Puluhan Daerah Gelar PSU, Dosen UGM: Cermin Buruknya Tata Kelola Pilkada

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sebanyak 24 daerah di Indonesia akan menyelenggarakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Keputusan ini disinyalir membutuhkan anggaran hingga Rp719 miliar yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tengah efisiensi anggaran.
Advertisement
Pencoblosan ulang di 24 daerah ini dinilai Dosen Politik dan Pemerintahan UGM (Universitas Gadjah Mada), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, SIP, MA sebagai bentuk cerminan buruknya tata kelola pemilu dan pilkada di Indonesia belakangan ini.
“Keputusan PSU menjadi cerminan akan buruknya tata kelola pemilihan di Indonesia. Jelas ada banyak yang perlu diperbaiki. Pemilu atau pilkada kita ini prosesnya berhenti di pra-pemilihan. Secara substantif sudah bisa diperkirakan hasilnya, menjadi tidak kompetitif. Artinya Pilkada sekarang tidak berkualitas,” ungkap Alfath, Kamis (13/3/2025).
Ia menyoroti seluruh proses yang berperan dalam Pilkada, yaitu sejak partai politik melakukan kaderisasi, sampai penyampaian gagasan di publik. Seluruh proses tersebut saat ini sudah menjadi pragmatis dan jauh dari kata ideal demokrasi.
“Hubungan partai politik, kandidat dan masyarakat menjadi transaksional dan tidak substantif,” ujarnya.
Berangkat dari problematika tersebut, kata Alfath, masalah kecurangan dan pelanggaran Pilkada pun kian marak terjadi. Jika melihat penyebab dari keputusan PSU oleh MK, sebagian besar sengketa menyebutkan, bahkan sejumlah masalah administratif masih bermasalah.
Artinya, ada faktor-faktor pragmatis yang menyebabkan Pilkada tidak lagi berintegritas. Padahal pemerintah seharusnya memiliki kewenangan tegas untuk menegakkan aturan dan implementasinya selama pelaksanaan pemilihan.
“Pemilu kita ini mahal. Modalnya untuk menjadi kandidat saja luar biasa. Belum lagi budaya buying vote (membeli suara) di masyarakat,” kata Alfath.
Perbaikan Sistem Pemilu dan Pilkada
Menurutnya, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem Pemilu maupun Pilkada. Pertama, memperbaiki aturan kepemiluan.
Sebab, ada perbedaan antara pelaksanaan pemilihan di tingkat nasional dan daerah, disertai dengan jarak kampanye yang cukup lama. Dengan begitu, kandidat memiliki kesempatan menyampaikan visi misi ke masyarakat, dan masyarakat mampu memahaminya.
“Substansi tersebut penting menjadi bagian besar dalam pemilihan,” ucapnya.
Kedua, perlunya reformasi partai politik. Kaderisasi dan penyaringan kandidat harus dikembalikan ke titik awal. Posisi kandidat politik dilandaskan pada kapasitas seseorang, bukan kemampuan dan modal politik saja.
Terakhir, diperlukan penegasan dan penguatan Badan Pengawasan Pemilu. Seringkali dalam pelaksanaan pemilihan, Bawaslu belum menjadi elemen aktif yang memiliki kewenangan dalam penegakan aturan pemilu.
“Setelah penyelesaian regulasi, harapannya pemilu itu sifatnya meritokrasi. Hanya orang-orang yang berkapasitas dan ber-passion yang bertarung di pemilihan,” paparnya.
Alfath sangat menyayangkan jika pemungutan suara ulang dalam pelaksanaan Pilkada disebabkan adanya tindak kecurangan yang dilakukan oleh kontestan maupun penyelenggara pilkada.
Padahal seharusnya PSU dilakukan apabila terjadi bencana alam atau kerusuhan sehingga hasil pemungutan suara tidak bisa digunakan. Meskipun bukan merupakan hal baru dalam sengketa pemilihan, namun PSU kali ini jelas memberikan tambahan beban bagi peserta maupun penyelenggara Pilkada.
“Contohnya di Papua dia membutuhkan sekitar Rp100 miliar. Jumlah itu sangat melebihi kemampuan dari APBD. Belum lagi tenaga dan waktu yang harus dikerahkan,” tutur Alfath.
Apalagi di tengah efisiensi pemerintah, anggaran yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pengelolaan dan pembangunan justru harus dikeluarkan untuk mengulangi kembali proses pemilihan.
“Beban tersebut menyebabkan pemerintah daerah harus melakukan penyesuaian kembali terhadap APBD,” imbuhnya.
Selain persoalan anggaran untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang, ada potensi juga terjadi banyak perubahan konstelasi politik dalam Pilkada.
Mulai dari ketersediaan sebagian suara, masa kampanye yang tidak ideal, serta antusiasme masyarakat yang tidak seperti pelaksanaan Pilkada pertama kali.
“Perlu ada upaya untuk menekan PSU sebagai konsekuensi ketidaksesuaian pelaksanaan Pilkada,” tutupnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |