TIMESINDONESIA, MALANG – Dunia media sosial selalu dipenuhi tentang perudungan, intoleransi, penghasutan dan penghinaan. Melalui meme, tulisan atau sekedar guyonan yang justru menyinggung perasaan orang lain. Contoh yang terbaru, Kader Nahdliyin dalam keilmuan bab nisa’ (masalah perempuan) diremehhkan di ranah publik melalui media sosial. Ia adalah salah satu putri dari Kyai pondok pesantren Lirboyo Kediri yang bernama Imaz Fatimatuz Zahro atau di kenal dengan Ning Imaz. Berawal dari cuitan Eko Kuntadhi di Twitter yang menggugah potongan video Ning Imaz. Video tersebut itu berisi tentang Ning Imaz menjelaskan tafsir Surah Ali Imran ayat 14.
Nampaknya mas Eko Kuntadhi sedang bermain-main dengan api melalui media sosialnya karena sikap beda persepsi. Walaupun status mas Eko di twiter sudah dihapus, namun jejak digital tidak bisa ditutupi oleh siapapun. Pasalnya, Eko secara terang menghina Neng Imaz melalui medsos dengan menambahi kata “tolol”. Kata yang seharusnya tidak pantas untuk ditujukan kepada siapapun.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Fenomena di atas menjadi pembelajaran bagi Eko dan pegiat sosial lainnya. Tidak hanya memiliki follower banyak sehingga seenaknya sendiri mengklaim dirinya paling benar, dan siapapun yang berbeda dengan yang lain di anggap salah. Jika ini benar terjadi, tak ayal kebesaran nama seseorang menutupi untuk bersikap adil. Bukankah Imam Syafi’I mengajarkan kepada kita “qouli shawab yahtamilu khata’, wa qaulu ghoiri khatha’ yahtamilu as shawab” (perkataanku benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar).
Perkataan Imam Syafi’I ini memiliki makna untuk senantiasa menjunjung objektivitas dan toleransi terhadap berbeda pendapat. Sebagai pengalaman pribadi, penulis setelah mengisi acara diklatsar banser NU di Kota Chiayi Taiwan dan rutinan ngaji sebulan sekali di PCINU Kaohsiung kitab Al Muqtathofat Li Ahli Bidayat bertemu dengan tiga missioner Kristen di Stasiun Pingtung. Mereka bertiga berpakaian rapi berasal dari Utah Amerika, New York dan Taiwan, baju putih masuk dan celana hitam disertai sepatu pantofel. Saya yang hanya berpakaian sarung dan baju muslim dengan santai mengobrol tentang agama Islam dan Kristen. Saya menyampaikan kepada mereka bahwa di Islam itu tidak ada paksaan dalam beragama dan “terhadap yang berbeda jangan disamakan, dan yang sudah sama jangan dibuat beda”. Jawab mereka “luar biasa, ini yang menjadikan dunia damai”. Perbedaan agama sekalipun harus disikapi dengan saling menghormati sama lain.
Kisah saya ini tentu bisa menjadi contoh dalam menghargai perbedaan pendapat, sekalipun dalam satu agama. Apakah saya lantas mengkafirkan mereka di depan mereka? Akankah saya memaksa mereka masuk Islam? Akankah saya mengatatakan kata-kata jorok dihadapan mereka? Tentu tidak. Disinilah harus dipahami, butuh kedewasaan dalam menghadapi sesuatu yang berbeda pikiran kita. Tidak ada yang merasa paling benar sendiri. Biar cukup Fir’aun saja yang mengakui dirinya sang Maha segalanya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam kasus penghinaan Mas Eko kepada Neng Imaz ini menjadi jelas bahwa ketidak puasan atas penjelasan dari seorang ahlipun, hati masih dikotori untuk melakukan gunjingan, hasutan, bahkan hinaan. Hal ini dibutuhkannya sikap bijak dalam bermedia sosial. Saring before share salah satu sikap saat bermedia sosial. Kita yang hidup di era medsos, minimal memahami etika dalam bermedsos. Perlu diingat, lidah di media sosial adalah jari-jemari kita.
Penulis teringat al Ghozali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah bahwa lisan itu ada dua, lidah dalam mulut kita dan lidah dalam goresan pena kita. Media sosial ibaratkan sebuah pisau bisa berdampak positif dan bisa negative, tergantung siapa pemakainya. Bermedsos tanpa didukung dengan kehati-hatian, maka akibatnya akan fatal. Otak merangsang untuk berfikir, jika ada yang berbeda di depan mata atau tidak pas, tangan rasanya gatal untuk menuliskannya. Seperti halnya penulis ini, gatal karena merasa terpanggil hatinya jika salah satu putri pondok pesantren Lirboyo dihinakan di media sosial.
Berbeda itu sah-sah saja, namun perbedaan itu perlu disikapi dengan bijak. Jikalau butuh dikoreksi, maka koreksi dengan bijak bukan menghujat ataupun menghina. Bangsa ini sudah cukup lelah untuk hal-hal yang negative. Saatnya membangun bersama dengan nilai-nilai yang positif, akhirnya bisa melakukan ibadah tanpa adanya kekawatiran dan belajar dengan tenang.
Perbedaan yang terjadi di media sosial harus betul-betul dicermati. Jangan berfikir “posting yang penting, bukan yang penting posting”. Pembaca dari apa yang kita posting bukan saja dari kalangan kita, namun hampir 119 juta orang Indonesia menggunakan media sosial. Berbeda suku, agama, budaya, daerah perlu diperhatikan dalam melakukan postingan. “You are what you share” betul, bahwa kamu adalah representasi dari apa yang kamu posting. Setelah Mas Eko sudah meminta maaf dengan berkunjung ke Lirboyo, jangan sampai ada lagi muncul penghinaan-penghinaan baik terhadap dunia pesantren maupun kepada siapapun.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*)Penulis: Yoyok Amirudin, Dosen FAI Unisma Malang, Ketua Lakpesdam NU Taiwan.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Magis Ghibli: Sebuah Inovasi atau Degradasi Seni? Begini Kata Dosen UK Petra
Izin Bodong Bendungan Karaopa, Cikasda Sulteng Minta BKPM Cabut BTIIG dari OSS
Laga Sengit di Piala Soeratin 2025 Askab PSSI Banyuwangi, Ini Skornya
Kerap Alami Krisis Air Bersih, Warga Sumbul Malang Kini Bisa Nikmati Layanan SPAM
Suzuki Fronx Siap Meluncur di Indonesia, Tawarkan Desain Dinamis dan Teknologi Ramah Lingkungan
Kontes Mobil Mercy Meriahkan Signature Event Benz C@k Suroboyo
Gubernur Khofifah Resmikan SPAM, Warga Singosari Terbebas Krisis Air Bersih Kala Kemarau
Sakralnya Peringatan Hari Waisak 2025 di Maha Vihara Mojokerto
Lagu Tema 7 Kebiasaan Anak Indonesia Karya Siswa Gresik Masuk 30 Besar Nasional
Cegah Aksi Premanisme Lewat Patroli Skala Besar Polres Mojokerto Kota