KSSK Klaim Stabilitas Keuangan Q1 Terjaga dan Tingkatkan Kewaspadaan Perang Dagang di Q2

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mengungkapkan kuartal pertama tahun 2025, stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga, meskipun sedang bergelut dengan ketidakpastian global yang kian menguat.
Anggota KSSK sekaligus Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala KSSK, Kamis (24/4/2025), menyatakan bahwa fenomena ini bermula dari gerakan kebijakan tarif oleh pemerintah Amerika Serikat yang menyulut peningkatan tensi dalam perang dagang internasional.
Advertisement
Sri Mulyani mempertegas bahwa risiko pelemahan ekonomi—juga dikenal sebagai downside risk— masih tinggi di awal kuartal kedua 2025. Keadaan ini menuntut pemantauan yang teliti dan persiapan kesiapsiagaan yang matang untuk menghadapi masa yang akan datang.
KSSK yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, ini telah melaksanakan pertemuan KSSK yang strategis untuk kali kedua di tahun 2025 pada tanggal 17 April 2025.
“Dalam pertemuan itu, KSSK menyetujui peningkatan kewaspadaan serta membentuk hubungan koordinatif yang lebih kuat antar-lembaga. Tujuan mereka adalah meredamkan kemungkinan efek domino yang dapat ditimbulkan oleh risiko global, serta memperkokoh ekonomi dan sektor keuangan domestik,” ujar Sri Mulyani.
Ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama diwarnai oleh keragu-raguan yang dikatalisasi oleh langkah-langkah baru dalam regulasi tarif impor AS. Langkah ini bukan hanya menyulut perang tarif, tapi juga diprediksi memberi efek samping yang mungkin tak menguntungkan bagi perkembangan ekonomi, tak terkecuali bagi dua raksasa dunia; AS dan China, maupun kancah global secara keseluruhan.
“Posisi ini telah memicu tren penghindaran risiko di kalangan pengusaha dan pemilik modal, yang berujung pada penurunan nilai imbal hasil obligasi AS dan melemahnya indeks mata uang dolar AS, sambil di sisi lain menghadapi kemungkinan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve,” ujarnya.
Sri Mulyani menambahkan, telah terjadi suatu perpindahan modal global, dengan aliran dana mengalir ke negara-negara dan aset yang dianggap sebagai safe haven, termasuk aset keuangan di Eropa, Jepang, dan komoditas berupa emas. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk pasar modal Indonesia, mengalami turbulensi yang mendorong depresiasi mata uang seperti rupiah.
KSSK Sepakat Tingkatkan Waspada Q2-2025
Sri Mulyani mengungkapkan, KSSK juga secara bulat mengambil langkah proaktif untuk mempertegas kesiapsiagaan dan sinergi antarlembaga. Langkah progresif ini diambil dengan tujuan yang jelas: untuk mengurangi risiko yang dapat ditularkan dari fluktuasi pasar keuangan internasional.
Ia menegaskan bahwa fondasi keuangan Indonesia tetap solid dan tidak tergoyahkan meski dibayang-bayangi oleh peningkatan ketidakpastian akibat politik tarif dari Amerika Serikat yang menumbuhkan ketegangan dalam hubungan dagang internasional.
"Kita berada pada lintasan yang membutuhkan kewaspadaan ekstra dan tindakan yang terkoordinasi. Ini tidak hanya untuk menghadapi kemungkinan ancaman penurunan ekonomi yang nampak di kuartal kedua tahun ini, melainkan juga untuk memperkuat struktur ekonomi dan sektoral kita dari dalam," jelasnya.
Lebih lanjut, kebijakan-kebijakan baru Amerika Serikat berkenaan dengan tarif impor telah membangkitkan gelombang keresahan dalam perekonomian global, memicu ketidakstabilan pasar dan menyulut api perang tarif, yang mana memiliki potensi membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan ekonomi Amerika Serikat, China, serta ekonomi dunia secara keseluruhan.
Dampak dari ketidakpastian ini merebak cepat, melemahkan niatan berinvestasi dan mendorong penurunan nilai dari obligasi pemerintah AS, sekaligus menggerus kekuatan dolar. Ini terjadi paralel dengan antisipasi investor terhadap kecenderungan Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga acuan di masa yang akan datang.
Tak ketinggalan, Sri Mulyani menyoroti tren pergeseran modal dunia yang kini cenderung hijrah dari Amerika menuju aset-aset yang dirasa lebih stabil, seperti keuangan di Eropa dan Jepang serta emas sebagai komoditas bernilai tinggi.
Sayangnya, arus ini mengakibatkan hilir mudik modal yang menekan mata uang di negara-negara berkembang, termasuk rupiah, membebani mereka dengan tantangan finansial tambahan dalam cengkeraman ketidakpastian global. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |