
TIMESINDONESIA, MALANG – Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi atau jam'iyah, unsur anggota atau jamaah dan unsur imamiyah (kepemimpinan).
Dan salah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari kepemimpinan adalah merumuskan kriteria pemimpin ideal menurut Muhammadiyah, sebagian dari kita ada yang berpendapat, pemimpin di Muhammadiyah harus memenuhi unsur PKB (Pinter, Kober, Bener), atau dengan istilah lain memiliki kreteria '3 U' yaitu 'Mampu, Mau dan punya waktu' .
Advertisement
Tokoh Muhammadiyah yang sangat legendaris, KH. AR Fakhrudin atau sering disapa dengan 'Pak AR', sebagaimana tertuang dalam buku Akhlak Pemimpin Muhammadiyah terbitan Suara Muhammadiyah. Beliau memberi pandangan yang sangat menarik untuk bisa kita jadikan rujukan berkaitan dengan kriteria ideal tentang siapakah pemimpin Muhammadiyah.
Menurut beliau Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, bahkan gerakan tajdid. Karenanya yang dapat memimpin Muhammadiyah haruslah anggota Muhammadiyah yang faham maksud KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Yang berkartu anggota (nomor baku), benar-benar memahami maksud dan tujuan Muhammadiyah. Yang faham kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Yang mencintai dan memang memahami serta berkemauan untuk tercapainya maksud dan tujuan Muhammadiyah.
Konsep kepemimpinan ideal dalam Islam dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhamad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan model prophetic leadership. Diskursus tentang model kepemimpinan ini tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang para nabi dan rasul. Sebab mereka adalah contoh pemimpin yang paling utama di antara banyak contoh kepemimpinan dalam sejarah umat manusia. Mereka adalah pribadi-pribadi pilihan yang sekaligus juga pemimpin-pemimpin pilihan sepanjang zaman.
Mereka juga adalah sumber utama yang menginspirasi lahirnya konsep prophetic leadership dalam kajian-kajian tentang konsep kepemimpinan. Para rasul adalah manusia pilihan untuk memimpin umat manusia menuju jalan kebenaran. Kepemimpinan mereka bersifat ilahiah, Dengan demikian, maka para rasul ini mendasarkan kepemimpinan dirinya pada kebenaran yang berasal dari Allah dalam membimbing,melayani, mencerahkan, dan melakukan perubahan.
Kepemimpinan sebuah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi'. Kepemimpinan seseorang dalam memimpin bawahannya dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan (leadership style). Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi prilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thaha, 2003: 9). Islam sebagai agama rahmatan lil’âlamîn memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai dan memahamkan idealisme kepemimpinan dalam sebuah kelompok, institusi, negara, dan bangsa.
Dalam memimpin hendaknya seorang pemimpin mengedepankan jiwa amanah yang oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.Berbicara tentang kepemimpinan maka seharusnya semua pemimpin menjadikan Rasulullah sebagai role model dalam menjalankan kepemimpinannya. Seperti yang kita tahu pada saat Rasulullah menjadi pemimpin kaum muslimin beliau bisa membawa Islam menuju kemajuan yang luar biasa dalam waktu yang singkat. (Indah Kusuma Dewi dan Ali Mashar, 2019: 25)
Kepemimpinan Rasulullah Shalallahu'Alaihi wa Sallam tidak bisa terlepas dari kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin rakyat. Keteladanan merupakan prinsip fundamental dari kepemimpinannya. Beliau memimpin dengan lebih mengutamakan pemberian contoh (usuwah al-hasanah) kepada para sahabat-sahabatnya.Apabila kita mencermati kehidupan Rasulullah maka tidak akan ada habisnya pelajaran serta keistimewaan yang beliau miliki. Dalam hal ini kepemimpinannya beliau, berbicara tentang kepemimpinan Rasulullah maka semua itu tidak terlepas dari konsep kepemimpinan yang Rasulullah jalankan pada masa itu.
Kepemimpinan Rasulullah di sebut dengan istilah kepemimpinan profietik. Kepemimpinan profietik adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain mencapai tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi dan rosul (Adz-Dzakyaey dalam Munardji, 2016: 75). Apabila mencermati kehidupan Rasulullah, akan menemukan banyak sekali keistimewaan dan pelajaran yang seakan-akan tidak pernah habis.
Kepemimpinan yang dilakukan Rasulullah dapat membangun kepercayaan dan kehormatan dari kaumnya. Kemudian gaya kepemimpinan beliau ketika menyelesaikan permasalahan dengan cara yang cerdas dan dapat menampung kepentingan semua pihak, oleh sebab itu gaya kepemimpian beliau adalah kepemimpinan profetik ini menarik untuk dikembangkan.
Kepemimpinan profetik terdiri atas dua kata, yakni kepemimpinan dan profetik. Kedua unsur kata ini mengandung definisi yang berbeda. Konsep kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari suatu interaksi antara pemimpin dan orang yang dipimpin. Jika ditinjau dari aspek bahasa, kepemimpinan berasal dari kata 'pemimpin' dengan imbuhan ke- dan -an .
Menurut Kamus Besar BahasaIndonesia,kepemimpinan merupakan perilaku memimpin atau cara memimpin. Adapun dalam bahasa Inggris disebut leadership, yang berasal dari kata leader, artinya pemimpin dan to lead yang artinya kepemimpinan. Sedangkan secara istilah, kepemimpinan mempunyai makna dan penjelasan yang berbeda-beda.
Menurut Daft dalam Fadhli (2018: 119), leadership an influence relationship among leaders and followers who intend real changes and outcomes that reflect their shared purposes. Artinya kepemimpinan merupakan usaha untuk mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan para pengikut yang menginginkan perubahan dan hasil nyata yang mencerminkan tujuan bersama mereka. Adapun Yulk dalam Rifaudin (2017: 49) menyatakan bahwa, kepemimpinan merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam sudut pandang yang lain, Kartono dalam Rifaudin (2017: 49) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota untuk mengubah sikap, sehingga mereka menjadi confirm dengan keinginan pemimpin. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu upaya untuk mempengaruhi orang lain (khusus orang yang dipimpin) guna membawa suatu perubahan dalam suatu kelompok atau organisasi agar tujuan atau cita-cita yang diharapkan tercapai.
Setelah penjabaran mengenai definisi kepemimpinan, maka selanjutnya merupakan definisi dari istilah 'profetik'. Profetik berasal dari kata prophet yang berarti nabi. Istilah 'profetik' merujuk pada istilah kenabian. Sedangkan dalam Oxford Dictionary 'prophetic' adalah 1) 'of, pertaining or proper to a prophet or prophecy'; 'having the character funcion of a prophet'; 'having the characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive'.
Sehingga pengertian profetik identik dengan seseeorang yang memiliki sifat atau ciri layaknya seorang nabi atau bisa orang diperkirakan diprediksikan memiliki sifat seperti seorang nabi (Makruf, 2017: 245-245). Adapun menurut Fadhli (2018: 121) kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophet yang berarti nabi atau ramalan. Karena penggunaanya yang sebagai kata sifat maka kata prophettersebut menjaadi kata prophetic atau dalam bahasa indonsesia mejadi profetik yang berarti kenabian.
Istilah profetik di Indonesia sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Kontowijoyo melalui gagasannya mengenai pentingnya ilmu sosial transformatif yang disebut ilmu sosial profetik. Ilmu sosil profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik mengusulkan perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu (dalam hal ini etik Islam), yang melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap made of tought dan made of inquiry bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasio dan empiri, tetapi juga dari wahyu (Rifaudin, 2017: 50-51). Maka berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa profetik itu merujuk pada suatu sifat kenabian.
Berdasarkan penjabaran kedua istilah tersebut, maka menurut Widayat (2014: 27), kepemimpinan profetik adalah kemampuan mengendalikan diri dan mempengaruhi orang lain dengan tulus untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana dilakukan oleh para nabi, dengan pencapaian kepemimpinan berdasarkan empat macam yakni, sidiq, amanah, tabligh, danfathonah. Selain itu, El Syam berpendapat bahwa 'prophetic leadership is a model of leadership played by a choice of God (Prophet), to help mankind from the path of darkness (ulumāt), which means: ignorance, humiliation, backwardness, arbitrariness, monopoly, oligopoly, anarchy, instability, materalism, religious blasphemy, and others, toward the path of light (nūr), which means truth and science, for the development of human life'.
Artinya kepemimpinan profetik adalah model kepemimpinan yang diperankan oleh seseorang pilihan Tuhan (Nabi), untuk membantu umat manusia dari jalan kegelapan (ulumat), yang berarti ketidaktahuan, penghinaan, keterbelakangan, kesewenang-wenangan, monopoli, oligopoli, anarki, ketidakstabilan, materialism, penistaan agama, dan lain-lain, terhadap jalan cahaya (nur), yang berarti kebenaran dan sains, untuk pengembangan kehidupan manusia. Dan pada intinya, kepemimpinan profetik merupakan suatu cara memimpin guna mempengaruhi seseorang dengan merujuk pada prinsip dan sifat kenabian.
Di sisi lain, pada prinsip Kepemimpinan Profetik sebagai agama yang bersinergi dengan ke-alaman dan ke-manusiaan, Islam sebagai 'addin' banyak memberikan tugas kemanusiaan untuk mengatur alam raya beserta isinya demi kemaslahatan manusia di masa yang akan datang. Kelestarian dalam konteks kemanusiaan (kekhalifahan) sebagai tugas utama ke-manusiaan adalah untuk mengatur, menata, mengelola, atau mengadministrasikan alam semesta dalam upaya tercapainya kehidupan yang lebih baik pada masa-masa mendatang (Meirawan dalam Wasehudin, 2018: 232).
Salah satu prinsip dasar yang sangat penting dalam membangun manajemen alam yang sebagai bagian paling penting dari tugas seorang manusia adalah sebuah tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan Allah kepada manusia dengan tujuan untuk menjadikan alam menjadi tentram dan damai.
Hadari Nawawi dalam Wasehudin (2018: 233) mendefinisikan manajemen sebagai suatu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin (manajer) dalam rangka memanage sebuah organisasi, kelembagaan, maupun perusahaan. Dengan demikian untuk mewujudkan dinamika manajemen dalam perspektif manajemen pendidikan Islam sebagai sebuah ilmu maka diperlukan kepemimpinan profetik.
Tujuan dari kepemimpinan profetik dalam konteks manajemen pendidikan Islam bukan hanya sebatas terjadinya perubahan terhadap kehidupan sosial seperti gagasan maupun tujuan dari kajian disiplin ilmu yang lain saja, akan tetapi kepemimpinan profetik dalam konteks ilmu manajemen merupakan terjadinya perubahan nilai sosial yang bersama-sama dan berawal dari cita-cita luhur.
***
*)Oleh: Ronald Chernenko, Mahasiswa Magister Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |