Digitalisasi pada Perbankan Syariah: Siapa Tanggap, Dia Dapat

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di era disrupsi teknologi, dunia industri tidak bisa dilepaskan dari kata ‘digitalisasi’. Pada era ini ekosistem bisnis mengalami perombakan total akibat adanya inovasi. Beragam perubahan pun terjadi dan berputar cepat menuntut kesiapan setiap jenis bisnis, tak terkecuali perbankan syariah (Islamic Banking), untuk beradaptasi dengan digitalisasi bila tidak ingin tergilas oleh waktu dan menjadikannya sebagai window of opportunity.
Digitalisasi di perbankan syariah, baik dalam pola bisnis bank umum syariah (BUS) maupun pola unit usaha syariah (UUS), tentunya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan digitalisasi pula akan memudahkan semua urusan yang diperlukan user atau pengguna layanan dan produk untuk mengakses sehingga diharapkan memacu nilai transaksi dan meningkatnya loyalitas karena terlayaninya kepuasan pelanggan.
Tentu akan menjadi peluang besar bagi bank syariah jika cepat antisipatif dan adaptif terhadap digitalisasi. Tanpa itu akan menjadikan berat dan lambat untuk tumbuh dan berkembang. Pasalnya, perilaku masyarakat akan meninggalkan cara tradisional dan beralih ke digital karena butuh kemudahan dan kecepatan layanan.
Pemerhati ekonomi syariah yang juga Wakil Rektor II Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) Dr Leo Herlambang mengatakan, perbankan syariah harus menyesuaikan tuntutan digitalisasi jika ingin terus berkembang.
“Semua perusahaan, tak terkecuali perbankan syariah, saat ini harus mengikuti perubahan-perubahan yang ada. Yang cepat beradaptasi dengan perkembangan (digitalisasi) akan sustain bagi perusahaannya,” tegas Leo Herlambang kepada TIMES Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurut Leo, digitalisasi menjadi kesempatan besar bagi perbankan syariah untuk terus tumbuh membesar. Apalagi, segmen terbesar bank syariah adalah umat muslim yang dominan di Indonesia. Saat ini diperkirakan umat muslim mencapai jumlah sebanyak 237,56 juta jiwa atau setara dengan 86,7 persen populasi di dalam negeri.
“Dari besarnya potensi pasar itu, digitalisasi pada bank syariah akan masif dan sangat luas pengaruhnya ke masyarakat jika digarap dengan serius,” tandasnya.
Ia menilai proses digitalisasi bank syariah hampir sama dengan bank konvensional -meski secara apple to apple tidak tepat dibanding-bandingkan-, namun demikian porsinya masih dalam kisaran 4-5 persen dan secara teknologi hampir sama.
Digitalisasi juga dinilai Leo sangat memungkinkan untuk mendongkrak pertumbuhan aset perbankan syariah seiring dengan kreativitas dalam menggali ceruk pasar. Apalagi, proses transaksi kini lebih mudah, cepat, dan terjaga dengan standarisasi pembayaran menggunakan metode QR Code dari Bank Indonesia atau QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Di mana masyarakat bisa melakukan pembayaran ke seluruh merchant yang berlogo QRIS melalui aplikasi dari penyelenggara manapun, baik bank dan nonbank.
Leo memberikan contoh efisiensi dan kemudahan transaksi di pusat-pusat perbelanjaan yang sebelum digitalisasi menjadi tuntutan hanya menyediakan mesin pembaca kartu kredit maupun kartu debet seperti EDC (electronic data capture) untuk pembayaran transaksi secara cashless. Namun, sekarang ini tanpa ada alat tersebut masyarakat cukup melakukan transaksi dari genggaman tangan melalui handphone (HP). Hal itu terjadi karena inklusi ekonomi dan keuangan saat ini turut didukung oleh QRIS yang menjadi entry point ke dalam ekosistem digital.
Naiknya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, menurut Leo, menjadikan transaksi ekonomi dan keuangan digital berkembang pesat hingga di tingkat bawah. Pendorong lainnya adalah cepatnya perbankan digital serta luas dan mudahnya sistem pembayaran digital.
“Seorang penjual bakso pun cukup dengan memanfatkan cara digital (QRIS) bisa untuk membeli raw material untuk baksonya,” tandasnya.
Mengutip laman Bank Indonesia (BI), hingga Desember 2022, jumlah pengguna QRIS di Indonesia mencapai 28,75 juta atau bertambah 15,95 juta pengguna dibandingkan pada akhir tahun 2021. Pada 2023 ini layanan QRIS akan diperluas hingga mencapai target 45 juta pengguna dan satu miliar transaksi.
BI pun terus berupaya menumbuhkan ekosistem digital di antaranya dengan mendorong kolaborasi antara bank desa dengan industri, konsolidasi industri sistem pembayaran nasional secara end-to-end, dan tentunya menggenjot digitalisasi perbankan. Apalagi, transaksi ekonomi dan keuangan digital berkembang pesat ditopang oleh naiknya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, luas dan mudahnya sistem pembayaran digital, serta cepatnya perbankan digital.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pernyataannya belum lama ini menargetkan kenaikan 23,9 persen nilai transaksi uang elektronik hingga mencapai Rp 495,2 triliun pada tahun 2023 ini dibandingkan tahun lalu. Demikian juga nilai transaksi digital banking diproyeksikan pada 2023 tumbuh hingga 22,13 persen mencapai Rp 64.175,1 triliun.
Perbankan Syariah Menangkap Peluang Digitalisasi
Pesatnya dampak ‘digitalisasi’ dan besarnya potensi pasar menjadi peluang perbankan syariah dalam meningkatkan kinerjanya. Meski saat ini relatif masih tertinggal dari bank konvensional, perbankan syariah sudah mulai mengejar ketertinggalannya dengan membangun berbagai infrastruktur, meningkatkan keandalan sumber daya yang dimiliki, serta menyediakan produk dan layanan yang komprehensif dan variatif.
Namun demikian, perbankan syariah saat ini masih butuh usaha super ekstra dan aksi korporasi yang agresif untuk terus mendongkrak kinerjanya agar dapat bersaing.
Di lain sisi, kinerja perbankan syariah di dalam negeri, baik dalam pola bisnis BUS dan UUS, dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan meski pangsa pasar (market share) berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru mencapai 7,09 persen per Desember 2022.
Dari persentase pasar itu, OJK merinci 66,14 persen dikuasai 13 BUS, disusul 20 UUS dengan pangsa 31,39 persen, dan 2,47 persen dikuasai 167 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
OJK juga mencatat kinerja keuangan perbankan syariah hingga akhir tahun lalu menunjukkan pertumbuhan cukup signifikan bahkan mengalahkan pertumbuhan bank konvensional pada periode sama.
Per Desember 2022, aset perbankan syariah naik 15,63 persen atau mencapai Rp 782.100 triliun secara tahunan (year-on-year/yoy). Kemudian dana pihak ketiga (DPK) meningkat 12,93 persen (yoy) menjadi Rp 606.063 triliun, dan pembiayaan syariah juga naik 20,44 persen (yoy) menjadi sebesar Rp 491.489 triliun.
Sementara pertumbuhan aset pada bank konvensional tercatat hanya mencapai 9,42 persen (yoy), pembiayaan 10,6 persen (yoy), dan DPK mencapai 8,58 persen.
Kinerja kinclong perbankan syariah tersebut tentu berkorelasi positif atas upayanya mengubah total dan cepatnya beradaptasi cara berinteraksi serta bertransaksi dengan nasabah secara digital. Karena itu, untuk terus mendukung positifnya kinerja di masa mendatang, infrastruktur platform digital sebagai ujung tombak distribusi utama bagi semua lini layanan dan produk harus terus dilengkapi oleh perbankan syariah. .
Terkait kesiapan menangkap peluang digitalisasi ini, Leo Herlambang menyarankan perbankan syariah harus menguatkan dari sisi teknologi untuk penggunaan data-data analitik sebagai sesuatu yang berharga. Pasalnya, kemampuan dalam menggali data (data maining) menjadi sesuatu yang penting karena di situlah ceruk-ceruk mana yang akan diambil.
Karena itu, ekosistem digital harus dibentuk untuk mendapatkan data dan pelanggan. Pembentukan ekosistem ini bisa dibuat sehingga orang cenderung memakai produk bank yang ditawarkan. Ekosistem ini bisa dibuat dengan cara bermitra atau berkolaborasi, misalnya dengan cara intermediaris company yang bisa membantu mempercepat proses itu. Kolaborasi ini bisa dipakai sekaligus untuk solusi bagi BUS dan UUS yang terkendala permodalan untuk ditingkatkan kapabilitas infrastrukturnya ke arah digitalisasi.
Optimisme untuk mereguk ceruk pasar ekonomi digital di Indonesia juga cukup terbuka lebar bagi perbankan syariah, mengingat ekonomi digital diprediksi tumbuh setiap tahun sebesar 19 persen hingga 2025 mendatang dengan total nilai sebesar USD 130 miliar. Pada 2030 jumlahnya diperkirakan akan berada pada kisaran USD 220 miliar- USD 360 miliar.
Peluang semakin terbuka karena adanya dukungan tingkat literasi dan tingkat inklusi di dalam negeri yang indeksnya semakin naik. Di mana hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Sedangkan indeks literasi keuangan dan inklusi keungan pada SNLIK 2019 hasilnya masing-masing 38,03 persen dan 76,19 persen.
Kesempatan perbankan syariah untuk tumbuh berkembang bertambah besar karena OJK menegaskan akan terus mendorong penguatan posisi industri perbankan syariah di tengah persaingan perbankan melalui penerbitan berbagai ketentuan akselerasi transformasi digital disertai dengan sinergi perbankan.
Banyaknya peluang yang bisa dimanfaatkan tersebut tidak tertutup kemungkinan industri perbankan syariah ke depannya bisa menjadi bagian dari perekonomian mainstream di Tanah Air. Namun, semua peluang atau kesempatan itu bisa terwujud apabila para pelaku perbankan syariah menjadikannya digitalisasi sebagai window of opportunity dalam mengembangkan bisnisnya mengikuti perkembangan zaman. Ibarat pepatah: siapa tanggap, dia dapat. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |