Mendidik dan Membentuk Karakter Anak dengan Filosofi Ayam

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada filosofi ayam kampung dan horn disampaikan mubaligh KH Kholili di tengah-tengah kultum 7 menit Pekan Islami XV PT Anugerah Citra Abadi (PT ACA) pada acara santunan anak yatim. Filosofi ini mengenai pentingnya tirakat dalam mendidik anak.
Tirakat adalah suatu upaya spiritual seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada Tuhan, baik berupa perilaku, hati dan pikiran. Salah satu yang dilakukan dalam tirakat adalah berpuasa.
Advertisement
"Tirakat itu sangat penting, terutama bagi ibu-ibu dalam mendidik anaknya. Sebab anak yang ditirakati dengan anak yang tidak ditirakati hasilnya akan berbeda," kata Kholili.
Ia lantas mengangkat filosofinya penetasan ayam kampung dengan penetasan ayam horn. Ayam kampung yang ditetas dengan cara dierami induknya selama 21 hari, hasilnya akan cerdas. "Coba saja saat akan ditangkap, butuh lebih dari satu bahkan sampai empat orang. Karena ayam kampung itu akan lari ke sana kemari," ujarnya.
Tapi kalau ayam horn, ditetaskan dengan mesin penetas. "Begitu jadi ayam, sampai besar bodoh. Saat dilepaskan satu orang bahkan bisa menangkap empat sampai lima ekor ayam horn," katanya lagi.
Kenapa kok bisa begitu? "Karena saat mengerami telurnya itu, induk ayam kampung tirakat. Selama 21 hari ia tidak makan dan tidak minum. Menjaga telurnya dengan istiqomah sampai menetas. Tetapi ayam horn tidak. Mesin tidak bisa tirakat, jadinya ayam yang menetaspun langsung menjadi lholhak lholok (bodod)," kata Kholili.
Begitu pun terhadap kaum ibu. Terutama yang memiliki anak yatim, ia mengingatkan banyak-banyaklah bertirakat untuk anaknya seperti ayam. "Ya tidak berarti selama 21 hari tidak makan dan tidak minum seperti ayam gitu. Pokoknya jangan seperti itik. Itik itu usai bertelor ya ditinggal. Kalau ayam telornya pasti akan dilihat, ditunggui, kemudian dierami," paparnya.
Bagaimana mentirakati anak? "Ya misalnya dipuasani, dikirimi Al- Fatehah saat bulan kelahirannya. Apalagi keadaan sekarang berbeda dengan jaman dulu. Sekarang sudah jaman milenial, maka kalau orang tua salah mendidik akan menjadi penyesalan seumur hidup," tutur Kholili.
Kalau jaman dulu, ia contohkan, saat subuh, dengan mengenakan terompah (bakiak) terus berjalan di depan kamar anak-anak pondok dengan suara yang dikeraskan, mereka akan terbangun dan siap berwudu untuk melaksanakan shalat.
"Tetapi di jaman milenial ini, terompah saya malah disembunyikan sama anak-anak. Jadi keadaan tidak sama. Kalau jaman dulu, anak pondok kalau terlambat kiriman dari orang tuanya, ia akan berpuasa agar segera dikirimi. Tetapi anak sekarang kalau kiriman orang tua terlambat, maka akan di WA," ujarnya.
Kholili juga sempat menawarkan satu anak yatim karena korban Covid-19, apabila ibunya tidak sanggup atau tidak mampu untuk untuk mengurusinya karena ekonomi, maka ia siap menerima anak itu. Kholili mengungkapkan akan mengikuti jejaknya Iwan Kurniawan. Ia berjanji akan menyekolahkan dan memondokkan anak itu sampai lulus.
Ia juga akan menawarkan bila ada yang mengalami kesulitan tentang anaknya yang ingin mengaji dan sekolah, tetapi tidak mampu, maka ia.siap menerimanya dan akan ia bawa ke Yayasan Al Maun di Ngajum, Kabupaten Malang. "Akan saya pondokkan, sekolahkan, akan saya antar jemput," ujar Kholili.
Itulah filosofi ayam kampung dan horn yang disampaikan mubaligh KH Kholili di tengah-tengah kultum 7 menit Pekan Islami XV PT Anugerah Citra Abadi (ACA) pada acara santunan anak yatim yang cukup menarik untuk difahami tentang pentingnya tirakat dalam mendidik anak. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |