Pendidikan

FSGI Mengungkap Data Perundungan di Sekolah: 50% Terjadi di SMP, 2 Korban Meninggal

Selasa, 03 Oktober 2023 - 16:24 | 77.20k
Ilustrasi - Perundungan anak di Sekolah (Foto: Shutterstock)
Ilustrasi - Perundungan anak di Sekolah (Foto: Shutterstock)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANGFederasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah mencatat sebanyak 23 kasus perundungan di satuan pendidikan sejak Januari hingga September 2023. Dari jumlah tersebut, setengahnya (50%) terjadi di jenjang SMP, sementara 23% terjadi di SD, 13,5% di SMA, dan 13,5% di SMK.

Perundungan di jenjang SMP adalah yang paling dominan, melibatkan baik peserta didik maupun pendidik.

Advertisement

Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI, menyatakan bahwa dari 23 kasus tersebut, dua di antaranya berakhir dengan kematian. Salah satunya adalah seorang siswa SDN di Kabupaten Sukabumi yang meninggal setelah mengalami kekerasan fisik dari teman sebaya, dan satunya lagi adalah seorang santri MTs di Blitar (Jawa Timur) yang meninggal akibat kekerasan oleh teman sebaya.

Semua peristiwa tersebut terjadi di lingkungan sekolah. Terdapat juga kasus pembakaran santri oleh teman sebaya, menyebabkan luka bakar parah. Selain itu, ada dua kasus perundungan dijenjang SD yang diduga menjadi pemicu korban bunuh diri, meskipun faktor penyebab bunuh diri seseorang tidak dapat diidentifikasi sepenuhnya.

Dari 23 kasus tersebut, terdapat insiden kekerasan yang dilakukan oleh guru terkait pelanggaran tata tertib sekolah, seperti memotong rambut 14 siswi karena tidak mengenakan ciput, bahkan ada yang memotong rambut hingga menyisakan rambut samping anak. Tindakan ini berdampak pada anak korban yang merasa terhina dan mengalami tekanan psikis.

Menghadapi berbagai kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya perundungan, FSGI menyampaikan sikap sebagai berikut:

  1. FSGI mengungkap keprihatinan atas meningkatnya kasus perundungan antar anak di satuan pendidikan, yang mengancam nyawa korban.

  2. FSGI mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Pemerintah Daerah untuk mengambil langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, termasuk penerapan Permendikbudristek No. 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, yang harus diimplementasikan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman dengan pendekatan disiplin positif.

  3. FSGI mengidentifikasi tiga faktor yang dapat mendorong anak melakukan tindak pidana, yaitu faktor internal, faktor eksternal, dan faktor situasional. Salah satu faktor penting adalah keteladanan yang diberikan oleh orang dewasa di sekitar anak, karena perilaku anak banyak dipengaruhi oleh contoh dari orang dewasa.

  4. Ada Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur perlindungan hukum bagi anak-anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Sistem ini memandang anak sebagai korban yang mungkin menjadi pelaku karena faktor pengasuhan atau lingkungan tempat mereka tumbuh. Oleh karena itu, UU SPPA mengedepankan penyelesaian secara diversi, yakni pengalihan penyelesaian kasus dari proses pidana formal ke penyelesaian damai melalui berbagai pihak yang terlibat. Konsep restorative justice juga dikenal sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus dengan melibatkan semua pihak yang terkait demi masa depan anak yang lebih baik. (*) 

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES