Peristiwa Daerah

Akademisi Hukum Universitas Brawijaya Minta RUU Polri Ditunda

Kamis, 25 Juli 2024 - 15:08 | 34.44k
FGD bertema Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana, yang diadakan oleh FH UB di Hotel Grand Mercure Malang, Kamis (25/7/2024). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
FGD bertema Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana, yang diadakan oleh FH UB di Hotel Grand Mercure Malang, Kamis (25/7/2024). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Para Akademisi dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Brawijaya (UB) meminta agar pengerasahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri ditunda.

Hal itu tersampaikan pada acara focus group discussion (FGD) bertema Revisi UU Polri dan Dampaknya Terhadap Hukum Acara Pidana, yang diadakan oleh FH UB di Hotel Grand Mercure Malang, Kamis (25/7/2024).

Advertisement

Salah satu pemateri dalam FGD tersebut, Dr Fachrizal Afandi mengatakan, urgensitas RUU Polri untuk disahkan masih sangat rendah. Belum lagi, dalam RUU ini banyak pasal yang 'kontroversial', yang hanya akan memperluas wewenang Polri, sehingga berpotensi timbul konflik di kemudian hari.

Fachrizal menyebut, dalam Naskah Akademik Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dijelaskan bahwa alasan perubahan UU Polri adalah perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat. yang diiringi dengan globalisasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas, serta keperluan akan perlindungan hak asasi manusia.

"Alasanya bagus, namun naskah akademik tidak memuat asas keadilan dan kmanfaatan, hanya terdapat asas kepastian hukum," terangnya.

Tugas kepolisian di bdang penegakan hukum belum dibaca sebagai Mandat dari Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 yang harus diawasi dan disupervisi oleh Kekuasaan Kehakiman.

"Uraian Due Process yang harus Dijalankan dalam tugas penegakan hukum Polisi sama sekali tidak dibahas dalam Naskah akademik," terangnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Universitas Brawijaya (UB) itu melanjutkan, setidaknya ada 5 muatan hukum acara pidana dalam RUU Polri.

Pertama yakni pengaturan kewenangan Penyelidikan/Penyidikan semua tindak pidana, kedua pengaturan penghentian Penyelidikan/Penyidikan.

"Penyelidikan dan penyidikan ini dikaburkan. Padahal kalau kita belajar KUHAP, penyidikan dan penyelidikan itu berbeda. Penyelidikan itu menentukan apakah peristiwa itu pidana atau bukan. Kalau penyidikan baru menemukan tersangkanya. Ini disamakan," jelasnya.

Yang ketiga yakni soal pengaturan keadilan restoratif, kemudian pengaturan jabatan fungsional penyidik dan penyidik pembantu, dan kelima pengaturan tentang kewenangan Pro Justitia, pemblokiran, pemutusan dan perlambatan akses ruang siber.

"Ini yang saya identifikasi ada beberapa hal lain. Tapi ini yang garis besar," kata dia.

Tak sampai disitu, Fachrizal juga membeberkan masalah dalam draft RUU Polri atau muatan yang harusnya diatur dalam KUHAP.  Dalam penjelasnya, ada 11 masalah yang ada dalam draft tersebut. Diantaranya seperti melakukan penyadapan disebutkan sesuai UU (Pasal 14 ayat (1) huruf o).

"Padahal RUU Penyadapan belum disahkan. Tiba-tiba ada penyadapan. Putusan MK mengamanatkan harus adanya RUU Penyadapan, penyadapan hanya dapat dilakukan sesuai perintah pengadilan," bebernya.

Menurutnya, ada beberapa hal yang berbahaya dalam pengaturan prosedur/hukum acara pidana dalam RUU POLRI. Yakni minimnya pengaturan tentang akuntabilitas Polri dan penguatan pengawasan terhadap kinerja aparat polri dalam RUU Polri berpotensi besar membuat prilaku sewenang-wenang. Kemudian upaya paksa dan penghentian penyelidikan/penyidikan tanpa check and balance serta kontrol pengadilan menjadikan Masyarakat terdampak sulit mendapatkan keadilan

"Kemudian ada potensi ketidak paduan proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan persidangan karena aturan di buat secara sektoral," kata dia.

Untuk itu, dia meminta agar RUU Polri ini ditunda dan tidak terburu disahkan. Dia juga meminta agar RUU POLRI ini dibahas secara cermat pasca pengesahan RKUHAP, serta adanya pencabut pengaturan terkait Hukum Acara Pidana dalam RUU Polri.

Tenimbang terburu-buru mengesahkan RUU Polri, pihaknya memberikan  3 rekomendasi kepada pemerintah. Pertama yakni merevisi KUHAP tentang aturan Hukum Acara penyelidikan, penyidikan, upaya paksa dan  Keadilan Restoratif diatur dalam KUHAP dan Penguatan Pengawasan upaya paksa.

Kedua tentang Revisi UU Polri. Dimana didalamnya harusnya disesuaikan dengan KUHAP baru. Penguatan Kompolnas juga perlu diatur dalam RUU, serta diskresi harus dibatasi dan dapat diuji di Pengadilan APH khusus untuk TP yang dilakukan Polisi.

"Selanjutnya desain Polisi Sipil. Polisi harus jadi mahluk sipil. Itu adalah amanat TAP MPR, amanat reformasi. Polri ini adalah anak kandung reformasi. Dia bisa sekuat sekarang gara-gara tahun 1999 dan 2000. Dulu kan bagian dari ABRI. Seharusnya dia tidak lupa dengan mandatnya untuk menjadi sipil, menjadi penganyom masyarakat," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES