Wisata

Lebih dari Sekadar Menjemur, Menengok Makna Tradisi Mepe Kasur di Banyuwangi

Kamis, 29 Mei 2025 - 16:43 | 17.08k
Salah satu warga Desa Kemiren bersama cucunya sedang memukul kasur dengan rotan. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Salah satu warga Desa Kemiren bersama cucunya sedang memukul kasur dengan rotan. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Kabupaten Banyuwangi tak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga dengan kekayaan tradisi budaya yang masih terjaga hingga kini. Salah satunya adalah Mepe Kasur, sebuah ritual adat masyarakat Osing Kemiren yang lebih dari sekadar menjemur kasur.

Tradisi yang Sarat Makna

Mepe Kasur yang berarti menjemur kasur, sudah ada sejak zaman leluhur masyarakat Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, sebagai bagian dari kehidupan mereka.

Advertisement

Saat ritual ini berlangsung, masyarakat Kemiren menjemur kasur-kasur mereka di depan rumah, terutama di sepanjang tepi jalan, menciptakan pemandangan yang unik dan penuh makna.

Kasur-kasur tersebut seragam berwarna merah dan hitam, bukan sekadar pilihan estetika, tetapi juga simbol kehidupan rumah tangga dalam budaya Osing.

Ketua adat Kemiren, Suhaimi, menjelaskan bahwa kasur merah-hitam khas ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat tidur, tetapi juga memiliki filosofi mendalam.

“Warna merah melambangkan kasih sayang ibu, sementara warna hitam menjadi simbol kelanggengan dalam kehidupan rumah tangga,” kata Suhaimi, Kamis (29/5/2025).

Dikatakan Suhaimi, menjemur kasur yang terbuat dari bahan dasar kapuk ini bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga diyakini memiliki makna spiritual. Saat kasur dijemur, masyarakat memukulnya dengan rotan atau sapu lidi, yang dipercaya dapat mengusir energi negatif.

“Bukan hanya itu, kasur itu juga diwariskan kepada anak perempuan yang hendak menikah, sebagai simbol penerusan nilai-nilai keluarga dan persiapan menjadi seorang ibu,” tuturnya.

Bagian dari Ruwatan Bersih Desa

Mepe-Kasur-2.jpgJejeran kasur warga Desa Kemiren dijemur dalam ritual Mepe Kasur. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)

Meski tidak diketahui kapan dan siapa yang mengawali tradisi unik ini, keberadaannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ruwatan Bersih Desa, sebuah ritual sakral yang dilakukan setiap awal pekan bulan Dzulhijjah, tepatnya antara hari Kamis atau Minggu di minggu pertama.

Tahun ini, tradisi Mepe Kasur yang dikemas dalam festival Tumpeng Sewu ini, digelar masyarakat Kemiren pada Kamis (29/5/2025), atau tanggal 2 Dzulhijjah 1446 Hijriah.

Rangkaian acara dimulai dengan Mepe Kasur, lalu arak-arakan barong sebagai simbol tolak balak. Setelah arak-arakan barong selesai, menjelang Maghrib, dilanjutkan penyalaan oncor (obor) yang dilakukan secara berurutan, melambangkan ikatan persaudaraan dan keberlanjutan tradisi.

“Puncak acara setelah sembahyang Maghrib, doa bersama selamatan tumpeng yang dilanjutkan dengan pembacaan Lontar Yusup, sebuah naskah kuno yang berkisah Nabi Yusuf,” kata Suhaimi.

Menjaga Warisan Leluhur

Dalam era modern, menurut Suhaimi, Mepe Kasur tetap dipertahankan sebagai identitas budaya Banyuwangi. Meski telah menjadi bagian dari festival, esensi warisan spiritual dan filosofi kehidupan dalam tradisi ini tetap terjaga.

“Mepe Kasur sendiri sebenarnya dilakukan setiap bulan sebagai upaya menjaga kebersihan. Namun, untuk melestarikan tradisi, masyarakat Kemiren juga menggelarnya secara serentak dalam momen khusus, sehingga nilai budaya dan filosofi yang melekat tetap terjaga,” ujarnya.

Mepe Kasur menjadi bukti nyata bahwa warisan leluhur masih relevan dan tetap hidup dalam kehidupan masyarakat saat ini. Lebih dari sekadar menjemur kasur, ini adalah simbol kelanggengan dan keberlanjutan budaya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES