(UN)HEGEMONY, Menggugah Kebebasan Ekspresi dan Perlawanan Terhadap Dominasi

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pameran seni bertajuk '(UN)HEGEMONY' hadir sebagai ruang bagi para seniman untuk menolak hegemoni dalam seni dan menampilkan kebebasan berekspresi yang tak terbatas.
Diikuti oleh 47 perupa dari berbagai kalangan, mulai dari seniman profesional maupun mahasiswa, pameran ini berlangsung di Galeri Dewan Kesenian Surabaya, kompleks Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo. Pengunjung dapat menikmati karya-karya dalam pameran ini mulai dari tanggal 28 Oktober hingga 3 November 2024.
Advertisement
'(UN)HEGEMONY' menampilkan beragam karya yang mewakili perlawanan terhadap sistem dominasi atau kekuasaan tunggal dalam seni. Yotandh selaku penulis di acara pameran ini, menyebutkan bahwa istilah "Unhegemoni" dalam dunia seni mengacu pada upaya untuk meniadakan pusat kekuatan dominan sebagai acuan, sehingga memungkinkan terciptanya dunia seni yang lebih inklusif dan bebas dari keterikatan formal.
"Ekspresi diri adalah perlawanan terhadap hegemoni, terutama di bawah pengaruh hierarki yang sering kali membatasi kebebasan seniman," ujar Yotandh dalam pengantarnya.
Dalam praktiknya, '(UN)HEGEMONY' menjadi ajang bagi para seniman untuk menciptakan karya tanpa batasan konvensional, menantang estetika baku yang kerap dikendalikan oleh galeri atau institusi seni formal.
Seniman yang terlibat dalam gerakan ini mengeksplorasi tema-tema yang marjinal dan ide-ide liar yang bersifat orisinal, membuka ruang bagi opini dan pandangan seni yang berbeda dan tak terbatas pada satu cara pandang. Hasilnya adalah seni yang lebih dinamis dan kaya akan perspektif, di mana karya-karya dari berbagai seniman menghargai keanekaragaman tanpa adanya satu acuan dominan.
Salah satu perupa yang turut berpartisipasi adalah Katitis Sekarin Gusti, seorang seniman asal Surabaya yang memukau para pengunjung dengan lukisannya berjudul 'Perseteruan Abadi antara Nalar dan Perasaan'. Lukisan dengan genre semi-surealis ini dikerjakan menggunakan teknik realis dengan medium acrylic on canvas, berukuran 50 x 50 cm. Karya ini mengeksplorasi perdebatan internal manusia antara nalar dan emosi, menggambarkan konflik abadi dalam diri kita ketika harus membuat keputusan.
Katitis menjelaskan bahwa karya tersebut terinspirasi dari ketertarikannya yang akhir akhir ini membaca buku psikologi yang memperlajari tentang emosi manusia.
"Lukisan ini menceritakan tentang diri kita yang seperti catur. Ada emosi kita yang maju, ada nalar kita yang maju. Kadang kita ingin memutuskan sesuatu, tetapi terhalang oleh perasaan yang mungkin sedang kacau atau sedih, sehingga kita tidak bisa berpikir dengan jernih," ungkapnya kepada TIMES Indonesia.
Melalui karyanya, Katitis mengajak para pengunjung untuk memahami dinamika emosional yang sering kali mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Baginya, seni adalah medium yang memungkinkan dirinya berbicara dengan jujur tentang konflik batin yang dialami setiap orang, menciptakan refleksi mendalam bagi yang melihatnya.
Tema-tema budaya yang kerap diangkat dalam karyanya, bisa dilihat banyak objek orang yang memakai slendang di karyanya yang dipamerkan di pameran (UN)HEGEMONY dan juga sekaligus representasi keunikan seni lokal yang dibalut dalam gaya modern.
Karya-karya lain dalam (UN)HEGEMONY juga menampilkan berbagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan otoritas estetika. Sebagai contoh, banyak seniman yang menolak formalitas dengan menghadirkan karya-karya eksperimental yang menggambarkan sudut pandang liar dan ide-ide yang sering kali dianggap marginal dalam dunia seni konvensional.
Dengan adanya "Unhegemoni", para seniman dapat bebas mengutarakan gagasan yang mungkin selama ini tersembunyi atau sulit diterima di ruang seni yang lebih formal. Gerakan ini membawa semangat baru dalam dunia seni dengan membebaskan setiap seniman dari tuntutan untuk mengikuti alur dan estetika baku yang selama ini mendominasi.
"Kebersamaan dalam perlawanan menjadi sebuah aksi yang menunjukkan kekuatan komunitas seni kita. Melalui (UN)HEGEMONY, para seniman dapat bertukar rasa, menjalin cita, dan merajut asa tanpa harus tunduk pada aturan yang membatasi," tutur Yotandh.
Dia menegaskan bahwa kebersamaan ini juga menjadi bentuk perlawanan terhadap konformitas, yang kerap kali didorong oleh arus mayoritas. "Karya-karya di sini adalah ungkapan keras dari kebebasan opini dan kebebasan berkarya, menjadi bukti bahwa orisinalitas adalah perjuangan tersendiri di tengah dorongan untuk beradaptasi dengan arus utama."
Para seniman dalam (UN)HEGEMONY sepakat bahwa dunia seni seharusnya tidak hanya dimonopoli oleh standar tunggal, melainkan dihargai dalam keanekaragaman bentuk dan ide. Setiap karya dalam pameran ini berfungsi sebagai media untuk mengungkapkan suara-suara yang mungkin selama ini terpinggirkan, sekaligus merayakan keberanian dalam menolak keterikatan pada satu bentuk ekspresi.
Pameran ini diharapkan dapat menginspirasi masyarakat dan seniman lainnya untuk berani mengekspresikan diri secara bebas tanpa dibatasi oleh dominasi estetika tertentu. Sehingga, seni bukan hanya tentang keindahan yang terdefinisi, tetapi tentang kebebasan berekspresi dan menghargai keragaman.
(UN)HEGEMONY adalah panggung kebebasan bagi para seniman untuk membentuk karya yang mencerminkan keberagaman, identitas, dan aspirasi mereka. Di tengah pameran ini, setiap individu bisa menemukan ruang untuk merenungkan bahwa seni, pada dasarnya, adalah kebebasan tanpa batas. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |