Ekonomi

Ketua Umum GAPKI Tampik Sawit Bisa Merusak Lingkungan

Kamis, 10 Agustus 2023 - 16:03 | 89.94k
Ketua Umum Gapki, Eddy Martoni saat menjadi pemateri dalam seminar yang diadakan  oleh IKA UB, Kamis (10/8/2023). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Ketua Umum Gapki, Eddy Martoni saat menjadi pemateri dalam seminar yang diadakan oleh IKA UB, Kamis (10/8/2023). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menjadi pemateri dalam Seminar bertajuk Peluang dan Tantangan Sawit Sebagai Industri Strategis Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi, Kamis (10/8/2023) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB).

Eddy Martono mengatakan, mulanya sawit adalah tanaman hutan yang ada di Afrika, yang  kemudian dibawa oleh Eropa ke Indonesia. Masuknya sawit dan dijadikan sebagai komersial sudah mulai dari sebelum Indonesia merdeka, yang ditempatkan di Sumatera tepatnya di Sumatera Utara dan Aceh.

Advertisement

Dan saat ini, lanjut dia, dunia barat mulai menggaungkan bahwa sawit menyerap banyak air dalam kandungan tanah, sehingga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

"Kalau memang sawit itu menyebabkan kerusakan lingkungan tentu seharusnya saat ini Sumatera Utara itu sudah menjadi tanah yang tandus, tetapi pada kenyataannya hingga saat ini Sumatera Utara tetap menjadi produsen sawit terbesar dunia setelah Riau," ucap dalam seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Brawijaya (IKA UB).

Dia pun memberikan perbandingan sawit dengan tanaman minyak lain yang biasa dipakai sebagai minyak nabati  yang bersifat musiman seperti kedelai, jagung, dan lainya. "Dari keseluruhan tanaman tersebut,  dia menyebut bahwa Sawitlah yang bisa menyerap CO dua, dan punya produktivitas yang stabil dan efektif, tapi mengapa yang digaungkan justru sawit yang merusak lingkungan," imbuhnya.

Dia melanjutkan, saat ini jumlah penduduk di bumi sekitar 8 miliar jiwa. Dalam beberapa penelitian, ada yang menyebut bahwa daya tampung bumi hanya sekitar miliar jiwa, namun ada juga yang menyebut mencapai 9 miliar. Berhubungan dengan itu, dengan bertambahnya jumlah penduduk maka muncul pula persaingan ketahanan pangan dan energi dari seluruh dunia.

"Perlu saya sampaikan, setiap tahun, dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, maka kebutuhan minyak nabati dunia naik sebanyak 5 juta ton. Artinya apa, selama ada manusia di bumi ini, mereka membutuhkan minyak nabati, nah sekarang tinggal siapa yang akan memanfaatkan hal tersebut, apakah sawit apa minyak nabati yang lain. Dari sinilah akhirnya muncul perang dagang, mereka akan berusaha untuk memanfaatkan hal tersebut dengan berbagai cara," kata dia.

Eddy memaparkan sebuah data,  penggunaan lahan sawit dunia ini terbilang kecil dibanding komoditas lain.  "Penggunan lahan sawit dunua saat ini sekitar 24 juta hektar,  sedangkan kedelai mencapai 100 juta hektar lebih," terangnya.

Padahal, apabila dilihat dari segi produktivitas, sawit jauh lebih unggul dibandingkan dengan komoditas seperti kedelai. Produktifitas sawit mencapai 2 ton perhektar bertahun. Komoditi lainnya tentu berada di bawah sawit, seperti  kedelai hanya 500 kilo perhektar per tahun," terangnya.

Beberapa keunggulan lain dari sawit, lanjut Eddy, yakni  sawit sangat cocok dan unggul untuk digunakan sebagai bahan industri di berbagai produk. Baik makanan, produk  kecantikan, dan lainya.

Sehingga dia menegaskan bahwa isu global terkait dengan sawit yang dapat merusak lingkungan tersebut tidaklah benar. Ada kepentingan besar yang  berupaya untuk menjatuhkan sawit sebagai sumber minyak yang strategis,  agar minyak nabati yang diproduksi barat tidak terkalahkan.

Selain itu, dia menyebut bahwa sawit juga menjadi sebuah peluang kerja besar di Indonesia.  "Dalam data yang ada, saat ini industri sawit bisa menyerap pekerja hingga 16 juta jiwa," kata Eddy. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES