Takhta Kemenangan: Idul Fitri dan Makna Sejati Sebuah Kemenangan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kemenangan seringkali dikaitkan dengan kejayaan duniawi politik, bisnis, olahraga, atau akademik. Sorak-sorai dan perayaan mengiringi mereka yang meraih puncak. Namun, adakah kemenangan yang lebih bermakna daripada sekadar euforia sesaat? Kini, Ramadan akan usai, dan Idul Fitri akan kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Ataukah hanya menyelesaikan satu bulan ibadah tanpa perubahan berarti?
Idul Fitri: Kembali ke Fitrah, Bukan Sekadar Perayaan
Banyak orang menganggap Idul Fitri sekadar hari makan bersama, bersilaturahmi, dan berpesta setelah sebulan penuh berpuasa. Padahal, Idul Fitri memiliki makna yang jauh lebih dalam.
Advertisement
Secara etimologi, Idul Fitri berasal dari kata الإفطار (al-iftār), yang berarti “berbuka” setelah menahan diri dari makan dan minum. Kata العيد (al-‘īd) sendiri berasal dari akar kata yang berarti “kembali,” merujuk pada kebahagiaan yang senantiasa datang setiap tahun setelah umat Muslim menuntaskan ibadah mereka (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 694).
Namun, “berbuka” dalam Idul Fitri bukan hanya tentang makanan. Ini adalah perayaan kembalinya manusia kepada fitrah, sebuah kesucian spiritual yang telah ditempa oleh Ramadan. Idul Fitri mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya keberhasilan menahan lapar dan dahaga, tetapi bagaimana seseorang kembali menjadi pribadi yang lebih bersih, lebih baik, dan lebih bertakwa.
Sebagai bagian dari perayaan ini, Islam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyucian jiwa dan harta. Ini bukan hanya amal sosial, melainkan simbol bahwa kemenangan bukan sekadar untuk diri sendiri, tetapi juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membutuhkan.
Dalam Islam, bahkan kebahagiaan pun memiliki aturan. Rasulullah melarang umatnya berpuasa pada hari pertama Idul Fitri sebagai tanda bahwa kebahagiaan setelah Ramadan adalah bagian dari ibadah (Sunan Abu Dawud, 6/305). Namun, apakah perayaan ini cukup untuk disebut sebagai kemenangan sejati?
Kemenangan Hakiki: Takwa sebagai Mahkota Kejayaan
Kemenangan bukan hanya tentang merayakan akhir dari sebuah perjalanan, melainkan tentang hasil dari perjalanan itu sendiri. Allah SWT menegaskan dalam Surat An-Nazi'at ayat 31: “Inna lil muttaqina mafaza” bahwa kemenangan sejati adalah milik mereka yang bertakwa.
Jika Ramadan adalah medan perjuangan, maka Idul Fitri adalah podium pemenang. Tetapi, siapa pemenang sejati? Mereka bukan hanya yang sukses menahan lapar, melainkan yang berhasil menjadikan Ramadan sebagai titik balik menuju kehidupan yang lebih bertakwa.
Takwa bukanlah sekadar teori, melainkan prinsip hidup. Kemenangan sejati bukan hanya kebahagiaan duniawi, tetapi juga keselamatan akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran ayat 185: “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.” Maka, kejayaan yang sesungguhnya bukan pada harta, jabatan, atau popularitas, melainkan pada keteguhan iman dan amal kebaikan yang membawa manusia ke surga.
Pasca-Ramadan: Pembuktian Sejati
Berakhirnya Ramadan bukanlah akhir dari perjalanan spiritual kita. Justru, di sinilah ujian sebenarnya dimulai. Apakah kita hanya menjadi hamba Ramadan, atau benar-benar menjadi hamba Allah? Apakah kebiasaan baik selama Ramadan akan terus kita pertahankan, atau hanya menjadi ritual tahunan yang segera kita tinggalkan? Apakah kita tetap menjaga shalat berjamaah setelah Ramadan? Apakah kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari? Apakah kita tetap menjaga lisan, menahan amarah, dan menjauhi kemaksiatan?
Jangan sampai Ramadan berlalu tanpa meninggalkan bekas dalam diri kita. Sebab, kemenangan sejati bukanlah mereka yang hanya kuat dalam sebulan, tetapi mereka yang mampu istiqamah sepanjang hayati
Idul Fitri bukan hanya tentang kemenangan setelah Ramadan, tetapi tentang pengingat bahwa kehidupan adalah perjalanan menuju kemenangan yang lebih besar: kemenangan di akhirat. Dunia akan terus menawarkan kejayaan semu, tetapi hanya satu kemenangan yang benar-benar berharga: ketika kita kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal yang diterima.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Ankabut ayat 58: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan.”
Jadi, Ramadan telah usai. Idul Fitri kita rayakan. Tapi, apakah kita benar-benar menang? Atau hanya terjebak dalam euforia sesaat? Jawabannya ada dalam pilihan kita sendiri.
Wallahul Musta'an wailahittuklan.
***
*) Penulis adalah Dr KH Halimi Zuhdy, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun Malang, ketua RMI PCNU Kota Malang, dosen UIN Malang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |