Safaran Rebo Pungkasan, Tradisi Guyang Jaran di Lembah Kayangan

TIMESINDONESIA, KULONPROGO – Tradisi Saparan Rebo Pungkasan bagi masyarakat Kalurahan Pendoworejo merupakan tradisi turun temurun yang hingga saat ini terus dilestarikan. Tradisi ini dilaksanakan di tempuran dua sungai yakni sungai Klegong dan Sungai Ngiwo (Kalingiwo) Bendung Kayangan, Kalurahan Pendoworejo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo.
Tradisi Rebo Wekasan, atau Rebo Pungkasan dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Sapar dalam kalender Jawa. Rebo Pungkasan tahun ini jatuh pada hari ini, Rabu (4/9/2024).
Advertisement
Menjelang siang, ratusan warga dari 12 dusun di sekitar Lembah Kayangan di antaranya adalah Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, Krikil, dan lain-lain bersiap melakukan kirab dengan membawa berbagai menu makanan tradisional khas rakyat sekitar Lembah Kayangan.
Menu sajian itu ada yang dibawa menggunakan tampah, jodhang, bahkan ada pula yang menggunakan wadah baskom. Menunya beragam khas rakyat Lembah kayangan, seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan.
Ada pula menu khusus yang tidak akan dijumpai pada hari biasa yaitu bothok lele dan panggang mas. Panggang mas merupakan telur ceplok yang tidak diberi garam. Kebanyakan kita menyebutnya sebagai telur mata sapi.
Kirab menuju Lembah Kayangan. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Bothok lele dan panggang mas merupakan menu wajib dalam setiap ritual kenduri Saparan Rebo Pungkasan. Karena kedua hidangan itu dipercaya sebagai menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Sehingga warga, ada yang secara khusus memasak dua menu itu hanya untuk acara spesial saja seperti kenduri Saparan Rebo Pungkasan yang berlangsung hari ini, Rabu (4/9/2024).
Sejarah Lembah Kayangan
Menurut cerita Kepala Dukuh Tusuran, Hartoyo (49 tahun), sejarah Kayangan bermula dari runtuhnya kerajaan Majapahit pada tahun 1527. Kala itu, ujar Hartoyo, ada bangsawan Majapahit yang melarikan diri mengembara ke arah Barat dan dikawal oleh dua orang abdi. Dalam pengembaraannya, mereka beristirahat pada sebuah lembah yang subur. Lembah itu diapit oleh dua tebing yang di bagian bawahnya terdapat tempuran dua sungai bernama sungai Kleggong dan Sungai Ngiwo (Kalingiwo).
Di tempuran dua sungai lembah tersebut, masih kata Hartoyo, bangsawan dari majapahit itu melakukan semedi atau bertapa. Para abdinya dengan setia menunggui majikannya yang sedang bertapa. Sambil menunggui majikannya, para abdi setiap hari memandikan kuda kuda mereka di tempuran kali yang ada di bawah tebing lembah itu. Setelah sekian lama bertapa, bangsawan dari Majapahit itu kemudian moksa. Raganya hilang.
Sebelum moksa, bangsawan itu memberi pesan kepada para abdinya agar memberi nama lembah itu dengan nama “Kayangan”. Berdasarkan cerita lisan turun temurun, bangsawan dari Majapahit tersebut bernama Mbah Bei Kayangan.
Setelah Mbah Bei moksa, lanjut cerita Hartoyo, para abdi dari Majapahit tersebut tinggal dan menetap di sekitar lembah. Membangun pemukiman di sekitar Lembah Kayangan hingga meninggal dunia.
Masyarakat sekitar Lembah Kayangan kemudian menyebut dua abdi itu dengan nama Mbah Somoito dan Mbah Joyo Sudiro. Makam Mbah Somoito ada di sebelah Utara Sungai. Sedangkan makam Mbah Joyo Sudiro ada di sebelah Selatan sungai.
Setelah puluhan tahun kematian bangsawan dari majapahit dan para abdinya, lanjut Hartoyo, desa di sekitar Lembah Kayangan terserang pagebluk. Pagebluk itu memakan banyak korban. Pagi sakit sorenya meninggal dunia. Begitu pun sebaliknya, sore sakit paginya orang yang terkena pagebluk meninggal dunia.
Masyarakat sekitar Lembah Kayangan tidak tahu apa yang terjadi. Mereka diceritakan hampir putus asa karena tidak tahu apa yang menyebabkan pagebluk menyerang desa mereka.
Hingga suatu hari, cerita Hartoyo, ada seorang yang tidak diketahui asal muasalnya menemui tokoh masyarakat Lembah Kayangan dan memberi nasehat, “jika ingin pagebluk hilang dari desa sekitar Lembah Kayangan, gunakanlah air dari belik atau sumber mata air kayangan,” ujar lelaki misterius tersebut.
Setelah memberikan nasehat, orang yang tidak diketahui asal muasalnya tersebut pamit dan menghilang.
Tokoh masyaarakat tersebut segera saja meminta warganya untuk menggunakan air yang berasal dari Belik Kayangan. Ada yang digunakan untuk mandi, air minum dan lainnya. Ajaib. Setelah semua warga menggunakan air dari belik kayangan untuk kebutuhan sehari hari. Pegebluk yang menyerang warga perlahan hilang. Tidak ada lagi warga yang sakit.
Jodhang berisi beragam sajian melewati Belik Mbah Bei menuju lembah kayangan. (Foto: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Masyarakat kemudian percaya bahwa orang yang memberi petunjuk agar warga menggunakan air Belik Kayangan adalah Mbah Bei Kayangan. Maka untuk mengenang Mbah Bei Kayangan yang dipercaya sebagai bangsawan Majapahit dan para abdinya yang setiap hari memandikan kuda di tepuran atau pertemuan dua arus sungai tersebut. maka disetiap rangkaian acara rabu pungkasan selalu ada prosesi Ngguyang jaran.
Hanya saja, kata Hartoyo, sekarang bukan jaran atau kuda sebagai mana dulu para abdi memandikannya. Ngguyang jaran sekarang adalah jaran jathilan yang menjadi kesenian rakyat Lembah kayangan.
Hilangnya pegebluk atau wabah penyakit itu kebetulan terjadi pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Untuk itu setiap hari Rabu terakhir bulan safar, warga di sekitar Lembah Kayangan mengadakan kenduri Safaran Rebo Pungkasan Kembul Sewu Dulur sebagai ungkapan rasa syukur atas hilangnya wabah penyakit yang menyerang warga sekitar Lembah Kayangan.
Tradisi Safaran Rebo Pungkasan tersebut masih berlangsung hingga saat ini. bahkan Belik Kayangan yang menjadi obat bagi warga yang terkena pagebluk pun masih ada di lembah Kayangan. Warga menyebutnya sebagai Sendang Kahuripan.
“Dulu zaman simbah simbah saya, namanya masih Saparan Rebo Pungkasan,” ujar Hartoyo. “Namanya berubah jadi Safaran Rebo Pungkasan Kembul Sewu dulur, itu dimulai sejak tahun 2005. Penggagasnya seniman Godod Sutejo yang baru kemarin meninggal dunia,” kata Hartoyo.
Kirab Rebo Pungkasan dan Guyang Jaran
Usai azan Dzuhur, dari pertigaan desa Pendoworejo ratusan warga bergerak membawa beragam sajian menu makanan diiringi tetabuhan jathilan menuju Lembah Kayangan. Pakaian yang mereka kenakan berupa sorjan dengan blangkon pada lelakinya. Sedangkan perempuannya memakai kebaya lurik dan ada juga yang memakai kebaya kutubaru. Tua muda dan anak anak berbaur dalam Langkah yang diiringi tetabuhan khas jathilan.
Sesampainya di tepian sungai Lembah Kayangan, mereka duduk berbari dengan meletakkan sajian di depan masing masing. Perangkat desa dan lurah memberikan sambutan bergantian. Dan kiai membaca doa, lalu dilanjutkan dengan makan bersama dalam prosesi Kembul Sewu dulur(makan bersama seribu saudara). Siapapun yang hadir bisa mencicipi ingkung maupun makanan lain. Bebas.
Usai acara makan bersama, acara dilanjutkan dengan prosesi guyang jaran. Tokoh adat memimpin acara dengan terlebih dahulu menuju sungai di bawah tebing Lembah Kayangan. Secara bergiliran, jaran kepang yang biasa mereka gunakan untuk berkesenian dimandikan dengan taburan bunga dan sesaji.
Konon katanya, ritual memandikan jaran kepang diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kesenian Jaran Kepang tersebut. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan jaran kepang tersebut mereka akan berpentas di lapangan desa yang ada di atas Sungai Klegong dan Sungai Ngiwo. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |