Dulu Menambang ke Gunung Ijen, Kini 4 Bersaudara Ini Punya Homestay Keren

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Namanya Sariyono, pria berusia 57 tahun yang telah menambang belerang Gunung Ijen sejak tahu 1972 untuk menghidupi keluarganya.
Pak To, sapaan akrabnya dulu harus jalan kaki, berangkat jam 10 malam, dari rumahnya di Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi naik ke Puncak Gunung Ijen sejauh 9 kilometer. Begitu juga saat dia turun, dengan jarak yang sama, memanggul 80 kilogram belerang.
Advertisement
Saat itu bukan uang yang dia dapatkan, melainkan secarik kertas nota sebagai tanda terima dari pembeli belerang. Nota itu yang dipakainya membayar sembako di toko, untuk diberikan kepada istri dan 3 orang anaknya, saat sampai ke rumah pukul 4 sore.
Lelah luar biasa tidak bisa dipungkiri dengan kehidupan seperti itu, dia harus istirahat 2 hari setelah naik menambang. Belum lagi memikirkan kebutuhan pendidikan anaknya, yang sampai-sampai tidak lulus sekolah dasar (SD). Sempat ikut menambang, 2 anaknya dan seorang menantu sepakat untuk patungan dan bersama-sama membangun homestay.
"Keinginan muncul saat tidak ada modal, lalu 4 orang ini patungan masing-masing Rp 1 juta di tahun 2014 untuk beli pasir dan batu," kata Ahmad Efendi alias Ali (37), yang merupakan anak kedua Pak To, di rumahnya, Minggu (19/11/2017).
Patungan tidak hanya sekali, namun berulang kali hingga habis-habisan uang mereka, 3 sapi dewasa total harga puluhan juta juga mereka jual. Namun pengorbanan dana dan tenaga sebesar itu menampakkan hasilnya 7 bulan kemudian, saat homestay mereka jadi, bernama Ijen Miner Family.
"Kami ingin anak-anak tidak menambang. Bisa kuliah dan akhirnya pegang kerjaan," kata Ali lagi.
Dia mengatakan menambang sekarang tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, terutama saat kebutuhan biaya pendidikan anak semakin mahal. Kini Ali jarang menambang, tapi saat berangkat, dia bisa setor belerang 2 kali, masing-masing seberat 80 kilogram, membuatnya membawa pulang uang Rp 150 ribu.
Penghasilan itu harus dipotong uang bensin naik ke Paltuding Gunung Ijen, biaya rumah tangga dan biaya pendidikan anak-anaknya. Belum lagi medan sulit Kawah Ijen, beratnya beban pikulan, asap Kawah Ijen yang mengandung sulfur memberikan risiko gangguan kesehatan bagi para penambang. Beban itu akan semakin terasa berat saat penambang telah berumur dan hanya bisa membawa 60 kilogram atau 50 kilogram dengan hanya sekali jalan setiap harinya.
"Dulu turis itu selalu bingung tempat menginap, penambang-penambang tahu, jadi kami yakin membangun homestay," kata Ali yang menambang belerang sejak tahun 2003 itu.
Tidak hanya finansial, Ali juga merasa mendapatkan banyak manfaat lain kendati belum setiap hari mendapatkan tamu untuk homestay yang mereka kelola. Selain 10 kamar homestay yang disewakan Rp 165 ribu per malam, keluarga ini sekarang juga punya mobil Taruna dan Trooper untuk antara dan jemput pelanggannya.
"Kalau sama-sama lancar masih enakan di homestay, banyak kenalan, banyak teman, banyak pengalaman jadi (pernah) ke Surabaya, ke Bali. Dulu cari hutangan 100 ribu saja susah, sekarang pinjam ke bank puluhan juta dikasih. Tempat ini juga jadi dikenal," kata Ali membeberkan benefit yang didapatkan keluarganya.
Anggota keluarga lain adalah anak pertama Pak To yang bernama Sugiono (38) dan sang menantu Miskadi (31) alias Adi Miner. Semakin melek informasi, mereka juga menawarkan homestay itu melalui website Ijenminer.com.
Di Bulan Juni, Juli, dan Agustus kamar-kamar mereka selalu full dipesan setiap hari. Meski tidak mahir Bahasa Inggris, mereka telah berkali-kali mengantarkan wisatawan mancanegara ke Kawah Ijen. Mereka juga mengklaim bahwa guide Puncak Ijen dengan background penambang belerang lebih memahami jalur-jalur aman turun ke kawah untuk melihat api biru Gunung Ijen dari dekat. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Sukmana |