TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap manusia mempunyai sejarha hidupnya. Ada yang menulisnya dengan manis dan ada yang meriasnya dengan sengkarut. Dari keduanya, setiap orang sesudahnya bisa belajar banyak. Frederick Nick pernah menyebut, bahwa “bangsa hebat adalah bangsa yang tidak kenal berhenti dalam belajar sejarah,”
Ungkapan Nick itu sejatinya mengingatkan, bahwa sudah banyak bangsa-bangsa di muka bumi ini yang melahirkan banyak pemimpin hebat yang sukses menorehkan tinta emas, yang kesuksesannya ini tidak lepas dari kemauan dan kemampuannya dalam membaca dan meneladani para pendahulu atau para pembuat sejarah.
Dengan meminjam ungkapan Nick itu, ada pertanyaan logis, sudahkah masyarakat Indonesia, khusunya komunitas elite atau pemimpinnya menjadi sosok yang rajin membaca sejarah?
Kalau mereka tidak lelah membaca sejarah, problem serangan wabah Covid-19 bisa disikapinya lebih cerdas, menguat dalam kepekaan spiritualitas, dan bernurani bening. Jika sudah jadi pembelajar sejarah, tentu kinerjanya secara totalitas akan diberikna pada pertiwi ini seperti para pejuang terdahulu yang sudah memberikan segala-galanya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Jika para elitis kita tidak lelah membaca sejarah, tentulah mental kuat berbasis membebaskan atau berkurban untuk rakyat tentulah yang selalu dilabuhkannya. Mereka yang bermental ini tentu tidak akan sampai terhegemoni oleh mental oportunis dan kriminalis, serta dehumanis.
Mereka itu tentu juga tidak akan terseret dalam kesibukan dan kegemaran memburu kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni dengan cara-cara permisif Ketika dalma dirinya meneladani sejarah pendahulu yang hidupnya diabdikan demi menghalau segala jenis penyakit bangsa.
Kalau mereka tidak lelah membaca sejarah, tentulah tidak ada istilah rakyat terabaikan, kondisi rakyat bermakna sengaja boleh dilupakan, yang sudah telantar boleh dibiarkan telantar, yang sudah sengsara atau berposisi marjiinal boleh ditumbalkan (dikorbankan) atau dipermainkannya.
Meski diserbu Covid-19, jika mereka tidak lelah membaca sejarah, tentulah mereka bisa tunjukkan pembuktiannya dengan “tampilan” aksi (aktifitas) yang berpola sangat rajin menunjukkan kewajibannya dalam melindungi, menyelamatkan, dan menyejahterakan masyarakat hingga ke daerah? Bagaimana mungkin bisa dikategorikan pemimpin yang tidak lelah membaca sejarah berbasis kerakyatan atau kemanusiannya kalau di berbagai daerah masih banyak rakyat yang hidup dalam kesengsaraan atau keprihatinan berlapis.
Dulu, sebelum serbuan Covid-19 seperti ini, kalau tidak dibilang sangat sering kita menemukan atau membaca beragam tragisme sosial seperti bayi kekurangan gizi dan sejumlah orang miskin memilih bunuh diri akibat sudah “bosan” menjalani hidup dalam kesusahan seperti kelaparan atau tidak terpenuhi kebutuhan asasi lainnya.
Pernah terjadi, orang tua (ibu) yang melibatkan anak-anaknya “menghentikan keberlanjutan hidupnya” secara massal akibat sudah lama terlilit problem ekonomi. Mereka meninggalkan pesan dalam suratnya, bahwa dirinya sudah tidak perlu melanjutkan hidup lagi, karena merasa sudah tidak ada gunanya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Kalau tidak lelah membaca sejarah, tuduhan berkali-kali tentang “miskinnya” komitmen kerakyatan dan kemanusiaan elitis kita tidak akan sampai sering terjadi . Artinya akibat sikap lemahnya kepedulian atau tidak antisipatifnya para pejabat pusat hingga daerah terhadap problem akumulatf bangsa seperti ketidakberdayaan ekonomi, pangan, dan lainnya di berbagai daerah, tragisme kemanusiaan masih demikian sering mengeksaminasi negeri ini, ynag setidaknya mengindikan belum seriusnya mereka belajar sejarah.
Masih seringnya terjadi berbagai tragisme kemanusiaan itu tak bisa tidak memang harus menyalahkan kualitas kinerja para pemimpin sebagai pihak yang lelah membaca sejarah. Mereka ini menempati jabatan strategis, diantaranya yang berurusan dengan kebutuhan asasi rakyat, namun mereka malas turun melihat kenyataan secara lasngung, tidak mau mendengarkan kritik, membutakan nurani, atau bersikap tidak mau tahu kondisi riilnya, sehinggga tentu saja tidak mendapatkan bacaan konkrit.
Bukti lain, bahwa elitis masih lelah membaca sejarah, bahwa mereka lebih senang hidup “di langit” daripada hidup “di bumi”, sehingga otomatis banyak hajat rakyat terbengkalai. Mereka terlena menikmati ekeklusifitas elitisnya dibandingkan membumikan kinerja luhurnya untuk rakyat.
Mereka itu termasuk komunitas yang alpa atau mengidap kelelahan dalam membaca sejarah. Akibatnya mereka tidak mengadopsi doktrin para pendahulu yang mempunyai jiwa kepemimpinan humanistic. Oleh karena itu, supaya bisa “memberikan yang terbaik” pada rakyat atau menempatkan rakyat sebagai pusat totalitas kinerjanya, komunitas elitis kita sekarang tidak boleh lelah membaca sejarah demi mencari sumber keteladanan empirik yang terbaik.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA), dan Penulis buku Hukum dan Agama.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
Pewarta | : Abdul Wahid |
Editor | : Deasy Mayasari |
Dihibur Gambyong Jreng, Komunitas Madiun Raya Gathering di Pasar Jadoel Ngegong
Berbobot 900 Kg, Sapi PO Anom Milik Peternak Pleret Bantul Juga Dibeli Presiden Prabowo
Pabrik Rokok Ilegal Diduga Milik Manajer Arema FC Akhirnya Digerebek Bea Cukai
Son Heung-min: Saatnya Tottenham Angkat Trofi, Seperti Harry Kane
752 Jemaah Haji Banyuwangi Berangkat, Bupati Ipuk Berikan Pesan Haru
Rupiah Tak Laku: Cermin Retak Ekonomi Kita
Dua Tahun Buron di Bali, Pelaku Kekerasan di Kawasan Wisata Banyuwangi Berhasil Ditangkap
Kecewa Insiden Pelemparan Bus Persik, Arema FC Pertimbangkan Tak Bermain di Kanjuruhan
Penerapan Kloter Berbasis Syarikah, PPIH Embarkasi Surabaya Minta Jemaah Haji Bersabar
Tottenham ke Final Liga Europa, Son Heung-min Termotivasi Harry Kane