Gaya Hidup

Toxic Masculinity: Membuat Menangis Menjadi Memalukan

Minggu, 25 Juni 2023 - 16:04 | 159.83k
Menangis bukan sesuatu yang memalukan untuk dilakukan. (Foto: Fash Fahish Shofhal Jamila Karim/TIMES Indonesia)
Menangis bukan sesuatu yang memalukan untuk dilakukan. (Foto: Fash Fahish Shofhal Jamila Karim/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Beberapa pertanyaan yang muncul ketika berhadapan dengan satu kata ini, menangis. Apa yang salah dengan itu? Seberapa memalukannya? Apa yang membuatnya seolah menjadi hina jika laki-laki melakukannya? Padahal sejatinya menangis merupakan salah satu bentuk komunikasi di mana seseorang tersebut mengatakan bahwa dia sedang dalam keadaan rapuh dan butuh untuk berbagi. 

Bahkan menangis menandakan bahwa seseorang tersebut dalam keadaan sehat serta memiliki kondisi emosional yang stabil. Jangan lupakan juga bahwa menangis merupakan salah satu bentuk pengekspresian emosi. Sama halnya dengan bahagia dan marah. Apa yang salah sebenarnya dengan menangis bagi laki-laki?

Advertisement

Pernah membaca pada salah satu website bahwa menangis merupakan perkara sederhana yang diperumit oleh gengsi. 

“Gitu aja nangis. Kayak perempuan.”

“Jangan cengeng. Kayak cewek lu!”

Adalah dua dari sekian banyak kalimat akibat dari Toxic Masculinity. Mari berbicara mengenai ini sejenak. 

Menjadi maskulin identik dengan tubuh besar, gagah, dan perkasa. Memiliki suara bariton dan berhasil membuat yang mendengar jadi klepek-klepek. Jika semua itu disalurkan dalam hal positif seperti melindungi orang di sekitarnya, menjaga, dan bersaing secara sehat maka tidak akan menjadi masalah. Tapi bagaimana bila semua itu menjadi berlebihan dan kemudian menjadi toxic masculinity?

Seperti yang dikatakan oleh Michael G Flood, seorang sosiolog Australia dan profesor di Queensland University of Technology School of Justice, toxic masculinity adalah norma maskulinitas yang sempit, tradisional dan penuh stereotip, yang berarti bahwa paham ini meyakini bahwa salah satu gender lebih superior daripada gender lain. 

Sebenarnya dari mana sih hal seperti ini muncul?

Ternyata semua ini muncul karena apa yang sudah menjadi paham di masyarakat. Saking melekatnya paham ini menjadikan masyarakat menganggap bahwa semua itu merupakan suatu yang alamiah, tidak dapat diubah. Apa yang telah terjadi secara turun-temurun haruslah tetap dilanggengkan. Entah itu benar ataupun salah. 

Ini semua mengakibatkan laki-laki memiliki beban sosial. Mereka dituntut untuk selalu tegar dan kuat. Bahkan ketika mendapatkan suatu masalah yang besar jika laki-laki menangis akan dianggap berlebihan, lebay, parahnya dikatakan bencong. Menyebabkan laki-laki lebih memilih untuk memendam perasaan rapuhnya. Enggan meminta bantuan serta mencurahkan keluh kesahnya.

Ini perihal tempat bersandar. 

Beban sosial yang dipikul, stigma masyarakat, dan achievement yang harus segera dimiliki. Usaha untuk mendapatkan itu semua tidak diimbangi dengan pengeluaran emosi yang seharusnya. Jika emosi telah memuncak beberapa orang memilih untuk menghentikan umurnya lebih cepat daripada Sang Pencipta. Tak heran bila beberapa penelitian menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih didominasi oleh laki-laki daripada perempuan.

Bisa dilihat dari data dari WHO menunjukkan bahwa pria dua kali lebih banyak meninggal karena bunuh diri daripada perempuan, yaitu 12,6 per 100.000 pria dibandingkan dengan 5,4 per 100.000 perempuan.

Jadi, menangislah selagi masih bisa dan mampu untuk menangis. Berkeluh-kesahlah selagi masih masih bisa dan mampu untuk mencurahkan. Sebagaimana layaknya saat mengeluarkan rasa bahagiamu. Begitu juga sedih dan rapuhmu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES