belum Selesai

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap Ramadan selalu muncul pertanyaan tentang kewajiban zakat profesi, juga tentang zakat konten kreator seperti YouTuber, TikToker, Selebgram dan lainnya. Ada yang berkelit untuk tidak memenuhi kewajibannya membayar zakat, dengan berbagai alasan, tetapi ada juga yang berhati-hati untuk membayar zakat dengan beberapa persyaratan yang ada. Tapi, dari berbagai perdebatan itu, ada yang terus mengkonsumsi barang-barang mewah, sambil berpuasa, namun tidak memenuhi zakatnya. Terus bagaimana keadilan sosialnya?
Ramadan hampir berakhir, dan sebagian besar dari kita sudah mulai bersiap menyambut Idulfitri. Pasar dan pusat perbelanjaan penuh sesak, antrean belanja semakin panjang, dan transaksi ekonomi melonjak drastis. Namun, di tengah euforia ini, sebuah pertanyaan penting harus kita renungkan: apakah Ramadan hanya soal ritual atau ada pesan sosial yang harus terus kita hidupkan?
Advertisement
Salah satu pilar utama Ramadan adalah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah sistem yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan sosial. Allah SWT berfirman:
"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ"
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…" (QS. At-Taubah: 103).
Namun ironinya, di saat sebagian orang menunaikan zakat, sebagian lainnya tenggelam dalam konsumsi berlebihan. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan pengendalian diri justru berubah menjadi ajang pesta belanja. Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan:
"لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ"
"Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan (sejati) adalah kekayaan jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pernyataan ini selaras dengan ajaran Islam tentang keadilan sosial. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa salah satu tujuan utama zakat adalah memastikan distribusi kekayaan yang adil, agar tidak hanya berputar di kalangan orang kaya saja. Allah SWT berfirman:
"كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ"
"Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS. Al-Hasyr: 7).
Sayangnya, semangat ini sering kali pudar setelah Ramadan berlalu. Zakat memang dibayarkan, tetapi konsumsi masih timpang—sebagian berfoya-foya, sementara sebagian lain tetap hidup dalam keterbatasan. Kita perlu bertanya, apakah keadilan sosial yang diajarkan Ramadan hanya berlaku sebulan dalam setahun?
Ramadan belum selesai jika spiritnya belum benar-benar kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat berbagi, empati terhadap kaum dhuafa, dan kesadaran untuk tidak berlebihan dalam konsumsi harus menjadi kebiasaan yang berlanjut. Rasulullah ﷺ bersabda:
قال رسول الله ﷺ:
"إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب فإنما هو استدراج، ثم تلا قوله تعالى: (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ)"
(“Jika engkau melihat Allah memberikan seseorang kenikmatan dunia dalam kemaksiatannya, maka itu hanyalah istidraj.” Kemudian beliau membaca firman Allah: "Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kenikmatan) untuk mereka. Hingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.") (QS. Al-An’am: 44) (HR. Ahmad).
Jangan sampai Ramadan hanya menjadi momen seremonial tanpa meninggalkan dampak nyata dalam kehidupan kita. Jika keadilan sosial hanya kita ingat saat membayar zakat, tetapi kita lupakan dalam keseharian, maka esensi Ramadan belum benar-benar kita pahami.
Maka, setelah Ramadan ini, mari terus hidupkan semangat zakat dengan kepedulian nyata, kurangi konsumsi berlebihan, dan jadikan keadilan sosial sebagai prinsip hidup, bukan sekadar rutinitas tahunan. Ramadan memang berakhir, tetapi nilai-nilainya harus terus hidup.
Wallahul Musta'an wailahittuklan.
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |