Peristiwa Daerah

Penanganan Pelanggaran HAM, Lia Istifhama Apresiasi Kerja Keras Kanwil Menkumham Jatim

Kamis, 11 Juli 2024 - 16:57 | 26.70k
Anggota DPD RI Terpilih 2024-2029, Lia Istifhama saat focus group discussion (FGD) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur. (Foto: Sahabat Ning Lia)
Anggota DPD RI Terpilih 2024-2029, Lia Istifhama saat focus group discussion (FGD) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur. (Foto: Sahabat Ning Lia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Timur menggelar focus group discussion (FGD) dengan topik “Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor 23 Tahun 2022 Tentang Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM”. FGD ini digelar pada Rabu, (10/7/2024) kemarin di Ruang rapat Divisi Yankum JAYANAGARA.

Hadir pada FGD itu, Kepala Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Fitriadi Agung Prabowo dan akademisi yang kini menjadi anggota DPD RI Terpilih Jatim, Lia Istifhama.

Advertisement

Fitriadi yang sebelumnya Kepala Subbidang Pelayanan Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, menyampaikan tentang situasi pelanggaran HAM yang ditangani oleh Kemenkumham Jatim.

“Sampai saat ini, karena jenis pelanggaran HAM terus mengalami perkembangan, maka kami pun dari kanwil kemenkumham terus melakukan upaya perbaikan. Diantaranya, hingga saat ini kami memiliki 60 unit pelayanan teknis (UPT) yang langsung berhadapan dengan pelayanan publik, termasuk penanganan pelanggaran HAM,” terangnya.

Ditambahkan olehnya, bahwa Kanwil Kemenkumham terus melakukan perbaikan di tengah keterbatasan SDM.

“Penganggaran untuk pelayanan laporan pelanggaran HAM memang sangat terbatas, sehingga SDM sangat minim jumlahnya dan di lapangan pun kurang mendapat bekal kapabilitas yang memadai karena tidak ada kesempatan mereka untuk mendapat pembekalan akibat minim anggaran kami. Selain itu, kami belum maksimal menerima aduan secara media daring atau online," ujarnya.

Anggota-DPD-RI-Terpilih-2024-2029-B.jpg

“Namun kami komitmen terus berupaya hadir dan memperbaiki pelayanan karena pelanggaran HAM yang kami tangani adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oknum insititusi negara. Baik itu pelanggaran perdata, persoalan imigrasi, perizinan, sengketa balai harta peninggalan, hingga perda,” lanjutnya.

“Sebagai info, pelayanan kami yang dulu bernama yankomas yaitu Pelayanan Komunikasi Masyarakat, sekarang menjadi yankoham atau pelayanan HAM. Disini kami tidak sekedar menerima laporan, namun juga berupaya memberikan layanan solutif. Sebagai contoh, kami lakukan dua pendekatan. Pendekatan restorative justice ke kedua belah pihak dan atau ke APH (aparat penegak hukum) jika ditemukan unsur kuat pidana," kata Fitriadi.

Menariknya, Lia Istifhama yang hadir dari unsur tokoh masyarakat, ternyata pernah menerima layanan dari Kanwil Kemenkumham Jatim.

“Kebetulan saya pernah mengalami pelayanan HAM disini. Dimana orang tua saya menjadi korban penipuan dimana dianggap menjual ponpes padahal akad sesungguhnya adalah bertujuan melakukan perikatan utang piutang. Saat itu kasus tersebut diperiksa dan disidang dalam Majelis Pengawas Wilayah yang merupakan bagian dari Kemenkumham Jatim," ujarnya.

“Cara MPW melakukan sidang, sangat obyektif dibandingkan majelis lainnya. Ini menunjukkan Kemenkumham Jatim sangat menjaga integritas, kejujuran, dan netralitas. Karena saya kira semua yang melek hukum, tahu mana sebuah perikatan hasil rekayasa atau persekongkolan, mana yang memang diorder dengan tujuan yang benar,” imbuh Ning Lia.

Ning Lia terang-terangan menyampaikan apresiasi kepada Kanwil Kemenkumham Jatim. “Patut diapresiasi atas agenda FGD ini sebagai bentuk pendalaman data lapangan tentang peristiwa pelanggaran HAM di tengah masyarakat. Terlebih memang dalam kenyataannya, Kanwil Kemenkumhan Prov Jatim termasuk tiga besar yang menerima pengaduan pelanggaran HAM, bukti bahwa Kemenkumham Jatim berhasil hadir di tengah masyarakat dan mendapatkan kepercayaan atau trust untuk menangani pengaduan,” katanya.

Ia pun menyinggung keberadaan Kemenkumham Jatim yang mayoritas menangani masalah hak memperoleh keadilan.

“By data kan terlihat bahwa Kemenkumham Jatim mayoritas menerima aduan tentang hak memperoleh keadilan, yang dalam hal ini banyak terkait perdata atau perikatan dengan obyek adalah tanah. Ini penting sekali sebagai bentuk self reminder semua pihak bahwa masalah yang sangat umum terjadi namun sangat pelik penyelesaiannya memang terkait tanah, entah perikatan utang piutang maupun jual beli.”

Blak-blakan, Doktoral UINSA itu bahkan menyebut potensi kejahatan kerah putih.

“Kejahatan kerah putih seringkali kita sematkan pada individu atau kelompok yang memiliki akses dan wewenang terhadap sumber daya keuangan atau informasi rahasia pihak tertentu. Sebagai contoh kalau bicara perikatan utang piutang maupun jual beli, maka oknum pelaku kejahatan adalah yang memiliki kewenangan dalam pembuatan perikatan," kata Ning Lia.

“Oleh sebab itu, ketika banyak laporan masyarakat terkait masalah hukum yang menjerat mereka karena awam pengetahuan, maka kita pun diingatkan atas adagium hukum ‘ignorantia excusatur non juris sed facti, bahwa ketidaktahuan terhadap kejadian dapat dimaafkan.’ Jadi memang sangat rentan masyarakat jadi korban karena ketidaktahuan sehingga mudah dimanfaatkan dan dijerat sebagai pihak yang dirugikan," lanjut Ning Lia.

“Contoh, niat berhutang, tapi dijebak sebagai ikatan jual beli. Atau case lain, seperti membeli tanah, tapi ternyata tanah sengketa, dan sebagainya yang mana banyak modus serupa di tengah masyarakat. Dan korban selalu lemah dalam pembuktian karena yang namanya sindikat kejahatan kerah putih atau mafia tanah misalnya, sudah menyiapkan semua bukti yang bisa diatur untuk menjerat korban yang tidak dipahami oleh pihak korban," ujarnya.

Atas realita itu, ning Lia pun berharap ada efek jera pada pelaku kejahatan kerah putih.

“Ada sebuah adagium, ignorantia eorum quae quis scire tenetur non excusat yang berarti ketidaktahuan terhadap hal – hal yang seharusnya diketahui bukan alasan, yaitu tidak bisa menghindari implikasi hukum atas suatu kejadian. Kalau saya maknai, tidak ada alasan pihak yang berwenang dalam sebuah perikatan tidak tahu detail obyek perikatan sedangkan mereka seharusnya tahu obyek tersebut sehingga secara rasional mengetahui ini perikatan yang benar atau rekayasa pesanan dari sindikat?” kata Ning Lia.

“Jadi intinya, tidak mungkin tidak tahu. Oleh sebab itu, jika ada oknum yang memiliki kewenangan dalam sebuah perikatan yang disinyalir bahkan terbukti melakukan pelanggaran HAM, harus ada sanksi tegas," ujarnya.

“Bila perlu bukan hanya pemberhentian izin profesi, tapi juga publikasi ke media massa karena bisa jadi banyak korban dari oknum berwenang tersebut tapi tidak bisa speak-up karena minim pengetahuan. Selain itu, sanksi tegas diperlukan agar mereka bisa menghormati marwah profesi yang mereka emban sebagai profesi yang membantu masyarakat, bukan menjebak dalam sebuah rekayasa perikatan,” tegasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES