Kopi TIMES

Peluh Petani, Nafas Ketahanan Bangsa

Jumat, 20 Juni 2025 - 06:47 | 14.77k
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pagi baru saja mereka. Seorang petani dengan caping di kepala sudah berdiri di tengah hamparan sawah, kakinya terbenam lumpur basah. Butiran embun masih menyelimuti pucuk padi ketika cangkul pertama menembus tanah. 

Di saat banyak dari kita masih terlelap atau sibuk dengan rutinitas kota, para petani dan pekebun telah memulai hari panjang mereka. 

Advertisement

Dari tangan-tangan kekar dan punggung yang hitam legam inilah, lahir butir-butir padi yang kelak memenuhi piring kita. Setiap suapan nasi yang kita nikmati menyimpan kisah keringat dan kerja keras petani, pahlawan pangan yang kerap tak disebut namanya. 

Mereka bekerja dalam senyap, terik matahari, guyuran hujan, hingga risiko gagal panen, demi memastikan dapur setiap keluarga Indonesia tetap mengepul. Tanpa gembar-gembor, mereka adalah tulang punggung ketahanan pangan bangsa, para “pahlawan” di balik setiap butir nasi di meja makan kita. 

Syukur dan Kepedulian

Setiap tanggal 21 Juni sejak tahun 1972, Indonesia memperingati Hari Krida Pertanian. Hari Krida Pertanian diinisiasi sebagai penghargaan atas tindakan dan dedikasi para insan pertanian (petani, peternak, pekebun) yang telah berkontribusi membangun sektor agraris negeri ini. 

Lebih dari sekadar seremonial tahunan, Hari Krida mengandung makna mendalam. Pertama, ia adalah hari ungkapan syukur atas panen dan rezeki dari bumi. Di berbagai daerah, peringatan ini disambut dengan syukuran panen, sebuah pengingat bahwa hasil bumi bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan anugerah yang patut disyukuri. 

Lebih luas lagi, Hari Krida Pertanian menyampaikan ajakan moral bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap pangan, tanah, dan kelangsungan hidup bangsa. Pemerintah menetapkan tanggal ini bukan tanpa alasan astronomis dan budaya. 

Pada 21 Juni, posisi matahari menandai pergantian musim dan dimulainya siklus tanam baru,  seolah alam pun berpesan bahwa inilah waktu yang tepat untuk memulai tekad baru dalam merawat bumi dan memastikan ketersediaan pangan. 

Potret Petani Indonesia 2025

Untuk memahami urgensi momentum Hari Krida, kita perlu menengok potret terkini petani Indonesia. Data Sensus Pertanian 2023 mengungkap fakta yang menggugah, dimana Proporsi petani berusia 55–64 tahun kini mencapai 23,2%, sementara yang berusia di atas 64 tahun naik menjadi 16,1%. 

Sebaliknya, generasi muda hampir tak tampak di sektor ini: hanya 2% petani berusia di bawah 26 tahun. Sawah-sawah yang dahulu ramai oleh semangat anak muda kini lebih banyak dikelola oleh mereka yang rambutnya memutih. 

Fenomena ini menunjukkan lambatnya regenerasi petani. Anak-anak muda desa lebih memilih pergi ke kota daripada melanjutkan tradisi bertani orang tuanya. Tak heran jika banyak orang tua petani justru berharap anak-anak mereka mencari penghidupan di sektor lain, meski harus melepas lahan warisan demi biaya pendidikan. 

Di sisi lain, mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare. Dengan sumber daya terbatas, akses teknologi dan modal minim, serta risiko perubahan iklim dan fluktuasi harga, mereka tetap berjuang di sektor pertanian.

Namun di tengah tantangan itu, semangat petani Indonesia terus menyala dan membuahkan hasil nyata. Pada triwulan I 2025, produksi padi nasional melonjak 51,45% dan jagung meningkat 39,02% dibandingkan tahun sebelumnya.

Pertanian pun mencatat pertumbuhan tertinggi secara nasional, sebesar 10,52% year-on-year, melampaui sektor perdagangan dan industri. Cadangan beras pemerintah pun mencapai rekor tertinggi dalam 57 tahun terakhir, yakni 3,5 juta ton, seluruhnya hasil panen lokal tanpa impor. Penyerapan beras oleh Bulog hingga awal Mei 2025 mencapai 1,8 juta ton, semuanya dari petani domestik. 

Ini bukti bahwa petani kita masih mampu menjadi tulang punggung ketahanan pangan jika diberi dukungan yang layak. Di balik keterbatasan dan kerentanan, mereka tetap berdaya dan berkontribusi besar bagi negeri. 

Karena itu, kebijakan dan perhatian terhadap nasib petani merupakan perwujudan penghargaan atas peran vital mereka dalam menjaga perut bangsa tetap kenyang. 

Merawat Pangan, Merawat Masa Depan Bangsa

Dari paparan di atas, jelas tergambar betapa strategisnya peran petani bagi masa depan Indonesia. Hari Krida Pertanian semestinya menjadi cermin bagi kita semua untuk menghargai kembali jerih payah petani dan pekebun, serta mengambil bagian dalam upaya menjaga ketahanan pangan. 

Merawat pangan berarti merawat bangsa. Bagaimana caranya? Tak harus dengan mencangkul langsung di sawah, meski alangkah baiknya jika semakin banyak anak muda terdidik yang mau kembali ke pertanian modern. 

Langkah-langkah sederhana namun bermakna bisa dimulai dari menghargai setiap butir nasi dan sayuran di piring kita, tidak membuang makanan, dan mendukung produk pertanian lokal. Setiap kali kita memilih beras lokal, sayur dari pasar tradisional, atau kopi dari perkebunan rakyat, kita ikut memperkuat rantai kesejahteraan petani. 

Bahkan suara konsumen pun bisa menjadi kekuatan untuk  mendorong kebijakan publik yang berpihak pada petani, mulai dari harga yang adil, subsidi pupuk tepat sasaran, hingga perlindungan lahan dari alih fungsi.

Hari Krida juga menjadi pengingat bahwa tanah adalah sumber kehidupan yang mesti dijaga bersama. Petani meyakini bahwa lahan yang mereka garap hari ini adalah warisan untuk anak cucu. Maka, isu degradasi lahan, erosi, dan penyusutan lahan pertanian tidak boleh dipandang sebelah mata. 

Setiap jengkal sawah yang beralih menjadi beton membawa dampak besar bagi masa depan pangan kita. Para ahli sudah sering memperingatkan bahwa jika tren ini berlanjut serta diiringi dengan minimnya regenerasi petani, maka Indonesia bisa menghadapi krisis pangan yang serius. 

Kedaulatan pangan, yakni kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan makan dari hasil produksi sendiri, adalah bagian dari kedaulatan nasional. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi menyangkut martabat bangsa.

Lebih dari itu, ada sisi kemanusiaan yang menyentuh dari profesi petani. Mereka adalah simbol ketulusan pengabdian, dimana mereka bekerja dalam diam, mengolah bumi dengan sepenuh hati, sering kali tanpa jaminan keuntungan besar, namun menghasilkan pangan untuk jutaan orang. 

Di saat krisis dan pandemi, mereka tetap menanam, memanen, memerah, dan mendistribusikan hasil. Mereka memang tak mengenakan jas putih layaknya birokrat atau tenaga medis, namun dedikasi mereka turut menyelamatkan bangsa dengan cara menyediakan kebutuhan paling dasar: makanan. 

Dalam momentum Hari Krida, mari kita renungkan, sudahkah kita memberi tempat yang layak bagi para petani dalam skema pembangunan nasional? 

Apresiasi sejati tak cukup hanya berupa seremoni tahunan, melainkan dukungan nyata agar bertani secara modern dan menjadikan petani kembali menjadi profesi yang bermartabat, menjanjikan, dan membanggakan. Karena pada pundak petani, sejatinya, masa depan kehidupan itu ditanam dan dipanen.

Selamat Hari Krida Pertanian, jadikan momentum ini untuk kembali membumi: mencintai tanah air dengan mencintai para petani kita. (*)

***

*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES