Sosok

Iskandar dan Wayang Uwuh: dari Sampah Hingga ke Galeri Dunia

Selasa, 27 Mei 2025 - 23:00 | 46.55k
Iskandar dan Wayang Uwuh karyanya di rumahnya, Selasa, 27/5/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Iskandar dan Wayang Uwuh karyanya di rumahnya, Selasa, 27/5/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTAIskandar Hardjodimulyo (63 tahun) sebelum dikenal sebagai pelukis dan pencipta Wayang Uwuh, ia adalah seorang seniman multitalenta. Dia lahir dan besar di Yogyakarta. Sejak kecil dia sudah akrab dengan dunia seni. Ayahnya, Hardjodimulyo, adalah seorang seniman panggung; pemain ketoprak, dan dalang Wayang Orang. Rumahnya sendiri sejak dia masih kecil dijadikan tempat latihan para seniman pertunjukan, hal itulah yang membekas dalam ingatan Iskandar hingga saat ini. Sayangnya, sang ayah wafat ketika Iskandar baru berusia lima tahun.

Meski tumbuh tanpa sosok ayah, cintanya pada kesenian tidak pernah padam. Ibunya turut berperan besar dalam membangun kecintaannya pada budaya wayang. Sejak Iskandar masih kecil, setiap hari, setiap malam ibunya mempunyai kebiasaan memutar siaran wayang dan uyon-uyon dari radio. Di rumahnya, wayang-wayang dari berbagai tokoh wayang tergantung di dinding rumah, mulai dari pandawa hingga punokawan.

Advertisement

Dia tahu Semar sejak masih kecil sebagaimana dia juga mengetahui Yudistira, Bima, dan Arjuna. Lingkungan keluarga dan tetangganya yang juga mencintai wayang secara perlahan membentuk kecintaan Iskandar kecil pada budaya Jawa, utamanya wayang. Rumahnya tinggal juga di jalan Bima Sakti. Bima adalah adik dari Yudistira keluarga Pandawa dalam dunia pewayangan.

Selasa (27/5/2025), TIMES Indonesia berkunjung ke rumahnya di jalan Bima Sakti, No. 29, Sapen, Demangan, Gondokusuman,  Yogyakarta. Rumahnya di tepi jalan berupa bangunan lawas yang jika dilihat dari depan sangat klasik. Ciri khas rumah rumah jawa orang berada pada zaman kolonial. Di bagian belakang rumahnya terdapat bangunan yang belum selesai.

“Ini rencananya akan saya buat galeri. Tapi ya, sampai di sini saja dulu,” ujarnya, sambil terkekeh.

Di dalam ruangan yang cukup besar itu terdapat beragam jenis wayang berbahan limbah plastik dan bekas botol mineral, juga kardus bekas. Unik dan penuh warna. Iskandar menggunakan cat akrilik untuk melukis wayang wayang uwuhnya yang terbuat dari sampah. Disebut wayang uwuh, karena bahan atau material yang dibuat wayang adalah sampah. Uwuh dalam bahasa jawa bermakna sampah. Saat Times Indonesia berada di bagian belakang rumahnya dia sedang membuat gapit untuk wayang yang dia buat dari plastik bekas wadah makanan.

Lempengan plastik bekas tutup wadah makanan itu dia gapit dari bambu yang juga dia ambil dari pepohonan. Lantas diikat dengan benang, digapit menjadi wayang. Setelah menggapit dan mengikat bagian atas dan bawah badan wayang, dia mewarnainya menggunakan cat akrilik.

“Ini bambu bambu untuk gapit juga limbah,” kata Iskandar pada Times Indonesia, Selasa, 27/5/2025 di rumahnya. Saya mencabutnya dari batang batang pohon di jalan Timoho, ujarnya.

Di jogja, banyak orang melukai pohon dengan memaku dan memasang poster di pohon pohon. Banner kampanye dari caleg partai, dan spanduk spanduk iklan dari para pedagang seenaknya saja dipaku dengan bambu pada pohon pohon di pinggir jalan itu, ujarnya. Setelah usai promosi, bilah bilah bambu itu masih tertancap di batang pohon. Jadi limbah. Jadi sampah.

“Saya tidak tahu, apakah mereka mengerti atau tidak jika pohon dipaku dan dilobangi untuk banner dan spanduk iklan itu pohonnya akan terluka. Sakit. Dan membuat batang pohon rapuh di beberapa bagian, jika musim hujan deras dan angin kencang, cabang cabang pohon bisa roboh dan jatuh di jalan, ‘kan bisa membahayakan orang,” ujar Iskandar.

Bilah bilah bambu yang tertancap di batang pohon pohon di beberapa ruas jalan di Jogja itulah yang kini dijadikan gapit wayang uwuh oleh Iskandar.

Peduli Lingkungan Sejak Jadi Anggota MAPALA

Wayang-Uwuh-3.jpgIskandar mencabut bambu bekas iklan di batang pohon di jalan Timoho, Selasa, 27/5/2025. Bilah bambu itu dijadikan gapit bagi wayang uwuh karyanya. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)

Sambil mengerjakan karya wayang uwuhnya, Iskandar bercerita; setelah lulus SMA, dia kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta. Semasa kuliah dia aktif dalam organisasi mahasiswa pencinta alam (MAPALA) dan dari organisasi pecinta alam inilah kepedulian Iskandar pada lingkungan terbangun. Dia menjadi orang yang sangat sadar lingkungan.

Selain sebagai anggota Mapala, lanjutnya, selama masa kuliah dia juga berteman dengan banyak teman yang berasal dari komunitas-komunitas seniman di Yogyakarta. Dia juga menulis puisi dan beberapa karyanya pernah dimuat di koran seperti Bernas, Kedaulatan Rakyat, dan lainnya.

Lulus kuliah, dia hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan pertambangan. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1997, dia pindah ke perusahaan multinasional sebagai internal auditor. Kariernya terus menanjak, ujarnya, dia pernah merangkap menjadi pemimpin redaksi majalah otomotif Otoroad, lalu berprofesi sebagai konsultan pajak. Dari profesi inilah dia bisa berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Namun, dunia seni tak pernah benar-benar ditinggalkan.

“Saya tetap melukis, terutama lukisan bertema wayang,” tuturnya.

Kecintaannya pada seni terutama melukis wayang pada kaca membuat dirinya memutuskan keluar dari pekerjaannya.

“Saya tidak dipecat,” ujarnya. “Pada tahun 2002 itu saya mengundurkan diri. Saya mau fokus menjadi seniman wayang,” ujarnya.

Wayang Uwuh, Bermula dari Banjir Kali Ciliwung

Wayang-Uwuh-2.jpgIskandar merangkai wayang uwuh dari limbah plastik bekas tutup makanan di rumahnya, Selasa, 27/5/2025. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)

Sejak itu aktivitasnya membuat lukisan wayang berlanjut. Dia kemudian bergabung dengan komunitas Bacili, Bantaran Ciliwung. Keterlibatannya dengan masyarakat pun makin intens. Dia aktif sebagai relawan di bantaran sungai Ciliwung, Jakarta. Hampir setiap hari dia menghabiskan waktu di sana: membuat mural bersama warga, mengajar anak-anak menggambar, dan menyampaikan nilai-nilai budi pekerti kepada remaja warga bantaran Ciliwung. Di komunitas Bacili, dia meninggalkan jejak melalui mural-mural wayang, ciri khasnya sebagai pelukis wayang.

Namun, banjir besar yang melanda Ciliwung menghancurkan segalanya. Rumah-rumah yang telah dimural tenggelam setinggi atap. Sampah menumpuk di mana-mana. Dari kehancuran itulah, muncul sebuah gagasan: mengubah sampah menjadi karya seni.

“Pada saat itu saya juga kalut. Seingat saya itu tahun 2013. Pada saat itu saya dapat undangan Jakarta Biennale 2013. Sementara kondisi Ciliwung banjir besar. Sampah di mana mana,” ujarnya.

Dari kejadian itu Iskandar terinspirasi oleh banyaknya sampah di antara rumah-rumah yang terkena banjir.

Iskandar melanjutkan, sejak banjir itulah saya memulai bereksperimen dengan limbah plastik, seperti botol bekas air mineral. Prosesnya tidak mudah; botol dipotong, dilempengkan, lalu dibentuk menjadi tokoh-tokoh pewayangan. “Dari situlah lahir Wayang Uwuh, yang menurut saya sebuah karya seni visual yang memadukan nilai budaya dan pesan lingkungan,” ujarnya.

Wayang uwuhnya dipamerkan juga dalam pameran bersama teman temannya di galeri  Taman Ismail Marzuki (TIM). Itu pameran internasional karena selain dari Indonesia, pesertanya juga berasal dari 16 negara, katanya.

Karyanya memang menarik perhatian dunia seni pada saat itu karena dinilai unik. Dia kemudian diundang berpameran di Parkir Timur Senayan. Bersama rekan-rekannya, dia menggelar street performance menggunakan mobil bemo yang bagian belakangnya terbuka. Bemo itu disulap menjadi panggung pakeliran. Dalangnya teman saya yang pandai beberapa bahasa. Saya masih ingat dengan jelas, lanjutnya, penontonnya rame karena dalangnya membawakan cerita dalam berbagai bahasa; Jawa, Sunda, kadang bahasa Inggris, apalagi iringan alat musiknya juga dari limbah seperti kaleng bekas khong guan, seng, kayu, ember, dan barang-barang sampah lainnya.

“Musiknya kotekan. Seru banget itu dulu! Bemonya jalan pelan pelan berkeliling area parkir Timur, penontonnya di belakang ngikutin,” katanya mengenang.

Sejak saat itu, undangan untuk mengisi workshop berdatangan. Dia berbagi pengetahuan soal pengelolaan sampah dan kesenian kepada anak-anak jalanan dan mahasiswa. Materinya beragam: dari membuat wayang limbah, pertunjukan pakeliran, hingga membaca geguritan.

Akhir 2017, Iskandar diundang berpameran di Bangkok Art And Culture Centre sebagai pelukis kaca dengan karakter wayang. Beberapa karyanya dibeli oleh kolektor seni dari New York, termasuk lukisan kaca yang dibingkai menggunakan limbah kulit kacang. Karyanya juga dikoleksi sebuah museum di Belanda. Pada tahun 2018 dia diundang pameran dan memberikan workshop di sebuah sekolah di Korea Selatan.

Pandemi Pulang ke Jogja

Namun pandemi COVID-19 sempat menjadi titik balik. Pada tahun 2020 Iskandar terkena virus dan sempat sakit parah. Dia masuk karantina dan dirawat dengan sangat ketat. Setelah dinyatakan sembuh, istri dan kedua anaknya menjemputnya pulang ke Yogyakarta. Mereka meminta Iskandar untuk tidak kembali lagi ke Jakarta. Kini, dia menetap di Yogyakarta dan sambil membuka angkringan wayang uwuh dan terus berkarya.

Karya-karyanya hingga saat ini masih menjadi langganan di Bangkok Art and Culture Centre, Thailand. Bahkan, saat Lebaran kemarin, beberapa karyanya kembali dibawa ke Bangkok untuk dipamerkan, dan dijual untuk turis.

Lewat Wayang Uwuh, Iskandar menyuarakan kritik sosial dan refleksi budaya. Dia juga  menyayangkan jika ada pejabat yang menggembar-gemborkan pelestarian budaya, tapi di rumahnya sendiri tak terlihat simbol-simbol budaya itu. Begitu pula soal pengelolaan sampah.

“Bayangkan, sampah itu sumber daya. Bisa jadi pekerjaan banyak orang, bisa jadi wayang, bisa jadi peralatan, bisa jadi hiasan. Tapi kenapa tidak dikelola?” katanya.

Saat ini di rumahnya, Iskandar memajang karya karya Wayang Uwuh nya dan dijual mulai dari 25 ribu hingga jutaan rupiah. Ia memasarkannya lewat media sosial seperti TikTok, dan Instagram.

Persoalan sampah di Jogja memang belum selesai. Masih banyak hal yang harus dibenahi terutama kesadaran membangun kepedulian terhadap sampah di lingkungan masing masing. Semua memang harus dimulai dari diri kita sendiri. Karena jika terlalu berharap pada pemerintah saja, persoalan sampah tak akan kunjung selesai. Harus ada kesinambungan antara warga dengan pemerintah. Karena kebersihan, dan kepedulian atas sampah memang sejatinya harus dimulai dari diri kita sendiri. Dan Iskandar telah memulainya sejak dulu dengan cara yang unik dan nyeni.

Sebagai warga Yogyakarta, Iskandar tidak menutup mata terhadap persoalan sampah di kotanya sendiri. Dia melihat tumpukan sampah yang kian mencemari lingkungan kota, baik di TPS-TPS darurat di pinggir jalan, hingga di bantaran sungai seperti Code dan Gajah Wong. Persoalan ini menurutnya bukan sekadar masalah tata kelola, tapi juga kesadaran individu.

Iskandar berharap pendekatannya, memanfaatkan sampah jadi karya seni, bisa menjadi contoh bahwa solusi bisa lahir dari kreativitas. Sekalipun tidak memberikan dampak yang sangat signifikan namun dia telah memulai langkah kecil yang bermanfaat, minimal bagi dirinya sendiri. Jika makin banyak orang yang punya kesadaran atas sampah dan mendayagunakan sampah dengan cara yang berbeda beda, persoalan sampah tentu akan semakin ringan. Pemerintah tinggal mengorganisir, dan mengelola agar sampah tidak hanya jadi sampah, tapi bisa sampah bisa bermanfaat bagi banyak orang. Seperti pendekatan dirinya pada sampah menjadikan karya seni. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES