Bikin Bromo Luluh, Sal Priadi Tutup Jazz Gunung 2025 Alunan Doa dan Cinta

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Dingin mencapai 11 derajat Celsius jelang tengah malam, kabut menggulung, udara tipis menusuk, tapi tak satu pun dari ratusan penonton bergeming dari tempat duduk Jazz Gunung Bromo 2025.
Bahkan ketika malam mulai larut di Desa Wonokerto, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, mereka tetap bertahan. Sebab malam itu, nama besar yang ditunggu akhirnya muncul di panggung: Sal Priadi.
Advertisement
Berlatar lampu kuning lembut dan panggung terbuka yang dikelilingi siluet pegunungan Tengger, Sal menutup Jazz Gunung Bromo 2025 Seri II dengan gaya yang sepenuhnya “Sal Priadi”—minimalis, puitis, dan penuh rasa. Tidak ada teriakan. Tidak ada gimmick. Hanya lirik, melodi, dan alunan lagu yang menyusup ke pori-pori, di Sabtu (26/7/2025).
Cinta, Doa, dan Dingin Bromo
Begitu Sal mengucapkan sapaan pertamanya, suasana langsung berubah. Dari festival menjadi ruang dengar. Dari konser menjadi perenungan. Dan dari keramaian menjadi keintiman.
Penampilan awal Sal dengan “Di Planet Lain”, lagu yang mengajak semua orang untuk sejenak meninggalkan bumi. Sementara kabut turun perlahan, nada-nada lembut dari iringan band mengisi celah-celah kesunyian malam. Dilanjutkan dengan “Nyala” dan “Zuzuzaza” yang dibawakan dengan aransemen segar, namun tetap menjaga roh Sal yang khas: jujur dan melankolis.
Di baris depan, penonton mulai menyandarkan kepala ke bahu pasangannya. Di baris tengah, terlihat seorang bapak tua menutup mata, menggenggam tangan istrinya. Di baris belakang, anak-anak muda duduk berselimut sekalian merekam moment dengan ponsel.
Jazz Gunung malam ini bukan hanya pertunjukan musik, tapi jadi ruang perasaan. Dan Sal tahu persis cara membangunnya perasaan ini.
Doa Bersama Sal Priadi
Salah satu momen paling menggetarkan adalah saat Sal membawakan “Kita Usahakan Rumah Itu”. Lagu ini tak hanya berbicara tentang rumah sebagai bangunan, tapi rumah sebagai tempat pulang bagi perasaan yang tak selalu mendapat tempat. Dan di panggung yang menyatu dengan alam Bromo, lagu ini seperti menemukan artinya yang baru.
Sebelum masuk ke bagian reff, Sal berhenti sejenak. Ia menatap penonton, lalu berkata pelan:
“Mari doakan itu terwujud.”
Kalimat itu dilemparkan ke langit malam, ke gunung yang membisu, dan ke hati para penonton yang sedang menyimpan banyak hal.
Kalimat sederhana, tapi mampu membuat banyak mata berkaca. Bagi yang sedang jatuh cinta, sedang berjuang menjaga hubungan, atau bahkan sedang sendiri—lagu itu menjadi pelukan yang hangat.
Jazz Gunung, dan Lagu yang Tak Terburu-Buru
Jazz Gunung Bromo 2025 Seri II menghadirkan nama-nama istimewa tahun ini: Lorjhu’ yang cadas dari Madura, Rouge dari Prancis yang meditatif, Bromo Jazz Camp yang enerjik, Monita Tahalea yang halus, hingga Tohpati Ethnomission yang eksploratif.
Namun Sal Priadi menjadi penutup yang paling pas. Di tengah lineup yang kaya dengan improvisasi dan eksplorasi musikal, Sal tampil dengan pendekatan paling sederhana tapi paling terasa. Lagu-lagunya seperti percakapan. Ia tak berteriak, tak membujuk—hanya mengajak.
Setelah “Besok Kita Pergi Makan” yang menyenangkan dengan kisah cinta sederhana ala Sal, penampilan ditutup dengan “Gala Bunga Matahari”—lagu yang membiarkan semua perasaan mengendap perlahan. Tak ada puncak. Tak ada ledakan. Yang ada hanyalah hening setelahnya.
Penonton Lintas Usia, tapi Perasaannya Sama
Salah satu ciri khas Jazz Gunung adalah penontonnya yang lintas generasi. Dan malam itu, dari balita yang digendong, remaja yang sedang jatuh cinta, pasangan muda yang saling menggenggam, hingga orang tua yang datang mengenang masa muda, semuanya menyimak dengan rasa yang sama.
“Anakku umur tujuh tahun sampai diam, padahal biasanya dia bosan kalau konser,” kata seorang ibu dari Pasuruan.
“Sal ini bukan cuma penyanyi. Dia kayak pembaca isi hati,” timpal penonton lain yang datang dari Jakarta.
Dan memang, malam itu Sal tidak menyanyikan lagu—ia menyanyikan hidup.
Tak Hanya Dingin, Tapi Bromo Juga Hangat
Bromo dikenal sebagai tempat yang membekukan. Tapi malam itu, justru lagu-lagu Sal yang menjadi penghangat. Ia tidak datang membawa panas, tapi cahaya. Dan bagi penonton Jazz Gunung 2025, itulah yang dibutuhkan: bukan teriakan, bukan koreografi, bukan ledakan beat—tapi kehadiran yang tulus.
Ketika penampilan usai, tepuk tangan tak langsung meledak. Ada jeda. Ada diam. Ada rasa enggan untuk kembali ke dunia nyata.
Jazz Gunung Tak Pernah Sama, Tapi Selalu Punya Rasa
Penampilan Sal Priadi di Jazz Gunung 2025 adalah bukti bahwa festival ini bukan tentang genre, tapi tentang pengalaman. Tentang memberi ruang pada musik yang punya niat. Tentang menyatukan alam, lirik, dan pendengar dalam harmoni yang tak bisa dijelaskan.
Dan di panggung terbuka Jiwa Jawa, di bawah langit Probolinggo yang dingin dan sunyi, Sal Priadi menutup festival dengan cara paling manusiawi: perlahan, jujur, dan hangat.
TIMES Indonesia sebagai bagian Official Media Partner Jazz Gunung 2025 Seri II, bangga bisa jadi saksi malam ketika musik tak hanya didengar, tapi juga dirasakan—dalam-dalam, dan pelan-pelan.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |