Peringatan Ekonom: Deflasi RI di Libur Panjang Bisa Berbahaya

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan jika Indonesia mengalami deflasi pada musim liburan panjang merupakan sinyal bahaya bagi perekonomian.
Biasanya, di dalam momen-momen musiman seperti Lebaran, Natal, dan Tahun Baru, masyarakat memiliki kultur yang kuat dalam meningkatkan permintaan (demand).
Advertisement
“(Kalau) musim liburan panjang malah terjadi deflasi, itu malah sangat mengkhawatirkan karena itu momen yang biasanya justru masyarakat Indonesia yang tradisinya sangat kuat, kulturnya sangat beragam dan kuat, tapi malah justru menurunkan demand atau permintaan pada saat musim-musim tersebut. Nah, itu justru malah menjadi sinyal yang bahaya bagi perekonomian,” ungkapnya kepada Antara, Jakarta, Jumat (14/3/2025).
Dalam ilmu ekonomi, lanjut dia, penyebab deflasi biasanya karena permintaan yang melemah. Artinya, kendati para pedagang menurunkan harga, tetapi konsumen tetap tak meningkatkan belanja karena ada masalah dalam kemampuan daya beli mereka.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa deflasi yang terjadi secara berturut-turut hingga beberapa bulan itu mengkhawatirkan karena merepresentasikan penurunan minat belanja masyarakat seiring pendapatan mereka tergerus.
“Jadi, memang deflasi kalau terjadi berturut-turut menjadi indikator pelemahan daya beli masyarakat,” kata Eko.
Menurut dia, deflasi tak bisa dianggap sebagai suatu prestasi. Hal ini mengingat deflasi yang berlarut-larut biasanya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi negara tertentu.
Secara empirik, ucapnya, mengatasi deflasi itu lebih rumit daripada menangani inflasi.
Jika mengatasi inflasi, berarti masih ada permintaan yang kuat, tinggal bagaimana menambah persediaan, memperbaiki distribusi, dan menjaga harga tetap stabil.
Namun, kalau deflasi itu bersumber dari pendapatan yang mengalami penurunan atau tidak naik, sehingga cara memperbaiki keadaan tersebut harus membuat penghasilan meningkat terlebih dahulu dan menyediakan lapangan pekerjaan, lalu kesejahteraan meningkat, baru deflasi bisa teratasi.
“Jadi, bukan prestasi ya deflasi itu,” ujar Ekonom Indef tersebut.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi tahunan yang tercatat sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) pada Februari 2025. Kategori merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.
Deflasi pada Februari 2025 sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pemakaian Januari dan Februari 2025 bagi pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan daya listrik 2.200 volt ampere (VA) atau lebih rendah yang termasuk dalam komponen harga diatur pemerintah.
Komponen harga diatur pemerintah mengalami deflasi sebesar 9,02 persen yoy, sehingga memberikan andil atau kontribusi terhadap nilai deflasi tahunan sebesar 1,77 persen. Adapun dua komponen lainnya, yakni komponen inti dan komponen bergejolak (volatile), masih mengalami inflasi secara tahunan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Sholihin Nur |