Gaya Hidup

Tritunggal, Simfoni Kasih dari Surga untuk Dunia

Minggu, 15 Juni 2025 - 07:07 | 15.57k
Ilustrasi
Ilustrasi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Setiap agama dan kebijaksanaan spiritual memiliki caranya masing-masing dalam merayakan misterinya. Semisal, misteri asal-usul semesta, relasi manusia dengan Yang Ilahi, atau tujuan akhir hidup ini. 

Dalam iman Kristiani, hari ini kita merayakan salah satu misteri terdalam yang disebut sebagai Tritunggal Mahakudus. Sebuah gambaran tentang Allah yang esa namun hidup dalam tiga pribadi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Advertisement

Namun perayaan ini bukan sekadar pernyataan doktrinal bagi umat Kristen. Ia membawa pesan universal tentang relasi, kasih, dan kehidupan. Dan dalam dunia yang makin terpecah oleh polarisasi, keegoisan, dan krisis makna, kita semua bisa belajar dari simfoni kasih yang terkandung di dalamnya. Apa pun latarnya. Apakah itu latar agama, budaya, atau nilai kita.

Hikmat yang Ada sebelum Segala Sesuatu

Dalam bacaan pertama dari Kitab Amsal (8:22–31), kita mendengar suara Hikmat yang berkata bahwa ia telah hadir sebelum bumi dijadikan. “Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya.” 

Hikmat di sini bukan sekadar kebijaksanaan abstrak. Ia hadir sebagai pribadi yang ikut bersuka cita dalam proses penciptaan.

Dalam pandangan iman Kristiani, hikmat itu dipahami sebagai Sang Putra, Sang Sabda, yang sudah bersama Bapa sebelum segala sesuatu ada. Di sinilah kita disapa oleh kebenaran mendalam: bahwa segala ciptaan berasal dari kasih, bukan dari kekacauan. 

Dunia bukan hasil kecelakaan kosmis. Namun lahir dari relasi yang penuh sukacita antara Pencipta dan Hikmat-Nya.

Gambaran ini sejalan dengan banyak tradisi spiritual yang mengakui adanya “Kata Awal”, “Sabda Ilahi”, atau “Titik Kesadaran Tertinggi” yang menjadi sumber dari segala yang ada. Di dalam hikmat purba itu, kita menemukan benih cinta yang melahirkan dunia.

Putra yang Datang Membawa Damai

Bacaan kedua dari Surat Roma (5:1–5) membawa kita pada realitas dunia yang rusak oleh ketegangan, ketidakadilan, dan luka sejarah. Dalam situasi seperti ini, damai bukanlah sesuatu yang murah. Ia harus ditebus. 

Dan dalam tradisi Kristiani, damai itu datang melalui Yesus Kristus, Sang Putra yang turun ke dunia, menjadi manusia, dan membawa pengampunan serta pendamaian.

Melalui hidup, wafat, dan kebangkitan-Nya, Yesus mengulurkan tangan kepada umat manusia dan menyatakan: “Kamu dikasihi. Kamu layak dipulihkan.”

Ini bukan hanya kabar bagi umat Kristen, tetapi panggilan universal bagi siapa pun yang merindukan rekonsiliasi. Baik dengan sesama, dengan diri sendiri, maupun dengan Yang Ilahi.

Setiap jalan spiritual sejati mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang merasa damai, tetapi tentang mendamaikan. Melalui Putra, kasih Ilahi menjelma dalam tindakan nyata: memeluk yang terpinggirkan, mengampuni yang menyakiti, dan memulihkan yang hancur.

Roh yang Menyentuh Hati

Yesus tidak berhenti sampai di sana. Dalam Injil Yohanes (16:12–15), Ia berjanji akan mengutus Roh Kebenaran yang akan membimbing, mengingatkan, dan menyertai manusia. Roh Kudus inilah yang menjadi napas hidup dari kasih Tritunggal, yang terus mengalir hingga hari ini.

Roh Kudus bukanlah sekadar simbol agama, tetapi bisa kita kenali sebagai energi kasih, suara nurani, dan gerak hati yang membawa kita menuju kebenaran dan kebaikan. 

Di tengah dunia yang penuh kebisingan, Roh hadir dalam keheningan batin. Di tengah kebingungan, Roh menjadi cahaya yang membimbing. Di tengah perpecahan, Roh mendorong untuk bersatu dalam kasih.

Rasul Paulus mengatakan, “Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus.” Itulah mengapa setiap orang yang terbuka pada kasih — siapa pun dia, apa pun imannya — sebenarnya sedang disentuh oleh Roh yang sama.

Kasih yang Menyatukan

Apa makna semua ini bagi kita hari ini?

Tritunggal Mahakudus adalah undangan untuk melihat kasih sebagai inti dari segala hal.

• Bapa adalah sumber kasih,

• Putra adalah wujud kasih,

• Roh Kudus adalah aliran kasih.

Ketiganya tidak terpisah, tetapi bersatu dalam relasi yang saling memberi, saling mengasihi, dan saling hadir. Dan kasih itu tidak tinggal diam di surga. 

Ia turun ke dunia. Ia masuk ke dalam relasi manusia. Ia menyentuh keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan seluruh ciptaan.

Di tengah dunia yang rentan akan polarisasi—agama melawan agama, budaya melawan budaya—pesan Tritunggal Mahakudus mengajak kita untuk melihat yang berbeda bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai undangan untuk membangun relasi. Kasih tidak mengenal batas keyakinan, ras, bahasa, atau status sosial.

Menjadi Cermin Tritunggal

Kita tidak bisa memahami sepenuhnya misteri Tritunggal. Tapi kita bisa menghidupinya. Caranya sederhana namun radikal: saling mengasihi. Ketika dua orang saling mengasihi tanpa pamrih, tanpa syarat, dan tanpa batas, di sanalah kasih Tritunggal hadir. Di sanalah Tuhan diam.

Apa pun iman kita, kita dipanggil untuk menjadi cermin dari kasih yang ilahi. Dunia tidak butuh lebih banyak dogma, tetapi lebih banyak cinta. Dunia tidak butuh lebih banyak perdebatan, tetapi lebih banyak empati dan keadilan.

Tritunggal Mahakudus bukan hanya doktrin Kristen. Ia adalah cara hidup — hidup dalam kasih, dalam relasi, dan dalam roh yang menyatukan. Mari kita buka hati, dan izinkan kasih itu mengalir dari kita kepada dunia — seperti simfoni kasih dari surga yang terus berkumandang dalam hidup kita. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES