Ekonomi

Rokok Memudar, BUMN Tak Pasti: Ke Mana Arah Fiskal Kita?

Selasa, 17 Juni 2025 - 17:30 | 39.44k
Ilustrasi. Rokok Filter (FOTO: dok. TIMES Indonesia)
Ilustrasi. Rokok Filter (FOTO: dok. TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia menghadapi paradoks unik dalam sumber penerimaan negaranya. Di satu sisi, cukai rokok telah menjadi “mesin uang” APBN selama bertahun-tahun. Di sisi lain, dividen BUMN muncul sebagai kuda hitam baru, menyumbang setoran yang kian besar ke kas negara.

Bagaimana proyeksi penerimaan fiskal Indonesia ke depan jika (hanya) mengandalkan dua sumber ini? Cukai rokok vs dividen BUMN, siapa yang menang dalam jangka menengah hingga panjang (menuju Indonesia Emas 2045)?

Advertisement

Berikut news analysis dari Digital Data Journalist TIMES Indonesia, M. Rifky Rezfany, yang juga mahasiswa Statistika ITS Surabaya.


Tren Global: Beralih dari Pajak Rokok, Optimalisasi Aset Negara

Secara global, tren penerimaan fiskal mulai bergeser. Banyak negara maju perlahan mengurangi ketergantungan pada cukai rokok seiring turunnya prevalensi merokok. Implementasi kebijakan kesehatan publik berhasil menekan konsumsi tembakau.

Dalam 20 tahun sejak regulasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) diberlakukan, prevalensi merokok dunia dilaporkan turun hingga sepertiga. Negara-negara seperti Selandia Baru bahkan sempat merencanakan generasi bebas rokok dengan melarang penjualan rokok untuk penduduk yang lahir setelah tahun tertentu. Artinya, di jangka panjang, basis pemajakannya dipastikan akan menyusut.

Bagi banyak pemerintah, pajak konsumsi umum (seperti PPN) dan pajak penghasilan kini menjadi tulang punggung anggaran ketimbang cukai rokok. Contoh, di Amerika Serikat penjualan rokok menurun 27% hanya dalam 6 tahun (2015–2021), dari 12,5 miliar bungkus menjadi 9,1 miliar bungkus sehingga kontribusi cukai tembakau terhadap anggaran negara bagian pun menciut.

Eropa juga terus menaikkan tarif cukai sambil menyiapkan aturan baru untuk mengantisipasi penurunan konsumsi. Secara global, kenaikan pajak rokok tetap dilakukan demi pengendalian konsumsi. Namun para pembuat kebijakan sadar bahwa basis pajak ini tidak bisa selamanya diandalkan.

Sementara itu, tren global lain adalah optimalisasi pendapatan dari aset negara. Banyak negara mulai memanfaatkan dividen perusahaan negara atau sovereign wealth funds sebagai sumber pembiayaan inovatif.

Misalnya, Temasek di Singapura dan Khazanah di Malaysia mengelola portofolio BUMN untuk menghasilkan dividen dan capital gain bagi negara. Tiongkok belakangan ini juga mendorong BUMN mereka membayar dividen lebih tinggi kepada negara untuk menambal kebutuhan fiskal daerah.

Itu artinya, secara global pendapatan dari aset negara (dividen, laba investasi) menjadi elemen penting, meski biasanya masih di bawah kontribusi pajak konvensional.

Tren global tersebut memberi pelajaran penting. Ke depan, pemasukan fiskal berkelanjutan harus bersandar pada basis yang luas (pajak umum) sembari mengoptimalkan sumber alternatif (dividen BUMN, pajak karbon, dll.). Alih-alih mengandalkan pajak dari konsumsi barang yang kian dibatasi seperti rokok.


Kontribusi Cukai Rokok vs Dividen BUMN

cukai.jpg

Bagaimana posisi Indonesia saat ini? Tak bisa dipungkiri, cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok adalah salah satu penyumbang terbesar kas negara. Tahun 2023, realisasi penerimaan cukai tembus Rp221,8 triliun. Angka ini memang sedikit melambat (turun ~2,2% dari 2022) karena produksi rokok menurun imbas kenaikan tarif dan pengendalian konsumsi.

Meski begitu, secara nominal cukai rokok masih sangat dominan. Pada 2024, total penerimaan cukai mencapai Rp226,4 triliun, dan Rp216,9 triliun atau sekitar 95% di antaranya berasal dari cukai hasil tembakau.

Dominasi serupa sudah berlangsung lama. Pada 2015 pun rokok menyumbang 96% dari total cukai negara. Inilah realitas ketergantungan APBN pada cukai rokok.

Uang dari perokok ibarat “napas” bagi anggaran, meski di sisi lain rokok membawa beban kesehatan publik.

Pemerintah sebenarnya menyadari paradoks ini. Sejak 2016 diwacanakan penambahan objek cukai baru (plastik, minuman manis, BBM) untuk mengurangi ketergantungan pada rokok. Namun hingga kini rokok tetap rajanya pendapatan cukai.

Sumber besar kedua yang kian bersinar adalah dividen BUMN. Dahulu pos ini relatif kecil, tapi belakangan nilainya melonjak. Tahun anggaran 2023, BUMN menyetor dividen Rp82,06 triliun ke negara, melampaui target (100,6% dari target APBN Rp81,5 T). Luar biasanya, angka ini naik 102% dibanding setoran dividen 2022.

Laba BUMN, terutama bank-bank milik negara dan Pertamina, meroket pasca-pandemi sehingga setoran dividennya ikut terdongkrak.

Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo bahkan menyebut total kontribusi BUMN (termasuk pajak, dividen, PNBP lain) mencapai Rp636 triliun pada 2023, sekitar 20% dari pendapatan negara tahun itu. Artinya, satu lima rupiah di APBN 2023 berasal dari aktivitas BUMN.

Para “juragan” BUMN seperti BRI, Pertamina, Mandiri, Telkom, hingga MIND ID menjadi penyumbang utama dividen negara, dengan BRI teratas (Rp23,2 T) dan Pertamina kedua (Rp14 T).

Dibanding cukai rokok, nominal dividen BUMN memang masih sepertiganya. Namun tren pertumbuhan dividen yang spektakuler ini menandai era baru. Pemerintah mulai bisa “memanen” hasil dari transformasi BUMN.

Pertanyaan kuncinya, mana yang lebih berkelanjutan untuk jangka panjang, terus mengandalkan cukai rokok, atau menggali potensi dividen BUMN? Mari kita bedah lebih lanjut.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES