TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saat ini, para bahariwan berlomba-lomba merangkai bahtera yang menawan. Menyajikan kerangka yang besar dan kokoh agar tetap tampak gagah saat bertengger maupun belayar di tengah samudera. Semoga saja para perakit tak lupa, keindahan laut yang kerap memancing manusia berdatangan dapat pula menenggelamkan secara tragis. Laut dan bencana adalah pendulum alam.
Selain itu, perlu diingat para nakhoda tidak hanya dituntut menguasai kapal yang besar sekalipun canggih, lebih dari itu mafhum menyikapi berbagai macam kondisi yang mencemaskan, kerapkali datang tak terduga bahkan tidak mengenal waktu. Maka, tidak hanya wawasan menjadi bekal utama para pelayar. Lebih jauh lagi, mentalitas serta pengalaman perlu diperhitungkan agar dapat membawa kapal mendarat dengan selamat.
Prolog di atas menjadi metafora akur dalam mengilustrasikan sepatutnya seorang pemimpin serta dinamika dalam negara. Seorang pemimpin bukan lahir dari hasil survei, melainkan berangkat dari mencium keringat rakyat, memahami karakteristik dan budaya masyarakat serta memahami apa yang diekspetasikan oleh mereka.
Menyiasat pada sejarah, politik di kalangan orang-orang romawi kuno dijadikan cara berpikir baru serta cara merasakan. Hukum dan kebijakan sebuah kota Yunani tidak lahir dari bangunan megah yang bernama istana, melainkan lahir dari diskusi di kalangan warga negara yang setara secara nasional di agora, sebuah pasar yang umumnya berfungsi sebagai arena politik.
Sudah seharusnya propaganda yang dilakukan untuk meminkat hati rakyat, bukan lagi janji program yang ditawarkan, memanfaatkan rekognisi maupun idelogi, melaikan ide serta gagasan (cara berpikir baru). Jika ide maupun gagasan menjadi penawar para calon pemimpin, akan menciptakan skolastik yang baik bagi masyarakat. Perdebatan yang dibicarakan pada ruang publik, bukan lagi siapa dibelakang para petarung, tetapi apa bekal dan tujuan mereka dalam meneruskan estafet kepemimpinan nantinya.
Pergeseran arah mata angin modernisasi telah menghantarkan masyarakat Indonesia pada kecakapan berdemokrasi. Jenuh dengan pertengkaran elit penguasa pada setiap musim hajat rakyat yang tidak produktif, memaksa semua elemen menggali lebih dalam terkait demokrasi yang hakiki.
Jika esensi negara modern ialah penguatan dari berbagai lini yang berbeda, para petarung harus mengerti patalogi yang menjalar masyarakat luas, hingga menciptakan prime mover pembaharuan yang inovatif serta efektif diberbagai sektor. Maka, tawaran yang dihidangkan para calon imam harus diselimuti dengan solusi dari berbagai permasalah yang ada. Bukan hanya memperkuat konsolidasasi di lingkaran elit partai politik.
Agaknya, janji-janji politik yang terucap dari para mulut politisi di atas panggung saat kampanye tidak lagi mujarab untuk memikat hati rakyat. Para kandidat harus menghidangkan cara ampuh untuk menyentuh hati para pemilih. Di antara berbagai alternatif tersebut adalah “kontrak sosial”, sifatnya mengikat antara calon dan pemilihnya.
Mengacu pada pendapat Thomas Hobber, kontrak sosial atau kontrak politik didasari dengan empat hal yaitu, Pertama, atas dasar fakta bahwa mereka sama-sama memiliki kebutuhan dasar. Kedua, jika ada tidak cukup barang-barang pokok untuk dibagikan, siapakah yang berhak mendapatkan?
Ketiga, adanya fakta kekurangan, Keempat, jika tidak mampu mengandalkan kemampuan sendiri, harapan apa yang harus dimiliki?.
Dengan pengertian tersebut, tujuan kontrak politik berorientasi pada kebaikan bersama di antara para pihak yang mengesahkan kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan mengingat dengan kayanya sumber daya alam (SDA) dan beragam keahlian sumber daya manusia (SDM) yang ada di Negara Republik Indonesia, tentu para kandidat harus memiliki formulasi untuk memenuhi sebab-sebab dari kontrak sosial terjadi. Dengan begitu, para pemimpin di masa yang akan datang menciptakan ekspresi politik demokrasi yang mengklaim keberpihakan pada kesejahteraan rakyat.
Pemanfaatan SDA maupun SDM, tentu harus diimbangi dengan sentuhan-sentuhan seorang pemimpin yang mempunyai wawasan luas.
Sejarah mencatat, kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh para pemimpin yang memiliki tradisi intelektual, mentranformasikan ide dalam pembaharuan ke arah lebih maju. Sudah semestinya para pemimpin di masa kini maupun yang akan datang, tidak dapat melepaskan diri dari tiga kodrati besar, yakni akal untuk logika, budi untuk etika, dan rasa untuk estetika. Sehingga para pemimpin bersemayam pada singgasana moralitas. (*)
***
*) Oleh: Abu Rizal Sidik, Mahasiswa Ilmu Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Berbobot 900 Kg, Sapi PO Anom Milik Peternak Pleret Bantul Juga Dibeli Presiden Prabowo
Pabrik Rokok Ilegal Diduga Milik Manajer Arema FC Akhirnya Digerebek Bea Cukai
Son Heung-min: Saatnya Tottenham Angkat Trofi, Seperti Harry Kane
752 Jemaah Haji Banyuwangi Berangkat, Bupati Ipuk Berikan Pesan Haru
Rupiah Tak Laku: Cermin Retak Ekonomi Kita
Dua Tahun Buron di Bali, Pelaku Kekerasan di Kawasan Wisata Banyuwangi Berhasil Ditangkap
Kecewa Insiden Pelemparan Bus Persik, Arema FC Pertimbangkan Tak Bermain di Kanjuruhan
Penerapan Kloter Berbasis Syarikah, PPIH Embarkasi Surabaya Minta Jemaah Haji Bersabar
Tottenham ke Final Liga Europa, Son Heung-min Termotivasi Harry Kane
Kala Jamu Tradisional Bersinar dalam Festival Suadesa 2025 di Borobudur Magelang