Kopi TIMES

Akar Sosial Korupsi: Dari Pola Asuh hingga Ekonomi

Senin, 23 Juni 2025 - 06:06 | 7.94k
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Isu korupsi sering menjadi pusat perhatian publik dan kerap dikaitkan dengan keserakahan individu maupun kelemahan sistemik. Namun, tahun 2024 membawa angin segar bagi Indonesia. 

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International, skor Indonesia naik dari 34 menjadi 37, menempatkan negara ini di peringkat ke-99 dari 180 negara. Meski mengalami perbaikan, skor CPI 37 masih mencerminkan bahwa Indonesia dipandang sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. 

Advertisement

Capaian ini patut diapresiasi, mengingat rata-rata peringkat Indonesia sejak 1995 berada di angka 99,93. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyambut tren positif ini sebagai dorongan bagi penguatan agenda pemberantasan korupsi dan mengajak masyarakat untuk turut terlibat aktif.

Namun, di balik geliat optimisme tersebut, penting untuk menelisik akar dari perilaku koruptif yang sering kali tumbuh sejak dini melalui pola asuh dan pengaruh lingkungan sosial. 

Subhan Sofhian pernah menyatakan bahwa korupsi bukan hanya soal sistem yang lemah, melainkan juga karena rapuhnya karakter dan kesadaran moral pelakunya. Individu yang korup kerap menyalahgunakan akses dan jabatan demi keuntungan pribadi atau kelompok, menimbulkan kerugian besar bagi negara.

Praktik korupsi perlu dilihat dari hulunya. Ketika “bibit” korupsi tertanam dalam lingkungan yang permisif, peluang tumbuhnya perilaku menyimpang makin besar. Dampaknya bukan hanya pada kepercayaan publik, tetapi juga mengguncang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Maka, peran keluarga dan lingkungan sosial dalam membentuk karakter antikorupsi menjadi sangat krusial.

Pembentukan karakter dimulai dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Seperti menanam bibit, pola asuh menjadi tanah dan pupuk yang menentukan arah pertumbuhan. Pola asuh yang positif menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan empati sejak dini.

Anak yang terbiasa mengakui kesalahan dan memahami konsekuensi dari perbuatan akan tumbuh dengan integritas, menjadikan nilai moral sebagai pegangan utama.

Sebaliknya, pola asuh permisif membiarkan anak mencontek, berbohong, atau dimanjakan tanpa usaha menciptakan suasana yang toleran terhadap pelanggaran. Terlebih jika orang tua sendiri menjadi contoh ketidakjujuran, seperti memanipulasi aturan demi keuntungan pribadi, maka anak belajar bahwa melanggar itu wajar asal tidak ketahuan. Pola ini menumbuhkan mentalitas oportunistik yang bisa menjadi akar korupsi saat dewasa.

Selain keluarga, lingkungan sosial yang lebih luas seperti sekolah dan masyarakat, juga memainkan peran penting. Sekolah yang menindak tegas kecurangan mengajarkan bahwa kejujuran memiliki nilai dan pelanggaran memiliki konsekuensi. 

Begitu pula masyarakat yang menolak praktik “uang pelicin” atau “jalur belakang” membentuk norma kolektif yang mendorong integritas. Dalam iklim seperti ini, individu tumbuh dengan kesadaran moral sebagai benteng terhadap korupsi.

Namun, lingkungan permisif menciptakan lahan subur bagi perilaku koruptif. Ketika ketidakjujuran dianggap cerdik, atau sistem bisa dibeli dengan “bayaran tambahan”, terbentuklah persepsi bahwa integritas tidak relevan. 

Lebih berbahaya lagi jika orang jujur tersingkir sementara pelaku korupsi bebas tanpa sanksi, maka nilai-nilai moral ikut tergerus. Dalam kondisi ini, individu belajar bahwa ketidakjujuran lebih menguntungkan, dan menirunya ketika mendapat kuasa.

Ketika bibit perilaku koruptif tumbuh subur akibat pola asuh permisif dan lemahnya norma sosial, ia menjelma menjadi “pohon korupsi” yang rakus menyerap sumber daya publik tanpa memberi manfaat. 

Korupsi menyebabkan inefisiensi anggaran, di mana dana untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan diselewengkan. Akibatnya, layanan publik menurun dan mobilitas ekonomi terganggu. 

Tak hanya itu, iklim investasi pun terdampak karena investor lokal maupun asing menghindari sistem yang dipenuhi pungutan liar dan regulasi yang tidak transparan. Arus modal pun tersendat, lapangan kerja terbatas, dan pertumbuhan ekonomi melambat, menciptakan siklus negatif yang memperparah kemiskinan.

Dampak lain yang tak kalah serius adalah inflasi dan distorsi pasar. Praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sering menaikkan harga secara tidak wajar atau menurunkan kualitas. 

Akibatnya, masyarakat menanggung beban lebih besar untuk barang dan layanan yang tak sebanding mutunya. Ini merusak persaingan sehat dan membebani kelompok rentan, menurunkan daya beli, serta menggerus kepercayaan terhadap sistem ekonomi.

Jika kita menelusuri akar munculnya perilaku koruptif, terlihat jelas bahwa korupsi bukan semata persoalan hukum atau politik. Sumber utamanya sering kali terbentuk sejak awal, melalui pola asuh dalam keluarga dan pengaruh lingkungan sosial. 

Seperti ditegaskan Subhan Sofhian, pendidikan integritas menjadi kunci dalam membangun nilai antikorupsi. Ini bukan sekadar soal memperbaiki sistem, tetapi membentuk karakter sejak dini.

Meski begitu, pemahaman ini memberi harapan. Kenaikan skor IPK Indonesia menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi mulai menunjukkan hasil, berkat partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat.

Jika perilaku koruptif dapat dicegah sejak dini, maka tanggung jawab membangun budaya antikorupsi ada pada semua pihak, tidak hanya pada pemerintah atau penegak hukum.

Dari rumah, kita dapat menanamkan nilai integritas dan tanggung jawab sejak dini. Di sekolah dan masyarakat, kita membentuk budaya yang menolak ketidakjujuran dan menegakkan aturan secara adil. 

Bila setiap individu tumbuh dengan karakter kuat, perilaku koruptif akan sulit berakar dan menyebar. Sebaliknya, masyarakat yang menjunjung kejujuran akan mendorong pemerataan pembangunan, memperkuat kepercayaan investor, dan menciptakan kesejahteraan yang lebih merata. 

Singkatnya, pemberantasan korupsi bukan hanya tugas negara, tapi tanggung jawab bersama. Dari lingkungan terkecil, kita membangun fondasi bagi ekonomi Indonesia yang lebih kokoh, adil, dan berkelanjutan. (*)

***

*) Oleh : Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES