Gaya Hidup

Siami, Perajin Tenun Terakhir Suku Osing Banyuwangi

Senin, 09 September 2024 - 21:32 | 62.54k
Siami, seorang perajin tenun dari Suku Osing di Banyuwangi. (Foto: Muhamad Ikromil Aufa/TIMES Indonesia).
Siami, seorang perajin tenun dari Suku Osing di Banyuwangi. (Foto: Muhamad Ikromil Aufa/TIMES Indonesia).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di tengah derasnya arus modernisasi yang terus menggulung tradisi lokal, Siami, seorang perajin tenun dari Suku Osing, berdiri kokoh mempertahankan warisan budaya leluhurnya di Banyuwangi. Sebagai perajin tenun terakhir yang aktif, Siami memegang peran penting dalam menjaga keberlanjutan tenun Osing yang kian langka di masa kini.

Siami, yang kini berusia 74 tahun, telah menekuni seni tenun sejak masa mudanya. Dengan dedikasi yang tak tergoyahkan, ia adalah salah satu dari sedikit orang yang masih menguasai teknik dan motif tradisional tenun Osing, yang terkenal dengan keindahan dan keunikannya. Seluruh proses pembuatan kain dilakukan menggunakan alat tenun warisan dari orang tuanya, menjadikannya semakin berharga.

Advertisement

"Saat ini, banyak generasi muda yang lebih tertarik dengan pekerjaan di luar kerajinan tenun. Saya merasa penting untuk terus melestarikan teknik ini agar tidak punah," ujar Siami dengan penuh semangat, Senin, (09/09/2024).

Meski proses tenun membutuhkan ketelitian dan waktu yang lama, bagi Siami, kepuasan yang didapat dari menghasilkan kain berkualitas dan penuh makna adalah segalanya. Namun, Siami juga sadar bahwa tantangan besar menanti. Banyak generasi muda yang lebih memilih pekerjaan yang menawarkan stabilitas ekonomi lebih baik, sehingga minat untuk melanjutkan kerajinan ini semakin menurun.

perajin-tenun-2.jpgBupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani saat mengunjungi siami.  (Foto: Muhamad Ikromil Aufa/TIMES Indonesia).

Tidak berhenti pada dirinya sendiri, Siami pun berusaha mewariskan keterampilan tenun Osing kepada keluarga dan generasi muda. Namun, keterbatasan bahan baku menjadi kendala besar. "Benang sutra yang saya pakai biasanya beli online di daerah Lombok. Di Banyuwangi sebenarnya ada, tapi warnanya kurang lengkap," ungkapnya.

Kendati demikian, upaya pelestarian warisan budaya ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah. Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, turut memberikan dukungan terhadap tenun Osing. Ia melihat potensi besar kerajinan ini sebagai bagian dari upaya mempertahankan kekayaan budaya lokal.

"Kami meminta dinas terkait untuk melakukan pelatihan-pelatihan berdasarkan ilmu yang dimiliki mbah Siami ini. Mungkin nanti mbah Siami juga bisa kita jadikan mentor terkait dengan pelatihan menenun ini," ujar Ipuk saat mengunjungi Siami dalam acara Bupati Ngantor di Desa (Bunga Desa).

Proses pembuatan kain tenun Osing tidaklah mudah. Untuk menghasilkan kain dengan ukuran 300 x 60 cm, Siami membutuhkan waktu hingga 30 hari. Dengan menggunakan sekitar 670 helai benang, kain yang dihasilkannya dijual dengan harga bervariasi, mulai dari 2 juta hingga 4 juta rupiah, tergantung pada tingkat kesulitan motif yang digunakan.

Siami tidak hanya mempertahankan teknik tradisional tenun, namun juga mengirimkan pesan bahwa setiap tradisi memiliki nilai yang tidak ternilai dan layak untuk diteruskan. Di tengah perubahan zaman, Siami dan tenun Osingnya menjadi simbol keberlanjutan budaya yang tak ternilai harganya.

Melalui tangan Siami, warisan budaya Suku Osing tetap hidup, meskipun dunia terus berubah dengan cepat. Tradisi tenun ini, bagi Siami, adalah lebih dari sekadar kain—ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang harus dipertahankan.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES