Kisah Perajin Batik Asal Bondowoso Melatih Ibu-Ibu di Pombewe Sulteng

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Batik merupakan warisan dan seni kekayaan asli Nusantara yang sudah turun temurun. Bahkan batik Indonesia atau Indonesian Batik ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh UNESCO pada 3 September 2009 lalu.
Perajin batik yang cukup terkenal berada di pulau Jawa. Di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, juga terdapat banyak pebatik. Salah satu sanggar batik yang cukup terkenal adalah sanggar 'Ijen Batik' di Kecamatan Tamanan.
Advertisement
Pemilik 'Ijen Batik', Andrianto tak hanya menjual karyanya. Tetapi kerap kali berbagi pengetahuan melalui seminar atau workshop kepada sejumlah perajin.
Namun yang terjauh, pria yang akrab disapa Andri ini mempunyai kesempatan berbagi ilmu dengan ibu-ibu di Palu. Tepatnya di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
Dikonfirmasi TIMES Indonesia, Andrianto mengaku memberikan pelatihan selama sepekan. Mulai Sabtu 22-29 Januari 2022 lalu. Pelatihan itu diketahui merupakan program dari kementerian.
Menurut dia, pelatihan itu dalam rangka memberdayakan warga di Desa Pombewe untuk IKM Batik. "Sebab di Palu belum ada sanggar batik, apalagi di Desa Pombewe Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi," kata dia.
Menurut dia, pelatihan di Desa Pombewe berbeda dengan di Pulau Jawa. Di sana benar-benar sederhana dan seadanya. "Kalau di Jawa ada banner di sana tidak ada," imbuh dia saat dikonfirmasi, Jumat (11/2/2022).
Dia menceritakan, Desa Pombewe memang agak jauh dari kota, sehingga tidak memakai banner saat pelatihan. Tetapi antusias warga sangat luar biasa. "Saya sangat kagumi semangat mereka, mungkin karena tidak ada batik," jelas Andri.
Selama ini kata dia, seragam di sana menggunakan tenun dari Donggala. Sementara untuk batik, warga memesan dari pulau Jawa. Mereka sebenarnya memesan batik tulis tetapi ternyata yang dikirim batik printing. Karena warga di sana tidak tahu bedanya.
"Setelah diskusi dengan orang sini, ternyata dikirim yang batik printing. Jadi belum tahu batik tulis dan batik printing yang mana. Setelah dikasih tahu, mereka sadar kalau selama ini yang dipakai itu batik printing," jelas dia.
Ia juga memaparkan, peserta pelatihan lebih pada komunitas. Peserta ada 20 ibu-ibu. "Ternyata setelah pelatihan ada beberapa ibu-ibu dari desa lain yang tertarik untuk ikut," imbuh dia.
Bahkan dia tidak diperbolehkan pulang, tapi karena Andri hanya membawa bahan dan alatnya terbatas dan hanya untuk di Pombewe maka terpaksa pelatihan hanya cukup sepekan. "Jadi kalau memang desa yang lain mau melakukan pelatihan, saya siap untuk ke sini lagi. Termasuk untuk persiapan bahan," jelas Andri.
Para ibu-ibu tersebut tidak tahu bahan untuk membatik. Jadi mereka betul-betul dari nol. Sehingga dalam pelatihan itu lebih pada pelatihan batik dasar dan pembuatan motif. Termasuk batik tulis dan batik cap.
Dalam pelatihan itu, Andri mengusung motif dari potensi yang ada di sana. Salah satunya adalah motif sayur kelor. "Jadi kita buat motif daun kelor," imbuh dia.
Kemudian juga motif Taiganja. Taiganja barang antik kuno yang biasa digunakan untuk lamaran. Taiganja adalah benda yang melambangkan status sosial Suku Kaili dan menjadi mas kawin untuk perempuan. Adapun motif lainnya parang khas Palu, namanya Guma.
Mereka juga diajari pembuatan batik cap. Tetapi dalam teknik pengecapannya menggunakan alat seadanya. "Di sini gak ada wajannya. Jadi meja capnya kita pakai baki, wajannya kita pakai piring makan. Keterbatasan alat bukan sebuah penghalang. Alhamdulillah hasil juga bagus," terang dia.
Adapun untuk hasil batik tulis, lanjut dia, dilihat hasilnya mereka sudah bisa dan hasilnya layak dijual. Nama brand dari karya sanggar tersebut adalah Batik Pombewe Nusantara.
"Mereka diajari desain secara manual di kertas. Saya sarankan untuk mengangkat motif sini. Kelor, Taiganja dan Guma. Kalau umpama sudah berjalan, motifnya akan diajukan untuk hak paten. Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)," terang Andri.
Namun ada kendala dalam pembuatan batik itu. Dimana kondisi geografis jauh dari sumber air. Sementara untuk membatik butuh air untuk mencuci kainnya.
"Jadi kita mencari air jauh banget menggunakan ember, kita bawa ke sana kita cari sungai atau sumber air, sejauh tiga kilometer. Kalau bagi ibu-ibu sini biasa, tapi buat saya luar biasa," kenang dia.
Menurut dia, warga di sana masih sangat mempertahankan budaya dan rata-rata bertani. "Warga sangat ramah kepada tamu. Saya tinggal di rumah warga," imbuh dia.
Andri menjelaskan, potensi batik di Desa Pombewe Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah sangat luar biasa. "Di hari pertama, terdengar asosiasi kepala desa dan pesan 30 potong. Potensi pasarnya luar biasa. Saya ngirim ke Sulawesi juga dari Bondowoso, dan biasanya untuk hantaran orang-orang Bugis," jelasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |