Masifkan Pemanfaatan Biomassa; EBT Meningkat, Devisa Negara Terangkat

TIMESINDONESIA, MALANG – Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Mungkin peribahasa itu yang pas untuk menggambarkan langkah Pemerintah dalam melakukan transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Bagaiamana tidak, ketika pemerintah berhasil mengganti prioritas sumber energi ke EBT, akan ada bebarapa peluang yang dapat diraup sekaligus. Seperti menyelamatkan bumi, menambah devisa negara, hingga menaikan tingkat perekonomian masyarakat.
Salah satu sumber EBT yang memiliki potensi besar di Indonesia adalah Biomassa. Hal ini karena sebagai negara tropis, Indonesia telah dianugerahi ketersediaan sumber daya biomassa yang sangat besar. Mengutip dari peta potensi Hutan Tanaman Energi yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero), hampir seluruh pulau di Indonesia memiliki kekayaan tersebut. Mulai dari Sumatera hingga Papua.
Advertisement
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat potensi bioenergi di Indonesia mencapai 32,6 gigawatt (GW). Dari situ, potensi nilai investasi yang akan mengalir di Indonesia mencapai US$ 52,1 miliar. Sedangkan potensi devisa yang bisa diperoleh dari ekspor bahan baku biomassa berwujud wood pellet mencapai 60 juta ton wood pellet dengan nilai Rp 90 triliun pertahun.
Berbeda dengan catatan Kementrian ESDM, Guru besar bidang bioenergi Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Bambang Dwi Argo D.E.A. punya perhitungan sendiri soal potensi limbah biomassa yang ada di NKRI. Jumlahnya lebih besar dari yang diperkirakan oleh Kementrian. Dari hasil perhitungannya, didapat besar potensi energi dari limbah biomassa di Indonesia mencapai 35,6 GW.
Total potensi energi tersebut berasal dari 6 komoditi unggulan yang ada di Indonesia. yakni limbah padi (Oryza sativa), limbah jagung (Zea mays), limbah singkong (Manihot utilissima), limbah kelapa sawit (Elaeis guineensis, Jacq), limbah kelapa (Cocos nucifera, L.) dan limbah hutan produksi.
"Kontribusi dari limbah padi sebesar 54,52 %, limbah jagung 9,74%, limbah singkong 6,45%, limbah kelapa sawit 2,29%, limbah kelapa dalam 2,3%, dan limbah hutan produksi 24,69%," terangnya.
Pria yang mendapatkan gelar doktor di Institute Science Aplique de Toulouse, Perancis di bidang Sistem dan Teknik Energi itu menuturkan, data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti Kementerian Pertanian berupa angka tetap produksi dan luas panen pertanian, serta peta tematik kawasan hutan milik Kementerian Kehutanan.
Bila dilihat lebih mengerucut lagi, tepatnya di Provinsi Jawa Timur, potensi yang dimiliki juga tak kalah menggiurkan. Prof Bambang menyebut, Jawa timur mempunyai potensi menghasilkan limbah biomassa yang relatif cukup besar, atau lebih dari 10%. "Khususnya untuk tanaman padi dan tebu dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia," kata dia.
Menurutnya, optimalisasi EBT sangat penting untuk segera direalisasikan. Karena berdasarkan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan energi nasional pada 2050 mencapai 2,9 miliar setara barel minyak (SBM).
Angka ini meningkat 0.03% per tahun dari proyeksi kebutuhan energi pada tahun 2040 sebanyak 2,1 miliar SBM. Proyeksi peningkatan kebutuhan energi
tersebut sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk, harga energi, dan kebijakan pemerintah.
Menurut sektornya, kebutuhan energi akan didominasi oleh sektor industri dengan perkiraan pertumbuhan rata-rata 3,9% per tahun. Kemudian, sektor komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya juga terus meningkat seiring dengan meningkatnya perekonomian dan jumlah penduduk.
Selanjutnya, adanya perkembangan inovasi teknologi berbasis listrik hampir di setiap sektor, seperti kendaraan listrik mengakibatkan kebutuhan listrik meningkat pada 2050 dengan laju pertumbuhan sebesar 4,7% per tahun.
"Limbah biomassa mempunyai potensi untuk dapat dikonversi menjadi sumber energi atau produk produk turunan yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi," pungkasnya.
Direktur Manajemen Proyek EBT PT PLN, Wiluyo Kusdwiharto menerangkan, saat ini PLN telah mengganti pemakaian batu bara di 41 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan produk biomassa seperti sekam padi, cangkang sawit, sampah, dan lain sebagainya.
"Sudah kita diaplikasikan di 41 PLTU kita dari total 52 PLTU. Dan kadar atau volumenya masih 5 persen," ucapnya dalam seminar Seminar Transisi Energi, yang digelar di UB pada (28/11/2023) lalu.
Pihaknya pun meminta, apabila ada industri yang menghasilkan biomassa tersebut, untuk bisa berkoordinasi dengan pihak PLN sehingga produk tersebut bisa digunakan untuk menggantikan batu bara.
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember itu juga mengaku telah mendorong Kementrian ESDM untuk membuat Peraturan Pemerintah (Permen) mengenai Biomassa ini. "Dan diharapkan harganya bisa bersahabat. Sehingga produsen biomassa ini bisa mengirimkan produk mereka ke PLN untuk menggantikan batu bara," tuturnya.
Dari segi ekonomi, Abdul Ghofar, SE., MSi, MAcc., DBA., Ak., CA mengatakan bahwa transisi energi ini memang harus segera direalisasikan oleh Indonesia apabila ingin pertumbuhan ekonominya terus meningkat. Pemerintah harus berani melepaskan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun saat ini fosil memang menjadi pendapatan terbesar negara dari sektor non pajak.
Pria yang juga sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB itu memaparkan sebuah data, pendapatan negara bukan pajak tertinggi pertama berasal dari mineral dan batu bara (Minerba) atau lebih dari Rp 150 triliun. Kemudian disusul gas dan minyak sekitar Rp 148 triliun. Sedangkan yang berasal dari EBT pendapatan negara baru sekitar Rp 2 triliun.
"Jadi bisa dibayangkan bedanya pendapatan pemerintah dari fosil energi dengan EBT. Rp 2 triliun dibandingkan hampir Rp 300 triliun PNBB dari bio fosil. Itu tantangan besarnya disitu," kata dia.
Namun mau tidak mau ketergantungan ini harus segera dilepaskan. "Negara lain sudah berani mengatakan bahwa ketergantungan pada bahan bakar fosil itu tidak sustainable dan itu malah membahayakan," tegasnya.
Ghofar melanjutkan, dalam ilmu ekonomi, ada teori kuznets inequality curve. Dimana apabila pertumbuhan sebuah negara mau maju, biasanya lingkungannya akan terganggu. Karena negara tersebut membutuhkan energi yang banyak. Tapi sampai pada titik balik tertentu dia harus berubah. Karena apabila tidak dilakukan, maka pertumbuhan ekonominya bukan semakin naik, tetapi akan turun.
"Jadi kalau Indonesia tidak segera berubah, tetap saja di fosil fuel, maka pertumbuhanya akan semakin turun, bukan semakin naik. Teori ekonominya mengatakan begitu. Walaupun selama bertahun-tahun kita sangat tergantung pada Fosil fuel itu," pungkasnya.
Guru Besar Bidang Rekayasa Sistem Daya dan Kecerdasan Buatan UB, Prof. Ir. Hadi Suyono, MT., Ph.D., IPU, ASEAN, Eng., yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik (FT) UB menjelaskan, ada beberapa hal yang harus disiapkan berkaitan dengan upaya transisi energi yang dilakukan oleh pemerintah. Yang paling utama yakni mempersiapkan generasi muda agar siap mengimplementasikan transisi energi itu sendiri.
Dia menyebut, ada 3 isu aktual yang berkaitan bagaimana negara menyiapkan sumber daya manusia yang ada di Indonesia. Yang pertama adalah masalah kualitas kurikulum, terutama di perguruan tinggi. "Jadi kualitas perguruan tinggi kita itu harus betul-betul kita siapkan dengan kurikulum yang memadai. Jadi ada beberapa topik yang sudah jadul tidak perlu lagi dimasukkan atau menjadi porsi yang tidak terlalu banyak," ucapnya.
Selanjutnya yakni membentuk kompetensi para generasi muda yang multitalenta dan multidisiplin. Sehingga mereka bisa dikembangkan pada item industri tertentu. "Dan yang terakhir adalah soal mindset. Bagaimana kita bisa mengimplementasikan kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan EBT sehingga ada perubahan mindset dari SDM secara luas," pungkas Prof Hadi. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |