Peristiwa Daerah

Sejarawan Surabaya Ungkap Kisah Gorong-gorong Peninggalan Awal Abad 19 

Rabu, 28 September 2022 - 17:48 | 105.73k
Rumah Pompa Kenari menampung debit air dari saluran gorong-gorong peninggalan Belanda mulai Embong Malang hingga BG Junction. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Rumah Pompa Kenari menampung debit air dari saluran gorong-gorong peninggalan Belanda mulai Embong Malang hingga BG Junction. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Surabaya merupakan kota infrastruktur sejak awal abad ke-19. Kala itu masa penjajahan Belanda. Selain bangunan megah bergaya Eropa, salah satu peninggalan bersejarah dan sampai saat ini masih berfungsi adalah keberadaan gorong-gorong.

Pegiat sejarah Surabaya, Nur Setiawan mengatakan gorong-gorong tersebut merupakan saluran air yang mengular dari sejumlah ruas jalan. Seperti Jalan Embong Malang, BG Junction, Bubutan, Jalan Pahlawan, dan bermuara di Kali Mas. 

Advertisement

Surabaya merupakan tempat air berkumpul. Karena kondisi geografis tinggi permukaan tanah hampir sejajar dengan lautan. Drainase bawah tanah berbahan semen cor ini otomatis menjadi penyelamat dari banjir. Tingginya mencapai 3-4 meter dengan diameter cukup lebar Jika digambarkan, mobil bisa melintasi jalur tersebut. 

"Memang kayak sungai gitu," kata Nur Setiawan, Rabu (28/9/2022) 

Kuat dugaaan gorong-gorong ini dibangun pada tahun 1910 setelah Surabaya mulai mengalami pengaspalan. Karena saat itu di Surabaya jalanan masih berupa tanah. Jika kemarau banyak debu, jika musim hujan becek. 

Rumah-Pompa-Kenari-2.jpgPegiat sejarah Surabaya, Nur Setiawan (kemeja kotak) mengatakan gorong-gorong tersebut merupakan saluran air yang mengular dari sejumlah ruas jalan di Surabaya. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)

"Itu mungkin wali kota pertama atau kedua. Tapi paling banyak di G.J. Dijkerman," kata pria yang lekat disapa Wawan tersebut. 

Kondisi geografis Surabaya yang hampir memiliki ketinggian sama dengan air laut menjadikan Belanda berinisiatif membuat gorong-gorong lebar ini. Karena dahulu, saat musim hujan dan banjir rob, Surabaya tenggelam oleh luapan air lautan. 

"Ada foto-foto zaman Belanda. Makanya Belanda juga memikirkan itu, sebuah kota besar, kota industri, kota dagang harusnya layak," ujarnya. 

Sementara berdasarkan jejak sejarah, Nusantara telah memiliki ilmu infrastruktur kemaritiman sejak masa Majapahit. 

Sejarah Surabaya sendiri berkaitan dengan aktivitas perdagangan. Secara geografis Surabaya memang diciptakan sebagai kota dagang dan pelabuhan. Surabaya merupakan pelabuhan gerbang utama Kerajaan Majapahit. 

Letaknya yang dipesisir utara Pulau Jawa membuatnya berkembang menjadi sebuah pelabuhan penting di zaman Majapahit pada abad ke - 14.

Berlanjut pada masa kolonial, letak geografisnya yang sangat strategis membuat pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19, memposisikannya sebagai pelabuhan utama yang berperan sebagai collecting centers dari rangkaian terakhir kegiatan pengumpulan hasil produksi perkebunan di ujung Timur Pulau Jawa, yang ada di daerah pedalaman untuk diekspor ke Eropa.

Maka, tak heran jika Belanda tak main-main membangun tata kota salah satunya gorong-gorong tersebut. Bahkan mentransfer ilmu infrastruktur itu ke Belanda. Karena memiliki karakteristik geografis yang sama dengan Surabaya.

Tetap Berfungsi

Lebih dari satu abad berselang, gorong-gorong ini tetap dimanfaatkan hingga sekarang. Meskipun beberapa temuan harus terlindas oleh bangunan-bangunan baru gedung pencakar langit.

Padahal, kata Wawan, gorong-gorong ini merupakan bagian dari infrastruktur kota untuk mengantisipasi banjir, selain itu untuk jalur irigasi pembuangan dari rumah warga.

Letak gorong-gorong juga berada dari tengah kota hingga utara. Bahkan, rata-rata bangunan saluran air ini berada di tengah jalan kota. 

Ia menjelaskan, gorong-gorong Jalan Bubutan memiliki alur menuju Jalan Praban, Tembok, dan Tugu Pahlawan. Total panjang simulasi empat ruas sekitar satu kilometer lebih. Bentuknya mengikuti jalan.

Salah satunya Rumah Pompa Kenari yang terhubung dengan gorong-gorong Embong Malang hingga BG Junction dan bermuara di Kali Mas belakang Gedung Negara Grahadi.

"Memang gorong-gorong ini bagian dari tata kota," ujarnya. 

Sementara itu, pada Juni lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menelusuri gorong-gorong peninggalan Belanda dari kawasan Jalan Embong Malang sampai ke Pelabuhan Kalimas agar bisa memfungsikan kembali saluran yang dibangun pada masa lalu untuk menekan risiko banjir di pusat kota saat hujan deras turun.

Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Surabaya, Lilik Arijanto mengatakan, pihaknya memprioritaskan penelusuran gorong-gorong peninggalan Belanda di wilayah Blauran sampai Kranggan. 

“Karena setiap kali turun hujan di kawasan itu selalu banjir. Selama ini pembuangan di Bozem Morokrembangan. Di sana hulunya, jadi sangat jauh,” kata Lilik. 

Kalau gorong-gorong Belanda di area depan Kranggandapat ditemukan, kata Lilik, penyudetan akan dilakukan untuk membelokkan aliran air ke gorong-gorong tersebut. 

“Jadi masuk ke situ nyambung ke Embong Malang lalu masuk ke rumah pompa Jalan Kenari,” katanya.

Lilik mengatakan, dinas tidak memiliki cetak biru bangunan Belanda, tetapi mendapat informasi Pemerintah Kolonial membangun gorong-gorong sampai ke area pelabuhan. Pada masa itu, sambung dia, gorong-gorong itu untuk digunakan oleh tahanan politik di Penjara Kalisosok untuk melarikan diri.

“Tempatnya sangat luas. Saat ini masih kami urut dari Embong Malang. Intinya saat ini mencari alternatif pembuangan menuju gorong-gorong Belanda,” kata Lilik.

“Gorong-gorong Belanda bisa kembali berfungsi seperti saluran di zaman dulu dan perlu dinormalisasi, pokoknya (bisa) signifikanlah hasilnya,” ucap Lilik menambahkan.

Dia mengemukakan, gagasan untuk menelusuri dan memfungsikan kembali gorong-gorong peninggalan Belanda sebenarnya sudah mengemuka sejak dulu. Namun, menurut Lilik, penelusuran baru dilakukan sekarang dengan membuka gorong-gorong di kawasan Jalan Embong Malang.

“Ujungnya sudah ketemu, tapi kalau sampai ke hulu harus diurut, karena di bawah jalan semua. Rata-rata saluran bangunan Belanda di tengah jalan semua,” kata Lilik.

Pemerintah Kota Surabaya juga membangun rumah pompa di Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Jawa Timur, sebagai upaya mencegah banjir di kawasan pusat kota yang kerap terjadi saat hujan deras.

Total sampai saat ini di Kota Surabaya terdapat 61 rumah pompa dan sedikitnya terdapat 150 pompa yang siap beroperasi untuk mengurangi genangan di kala musim hujan.

Selain rumah pompa, Pemerintah Kota Surabaya saat ini juga membangun dua crossing saluran air di Jalan Embong Kenongo dan Jalan Kenari untuk mengatasi genangan maupun banjir pada saat hujan deras di kawasan pusat kota.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi sebelumnya mengatakan, estimasi pekerjaan dua crossing saluran air itu selesai pada 7 Desember.

Pengerjaan crossing saluran di Jalan Embong Kenongo tersebut, menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya 2022 sebesar Rp13 miliar. Sedangkan anggaran pengerjaan saluran di Jalan Kenari mencapai sekitar Rp3 miliar. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES