Wisata

Jelajah Eksotika Desa Adat Penglipuran 

Kamis, 30 Januari 2020 - 09:21 | 313.72k
Prosesi gotong royong memotong babi untuk sajian ritual melaspas pengeboran sumur baru di Desa Adat Penglipuran, Bali, Senin (27/1/2020).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Prosesi gotong royong memotong babi untuk sajian ritual melaspas pengeboran sumur baru di Desa Adat Penglipuran, Bali, Senin (27/1/2020).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANGLI – Senja hampir menyapa Desa Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Air hujan baru saja turun mengguyur desa yang masih menjaga tradisi setempat tersebut. 

Hari itu para wisatawan cukup beruntung. Karena melihat secara dekat gotong royong antar warga dalam upacara melaspas di Pewaregan sebagai wujud syukur. 

Advertisement

Pewaregan berada dalam satu kompleks desa adat. Letaknya hampir di ujung berdekatan dengan pura serta akses menuju hutan bambu. Bangunan tradisional tersebut digunakan sebagai dapur bersama saat menggelar prosesi persembahan.

Desa-Adat-Penglipuran-a.jpg

Kali ini adalah selamatan sebelum mengebor sumur baru. Bertujuan sebagai ungkapan puji syukur kepada dewa dalam rangka pengadaan air bersih. Ritual melaspas atau penyucian seperti ini kerap dilakukan saat momen tertentu. Anggaran upacara berasal dari desa dan iuran. 

Mereka memotong babi, mengolahnya, dan membagi dalam potongan kecil bersama setangkup nasi di atas daun pisang. Hewan yang dipotong tidak harus babi, namun bisa menyesuaikan kemampuan.

Nasi akan dibagikan setelah upacara persembahan kepada perwakilan warga yang hadir membantu. 

"Secara ritual agar air terjaga kesuciannya," kata Jero Bendesa atau Ketua Adat I Wayan Supat, Senin (27/1/2020).

Desa-Adat-Penglipuran-b.jpg

Saat para bli di Penglipuran berkumpul memotong babi, terlihat mbok dan geg, sebutan bagi perempuan Bali, menghantar kembang sesaji beriringan menuju pura. Senyum merekah dan sapa ramah begitu terasa. Wisatawan bebas mengabadikan momen berfoto bersama. 

Secara historis, penduduk Desa Penglipuran berasal dari Bayung Gede Kintamani. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari Bangli. Pada masa tersebut, Kerajaan Bangli pernah mengalami krisis kependudukan karena wabah. Banyak penduduk Bangli memilih pindah ke kota kerajaan. 

Sehingga raja mengambil penduduk Bayung Gede dengan kesepakatan dari penguasa setempat. Bahkan mereka juga diajak berperang karena memiliki kemampuan fisik lebih. 

Agar tidak kehilangan sejarah serta demi menjaga tanah leluhur, warga sepakat membangun desa adat. Syaratnya, desa adat harus memiliki pura. Masyarakat membuat pura seperti di tanah leluhur dan beberapa adat tetap dijaga. Seperti larangan poligami.

Desa-Adat-Penglipuran-c.jpg

Maka, tidak salah jika desa ini menjadi salah satu destinasi wisata utama saat berkunjung ke Pulau Dewata. Masyarakat manca menyebutnya Island of God. 

Desa Penglipuran berada di Kelurahan Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Jaraknya sekitar 53 kilometer dari Kuta.

Desa ini mengusung visi sebagai sebuah desa wisata berbasis masyarakat, komunitas, berbudaya dan berwawasan lingkungan. 

Menurut Ketua Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Nengah Muneng, Penglipuran terkenal dengan tiga nomenklatur. Sebagai desa wisata, desa adat yang memiliki hak otonom dalam melaksanakan adat istiadat sesuai Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019, serta saat ini sedang menunggu Pergub untuk mengelola desa adat sebagai badan usaha milik desa.

Desa-Adat-Penglipuran-d.jpg

Tidak ada dana BUMDes karena Penglipuran berada di area kelurahan. Namun desa adat memiliki lahan produktif dan Lembaga Perkeditan Desa (LPD). Dana ini dikembalikan lagi untuk kepentingan kepariwisataan. 

Desa Wisata Penglipuran diharapkan mampu mensejahterakan masyarakatnya dengan terus melestarikan budaya, kearifan lokal dan adat istiadat. Tanpa menutup budaya modern masuk sepanjang tidak merusak budaya lokal yang telah ada sebelumnya. 

edisi-kamis--30-Januari-2020-wisata-pangwaregan-bali6e9142303faf92b8.jpg

Selain bercocok tanam, masyarakat setempat juga berwirausaha menjual berbagai cinderamata khas Bali, warung makan maupun hasil pertanian untuk memberdayakan perekonomian. Para pedagang tersebut tidak boleh memaksa tamu untuk berbelanja. 

"Agar cara mereka tamu ada salam dan dipandu dulu," terang I Nengah Muneng.

Desa-Adat-Penglipuran-e.jpg

Sebagai desa yang berwawasan lingkungan, Penglipuran memiliki hutan bambu seluas 45 hektar. Kesepakatan bersama, hutan ini tidak boleh dialih fungsikan maupun dijual kepada pihak luar demi menjaga segi ekologi, ekonomi, historis, religi dan heroik. 

Tentu, hutan bambu tersebut mendukung alam sekitar Penglipuran makin asri sesuai Sapta Pesona. Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramah Tamahan, dan Kenangan. Bahkan, Desa Penglipuran ditasbihkan sebagai desa terbersih kedua di dunia. 

Selain itu, penduduk desa ini begitu teguh menjaga hubungan manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitar. 

Guna mengkonservasi budaya, Penglipuran memiliki landasan lay out tata ruang desa melalui Filosofi Tri Mandala atau tiga zona yaitu menjaga Zona Parahiyangan atau tempat yang disucikan, Zona Pawongan dan Zona Palemahan.

Desa-Adat-Penglipuran-g.jpg

Di pekarangan ada empat pintu. Bagian depan sebagai akses ke desa adat, kanan kiri akses ke tetangga, dan pintu belakang akses menuju jalan melingkar sebagai jalan kendaraan. 

Selain itu, setiap pekarangan wajib memiliki tiga bangunan tradisi yaitu angkul-angkul atau gerbang, balai tradisional dan balai sakenem sebagai tempat upacara. Rata-rata semua masih menggunakan bahan dari bambu, batu padas dan kayu. Setiap kali ada perbaikan atau rehab rumah karena kerusakan, akan mendapat dana subsidi dari desa adat senilai Rp 5 juta. 

Total ada 77 pekarangan di kawasan ini. Setiap pekarangan terdiri dari dua rumah adat, dapur tradisional dan balai sakenem serta tempat suci bernama Sanggahan. Luas pekarangan Desa Penglipuran adalah 9 hektar dengan penduduk 1.038 orang jiwa dan 240 Kepala Keluarga. 

Penglipuran juga memiliki tiga kuburan. Pertama, makam bagi yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri maupun sakit keras. Kedua, makam bagi mereka yang meninggal dengan rentang usia dari baru lahir sampai sebelum nikah. Ketiga, penguburan umum. Letaknya di ujung jalan desa atau sekitar satu kilometer dari pemukiman warga. 

Cara penguburan berorientasi ke arah matahari terbenam. Mayat perempuan diposisikan menengadah sebagai lambang ibu pertiwi. Sedangkan mayat laki-laki ditengkurapkan sebagai lambang bapak angkasa. 

Tidak disediakan tempat prosesi upacara Ngaben atau pembakaran mayat. Sebab tidak ada lagi pembakaran mayat di sini. Namun sebagai prosesi adat, upacara pembakaran diganti dengan model orang-orangan atau gesi-gesi dari alang-alang. 

Keunikan lain, Desa Penglipuran juga memiliki Karang Memadu sebagai tempat pengadilan karena melanggar pantangan poligami atau poliandri. Desa Penglipuran sangat menghormati perempuan. Tujuannya, agar kebahagiaan kehidupan rumah tangga terwujud bagi warga Penglipuran. Kendati demikian, sanksi tersebut tidak berlaku bagi penduduk yang telah keluar dari desa. 

"Ini adalah adat dari leluhur yang harus kami jaga," terang I Nengah Muneng. 

Sebagai desa wisata (quality tourism) Penglipuran ditetapkan sebagai objek desa tradisi (mess tourism) berdasarkan surat keputusan bupati setempat. Selanjutnya desa ini mendapat dana CSR dan ditetapkan sebagai desa wisata. 

Untuk membangun menjadi desa wisata, penduduk mendapatkan pembinaan dari pemerintah kabupaten maupun provinsi. Dengan syarat memenuhi akses, atraksi, kelembagaan profesional pengurus dan sarana prasarana seperti toilet. 

Usai mendeklarasikan sebagai desa wisata, Penglipuran langsung mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat serta membangun kerjasama dengan kalangan akademisi, organisasi profesi, dan masyarakat adat. 

Penglipuran selalu berhasil dalam mengikuti lomba-lomba. Misalnya Juara I Cipta Award 2013, Desa Wisata Juara II Tingkat Nasional 2014, 2017 Desa Wisata Standar ASEAN, Juara I Home Stay Tingkat Provinsi, Standar Homestay Asia, Green Destination Sustainable 2019 dan penghargaan Non Tourism sebagai Kampung Iklim. 

"Sehingga kami mempunyai tanggung jawab yang besarbesar atas semua penghargaan tersebut," tutur Nengah Muneng menambahkan. 

Maka, tidak salah jika rombongan humas dan wartawan Pokja Pemprov Jatim melakukan studi banding di kawasan yang mampu meraup pendapatan hingga Rp 4,7 miliar per tahun ini. Angka tersebut bisa jadi akan terus meningkat. 

Pendapatan dari tiket pada 2018 sekitar Rp 4,4 milyar dan meningkat Rp 4,7 miliar pada tahun berikutnya. Bahkan omset bruto mencapai Rp 20 miliar per tahun. 

Harga tiket berdasarkan Perbup Nomor 47 Tahun 2014 bagi wisatawan domestik dewasa Rp 15.000 dan anak-anak Rp 10.000. Sedangkan tiket bagi wisatawan mancanegara dewasa Rp 30.000 dan anak-anak Rp 25.000. Jika dilihat, jumlah kunjungan rata-rata per hari 800 dan mencapai 4000 wisatawan saat hari libur. 

Tiket dipegang langsung oleh pemerintah kabupaten. Nilainya, 40 persen diserahkan kepada desa dan 40 persen kepada pemerintah. Dana desa terbagi lagi, 20 persen digunakan sebagai dana operasional dan 20 persen untuk kas desa. Sedangkan home stay dipotong 20 persen untuk Desa Adat Penglipuran. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Bali

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES