TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu pembahasan yang menarik untuk dielaborasi adalah soal konsep bid'ah. Konsep ini menimbulkan perdebatan yang cukup alot, terutama dengan kelompok keagamaan lain. Sebab, konsekuensi dari konsep ini juga menyangkut identitas seorang Muslim.
Zuhairi Misrawi dalam bukunya berjudul: Hadratussyhaikh Hasyim Asy'ari, Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, mengatakan, bid'ah identik dengan kesesatan yang mesti dihindari oleh setiap Muslim. Buku ini juga melihat sudut pandang KH Hasyim Asyari terkait bid'ah.
Lebih dari itu, klaim sesat itu akan mempunyai dampak lanjutan, yaitu berupa eksklusi dari kebenaran, yang mempunyai dampak hukum dan politik keagamaan.
"Kalangan Wahabi kerap kali menggunakan klaim tersebut untuk mengkriminalisasi orang dan kelompok. Jika mereka berada di bawah kekuasaan yang menganut paham Wahabisme, maka akan dikenai sanksi yang sangat berat. Mereka tidak hanya dikutuk di akhirat, tetapi juga akan dikutuk di dunia," katanya dikutip TIMES Indonesia, Kamis (2/1/2023).
Dalam hal ini, perlu pandangan yang lebih progresif dan elaboratif soal bid'ah ini, terutama dalam rangka mengantisipasi munculnya tindakan keagamaan yang tidak sejalan dengan pokok-pokok dasar syariat (maqashid al-syari'ah), yaitu pandangan yang tidak memberikan ruang pada rasionalitas dan humanitas, yang merupakan karakter utama syariat.
Sebenarnya, kata pria kelahiran Sumenep, Madura itu, Ibnu Qayyim al- Jawziyyah, yang merupakan salah satu murid Ibnu Taymiah, sudah memberikan pendasaran yang sangat baik perihal esensi syariat Islam. Ia berkata, "Dasar dan fondasi syariat adalah kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia, baik di muka bumi maupun di akhirat. Syariat adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan kebijaksa- naan."
"Dalam lanskap yang lebih luas, ada baiknya kita memotret dua kelompok dalam menyikapi bid'ah," jelasnya.
Pertama, kelompok yang cenderung puritan dalam memaknai bid'ah. Segala sesuatu yang tidak diajarkan dan tidak dilakukan Nabi dianggap bid'ah, yang pada akhirnya dianggap sesat dan kafir. Kelompok ini cenderung intoleran dalam menyikapi setiap persoalan yang tidak berkesesuaian dengan paradigma mereka.
Kedua, kelompok yang cenderung moderat memahami bid'ah. Segala kebajikan yang tidak ada pada zaman Nabi, tetapi di dalamnya ada nilai-nilai ketauhidan dan keislaman yang tinggi, maka hal tersebut dapat digo- longkan sebagai bid'ah hasanah, yaitu bid'ah yang ter- puji dan diperbolehkan untuk dilaksanakan. Kelompok ini cenderung memberikan toleransi yang seluas-luasnya, di mana setiap persoalan tidak dilihat dengan menggunakan "kacamata kuda", melainkan dengan "kacamata akal budi".
Menurut Zuhairi Misrawi, Kiai Hasyim Asy'ari merupakan sosok yang memilih untuk memahami bid'ah dalam pandangan yang kedua dari pada yang pertama di atas tersebut.
Di dalam buku Risâlah Ahlussunnah wal Jamaah: fi Hadits al-Mawtâ wa Asyrâth al-Sa'ah wa Baya Mafhum al-Sunnah wa al-Bid'ah, Kiai Hasyim memberikan penjelasan lumayan panjang seputar bid'ah. la mengutip pandangan Syaikh Marzuq dalam 'Uddat al- Murid, bahwa bid'ah merupakan upaya inovasi sebuah perkara dalam agama yang menjadikan hal tersebut seolah-olah seperti agama, baik dalam bentuk maupun sub- stansinya.
Hal itu mengacu pada sebuah hadis yang berbunyi, "Barang siapa melakukan inovasi dalam urusan agama kita, tetapi hal tersebut sama sekali bukan dari agama, maka hal tersebut ditolak."
Ia mengatakan, pemahaman Kiai Hasyim Asy'ari tentang bid'ah ini tidak hanya berhenti pada definisi tersebut, tetapi juga mencoba menerjemahkannya ke dalam realitas sosial.
"Sebab, bagaimanapun generalisasi terhadap segala hal yang merupakan inovasi, maka akan menimbulkan masalah, terutama dalam kaitannya dengan kultur kalangan Muslim tradisional Jawa, yang biasa disebut Nahdlatul Ulama," katanya.
Oleh karena itu, menurut Zuhairi Misrawi, dalam mengukur sebuah bid'ah atau inovasi dalam agama harus digunakan tiga parameter.
Pertama, jika inovasi yang dilakukan dalam sebuah perkara lebih dominan dimensi syariatnya, hal itu tidak bisa disebut bid'ah. Jika yang terjadi sebaliknya, yaitu dimensi inovasinya lebih dominan daripada dimensi syariat, hal tersebut merupakan sebuah kebatilan.
Kedua, jika inovasi yang dilakukan dalam sebuah perkara mengacu pada dasar-dasar yang digunakan oleh para ulama salaf yang menegakkan sunnah Nabi Muhammad SAW, hal itu bukanlah kategori bid'ah.
Sebab, apa yang dilakukan para ulama salaf itu merupakan sebuah kebajikan yang bisa dipertanggungjawabkan. Maka, hal tersebut tidak bisa disebut bid'ah.
Bagaimana dengan hal yang tidak dilakukan oleh ulama salaf?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara Imam Malik dan Imam Syafii dalam memahami masalah ini. Menurut Imam Malik, sesuatu yang tidak dilakukan oleh ulama salaf, hal tersebut disebut bid'ah.
"Sedangkan menurut Imam Syafii, hal itu tidak bisa disebut bid'ah sebab barangkali tidak ada konteks-konteks tertentu yang menyebabkan para ulama melakukannya atau tidak ada sesuatu yang lebih utama dari apa yang dilakukan mereka. Sedangkan hukum-hukum sebenarnya ditentukan oleh Allah SWT," ujarnya. (*)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Suzuki Fronx Siap Meluncur di Indonesia, Tawarkan Desain Dinamis dan Teknologi Ramah Lingkungan
Kontes Mobil Mercy Meriahkan Signature Event Benz C@k Suroboyo
Gubernur Khofifah Resmikan SPAM, Warga Singosari Terbebas Krisis Air Bersih Kala Kemarau
Sakralnya Peringatan Hari Waisak 2025 di Maha Vihara Mojokerto
Lagu Tema 7 Kebiasaan Anak Indonesia Karya Siswa Gresik Masuk 30 Besar Nasional
Cegah Aksi Premanisme Lewat Patroli Skala Besar Polres Mojokerto Kota
Perkuat Peran Paralegal Santri, LPBH NU Kota Malang Audiensi dengan Gubernur Jatim
ITB Apresiasi Presiden Prabowo dan Kapolri atas Penangguhan Mahasiswinya
Mahasiswa Tunisia Terpesona Pesona Budaya Nusantara di Zaitunah
7 Jam di BTR Ultra 2025, Taklukkan Medan Ekstrem Gunung Batur