Indonesia Positif

Komisi IV DPR RI Serap Aspirasi RUU KSDAHE di UGM

Kamis, 08 Desember 2022 - 17:43 | 34.70k
Komisi IV DPR RI bersama sejumlah pakar melakukan FGD terkait persoalan konsep konservasi, ekosistem di Fakultas Kehutanan UGM. (FOTO: Humas UGM for TIMES Indonesia)
Komisi IV DPR RI bersama sejumlah pakar melakukan FGD terkait persoalan konsep konservasi, ekosistem di Fakultas Kehutanan UGM. (FOTO: Humas UGM for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada atau UGM menerima kunjungan kerja Komisi IV DPR RI yang diketuai oleh drh. H. Slamet. Mereka diterima secara langsung oleh Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, SHut MP MSc PhD di Fakultas Kehutanan kampus setempat, Kamis (8/12/2022).

Pada kunjungan tersebut, Komisi IV DPR RI melakukan FGD dengan pakar-pakar UGM untuk menyerap aspirasi terkait Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau RUU KSDAHE. 

“Besar harapan kami bisa mendapatkan masukan dari UGM terkait RUU KSDAHE dari FGD ini,” kata Slamet Ketua Kunker Komisi IV DPR RI. 

Lebih lanjut, Slamet menyampaikan revisi terhadap UU No. 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE perlu dilakukan. Sebab, undang-undang ini tidak lagi bisa menjawab tantangan dan persoalan konservasi saat ini. “UU No. 5 Tahun 1990 ini sudah hampir 30 tahun tidak dilakukan judicial review," ucapnya saat kunker ke UGM.

Sementara ada sisi yang memang harus ada perubahan seperti dari penegakan hukum, pemanfaatan sumber daya alam hayati, maupun perlindungannya sehingga dengan RUU nantinya bisa menguatkan lagi pada isi per pasalnya disesuaikan dengan dinamika perkembangan zaman.  

Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta pun menyampaikan harapan serupa. Dari FGD ini diharapkan pembahasan RUU KSDAHE bisa menghasilkan poin-poin penting yang bisa menjadi landasan bagi petugas teknis dibawahnya.

“Di FGD ini akan dipaparkan secara singkat masukan dari pakar UGM dibidang kehutanan dan hukum. Harapannya dengan RUU nantinya UU akan semakin kuat sehingga pedoman bagi petugas teknis lapangan jadi lebih jelas,” jelasnya.

Dalam FGD mengundang sejumlah pakar beberapa diantaranya adalah Ahli Ekologi Hutan, Prof Dr Djoko Marsono, Ahli Manajemen Hutan, Prof Dr San Afri Awang, Ahli Hukum Pidana, Dr Supriyadi, Ahli  Hukum Lingkungan, Dr Harry S, Ahli KSDH, Dr Sena Adi S, Ahli Biologi Konservasi, Dr M Ali Imron, serta Ahli Pengelolaan Kawasan Konservasi, Dr Hero Marheanto. Para pakar tersebut menyampaikan masukan-masukan terkait persoalan konsep konservasi ekosistem.

Ahli Ekologi Hutan, Djoko Marsono dalam kesempatan itu menyampaikan sejumlah masukan terhadap RUU KSDAHE, salah satunya terkait konsep konservasi sumber daya alam. Ia lebih setuju untuk mengembalikan konsep konservasi ke UU No. 5 Tahun 1990 sebab pengertian tentang konservasi sumber daya alam hayati menjadi lebih luas. 

Konservasi sumber daya alam hayati dimaknai sebagai tindakan pelindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekargaman sumber daya alam hayati, dan pemanfaatan secraa lestari terhadap sumber data alam hayati. Sementara untuk pengertian ekosistem sumber daya alam hayati saja atau lebih spesifik karena pengertian eksositem akan sangat banyak.

“Perlu konsistensi istilah tentang kawasan konservasi dan kawasan di luar  kawasan konservasi, sebab selama ini masih ada inkonsistensi,” tegasnya.

Djoko menyampaikan masukan lain terkait azas konservasi sumber daya alam hayati pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati bertentangan dengan tujuan untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Sedangkan terkait pemanfaatan keanekaragaman ekosistem, jenis serta genetik tumbuhan dan satwa, sudah selayaknya dipastikan hanya boleh dilakukan diluar zona inti KPA dan KSA.

Ahli Manajemen Hutan, San Afri Awang menyampaikan masukan terkait pentingnya pengaturan masyarakat hukum adat dalam UU ini. Sebab ada 3.200 desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan konservasi. Menurutnya, kedepan perlu penyelesaian mengingat hutan adat adalah hutan yang dimiliki masyarakat hukum adat dan bukan hutan negara.

“RUU DPR ini dapat dinilai progresif, sementara usulan pemerintah cenderung konservatif dan menyarankan kembali ke UU No. 5 Tahun 1990,” imbuhnya.

Menurutnya langkah pemerintah yang cenderung konservatif juga terlihat dalam bab partisipasi masyarakat. Seluruh daftar inventarisasi masalah terkait hal ini ditolak oleh pemerintah, sementara di UU No. 5 Tahun 1990 partisipasi tidak jelas. Hal yang sama juga terjadi dalam partisipasi masyarakat adat dan masyarakat sekitra hutan. 

Dalam RUU DPR hal ini diatur dengan rinci dan jelas namun pemerintah mengajak kembali pada UU KSDHAE. “Sekali lagi pemerintah konservatif dan mengajak kembali ke UU KSDHAE, jika kembali ke UU ini maka banyak masalah tidak dapat diselesaikan," tambahnya.

Sementara Ahli Hukum Pidana, Supriyadi menekankan perlunya untuk memastikan kembali apakah RUU KSDAHE dimaksudkan untuk merubah atau mencabut UU KSDAHE karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap penyusunan judul, sistematika, dan substansinya. 

Selain itu, perlu adanya pemahaman bahwa RUU KSDAHE tidak bisa dikategorikan sebagai RUU Pidana Murni melainkan hanya merupakan RUU Pidana Administrasi sehingga perlu diperhatikan penyusunan materi muatan hukum pidananya.

“Penyusunan materi muatan hukum pidana dalam RUU KSDAHE perlu memperhatikan UU PPP (UU No. 12/2011 jo UU No. 15/2019 jo UU No. 13/2022), KUHP Baru (Bab I-V Buku Kesatu), maupun UU Hukum Acara Pidana/KUHAP (UU No.8/1981),” paparnya.

Turut hadir dalam FGD RUU KSDAHE bersama Komisi IV DPR RI di UGM ini antara lain yaitu Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, Dirjen PJLKK dan Direktur BPPE, Ditjen KSDAE, KLHK, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Perikanan. (*) 


 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES