Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan, Nafas Panjang Mencari Keadilan (4)

TIMESINDONESIA, MALANG – Luka keluarga korban Tragedi Kanjuruhan masih membekas. Penyintas masih terus berjuang sembuh.
Tepat 1 tahun Tragedi Kanjuruhan, luka keluarga korban masih terus membekas di dada. Seperti halnya yang dirasakan oleh ibu korban bernama Siti Mardiyah atau biasa dipanggil Kholifah (55).
Advertisement
Tiap hari semenjak kejadian tersebut, ia terus terbayang-bayang sang anak perempuannya, yakni Mita Maulidia yang meninggal dunia di Gate 13 Stadion Kanjuruhan.
Ia mengaku setiap hari selalu mengunjungi makam sang anak yang tak jauh dari kediamannya. Sehari ia berkunjung dua kali ke makam satu satunya anak perempuan yang ia miliki.
"Saya seperti orang ling lung, masih kaget gak percaya. Saya habis shalat Dhuha pagi itu ke makamnya, terus habis shalat Ashar sore itu saya ke makamnya lagi. Terkadang pas saya keinget dia, tiba tiba saja saya lari ke atas ke makamnya, nangis. Dia satu-satunya anak perempuan saya," jelasnya.
Kholifah sudah tidak mau menonton televisi ataupun membaca berita terkait Kanjuruhan. Luka yang timbul sulit untuk disembuhkan.
Di tengah kesedihan, Kholifah juga bercerita, merasa tengah dipeluk oleh sang anak, ia pun merasa sangat senang akibat kerinduan yang tak terbendung.
"Pernah saya dipeluk sekali sama almarhum. Itu pas malam Jumat. Hati saya sangat senang. Dia ini lahirnya pas Maulid, meninggalnya juga pas Maulid," ungkapnya.
Duka bukan hanya milik keluarga korban. Korban Tragedi Kajuruhan yang menjadi penyintas hingga saat ini juga masih merasakan duka, dan terus berjuang untuk kesembuhan dan keadilan.
Sherly Yustika (18). Perempuan yang bertempat tinggal di kawasan Mulyorejo, Kota Malang sampai saat ini masih berjuang sembuh setelah dokter mendiagnosa bahwa dirinya terkena radang selaput otak.
Sampai saat ini, ia masih tidak bisa mengingat secara utuh. Mulai dari saudara hingga hal sepele seperti jalan-jalan yang biasa ia lalui. Sherly susah untuk mengingat. Mau tidak mau, ia selama satu tahun ini hanya berdiam diri di rumah dan jika keluar, ia harus ditemani oleh keluarganya.
"Sakit kepala masih sering, mulai habis kejadian. Saya ya diam dirumah saja gak kemana mana, udah gak hafal apa apa, ya lebih baik di rumah," ujar Sherly.
Tante Sherly, yakni Uun Sutilah menyebut bahwa keponakannya ini didiagnosa radang selaput otak sejak bulan Juli 2023 lalu.
Awalnya, saat dirawat di RSSA Malang pasca kejadian, ia menjalani rawat inap namun tak ada diagnosa. Namun, ketika pulang ia merasakan sakit kepala terus menerus hingga akhirnya berobat ke rumah sakit lain dan dokter pun mendiagnosa radang selaput otak.
"Dia sering gak bisa tidur. Pengobatan dan kontrol ya masih terus jalan sebulan sekali. Mulai ke psikiater sampai dokter saraf. Dia ini ada trauma berat," bebernya.
Sherly saat mengalami peristiwa Kanjuruhan kala itu masih bersekolah di bangku kelas 3 SMA. Ia pun harus menyelesaikan pendidikannya melalui daring, karena memang tak bisa hadir ke sekolah akibat sakit yang ia rasakan.
Kini, Sherly sendiri bercita-cita ingin bekerja dan berkuliah. Ia berharap sakitnya bisa sembuh dan hidupnya bisa berjalan normal kembali.
"Tolong perhatikan masa depan keponakan saya. Dia ini trauma, korban Kanjuruhan, kasih dia kesempatan bekerja, meski tidak sesuai dengan lainnya," imbuhnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |