LBH GP Ansor DIY Laporkan Pengurus KPTI, Ini Latar Belakang Masalahnya

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sejak Juli 2022, LBH GP Ansor DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) telah menerima pengaduan akan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana yang melibatkan sebuah lembaga pengembangan usaha di bidang property yaitu KPTI (Koperasi Property Today Indonesia).
Diduga, legalitas KPTI ternyata sampai dengan saat ini belum mempunyai ijin operasional dari Dinas Koperasi Kabupaten, Provinsi atau pun Kementerian Koperasi. Sehingga, LBH GP Anshor DIY menduga bahwa KPTI telah melakukan praktik usaha yang illegal dalam urusan usaha jual beli property melalui jual beli tanah kavling.
Advertisement
“Jadi, patut diduga aktivitas jual beli property melalui jual beli tanah kavling cacat secara hukum. Ada banyak konsumen yang telah dirugikan terutama yang telah mengadukan permasalahan hukum melalui LBH PW GP Ansor DIY,” kata Sekretaris LBH PW GP Anshor DIY, Teguh RM kepada wartawan saat di Mapolda DIY, Sabtu (23/9/2023).
Atas dugaan penipuan atau penggelapan atas kerja sama tersebut, LBH PW GP Anshor DIY bersama tiga korban penipuan jual beli tanah kavling melaporkan pengurus KPTI ke Mapolda DIY, Sabtu (23/9/2023). Para korban mengklaim, pihaknya mengalami kerugian hingga Rp300 juta.
Teguh meneritakan, awal mulanya KPTI menjual tanah kavling melalui media sosial (Facebook). Para korban pun tergiur dengan iklan tersebut sehingga mereka melakukan pembayaran DP cukup tinggi yakni rata-rata 80- persen.
Seorang korban bernama Albert mengatakan, bahwa dirinya tergiur penawaran tersebut yaitu pada November 2019. Kala itu, ada tawaran dari laman facebooknya, bahwa ada tanah kavling di wilayah Cebongan dengan harga terbilang terjangkau. Lalu, tanpa pikir panjang ia akhirnya langsung membelinya dengan mentransfer ke pelaku senilai Rp290 juta.
“Mulanya disitu (tahun 2019), waktu itu sih ya saya tergiur karena pas saya lihat prospeknya cukup bagus apalagi mau ada jalan tol atau semacamnya, makanya saya beli di sana.Kemudian saya dijanjikan 1 tahun untuk pecah sertifikat, balik nama, kemudian saya bayar sebesar 290 juta rupiah dari harga 400. Namun selama 1 tahun ternyata tanah itu masih tidak jelas (termasuk tidak ada proses pengeringan), bahkan diketahui tanahnya sampai sekarang masih terbengkalai,” beber Albert.
Albert mengaku menyesal karena tidak sempat berkonsultasi dengan instansi terkait perihal model penjualan tanah kavling tersebut. Kala itu, dirinya langsung percaya karena lokasi yang menangani tanah tersebut (KTPI) terdapat kantornya bahkan memiliki notaris.
“Harapannya, ya kalau pun memang tanahnya tidak bisa saya miliki, harusnya uang saya dikembalikan. Niatnya kan saya dari Jakarta ingin pulang ke Jogja makanya beli tanah kavling buat persiapan bangun rumah malah sayanya jadi kena tipu,” imbuh Albert.
Senada disampaikan korban lain yaitu Intan. Ia menceritakan, awalnya ia tergiur dengan postingan di laman facebook pada 2020. Dalam postingan tersebut, ada tawaran tanah kavling yang berada di wilayah Sendangadi Cebongan, Kabupaten Sleman.
Selang beberapa hari, ia langsung cek lokasi dan melakukan pembayaran sebesar Rp275 juta dan dapat dicicil 17 juta per-bulan.
Ia mengaku percaya karena perusahaan KTPI memiliki kantor yang berlokasi di Jalan Matematika Condongcatur di facebook, yang menawarkan di wilayah Sendangadi Cebongan itu. Kemudian, dirinya melihat ke lokasi tanah kavling tersebut untuk survei.
“Kalau dilihat kayaknya waktu itu (tanah) sangat prospek, bagus, langsung deh kita hubungi marketing yang pasang iklan itu. Kita ke kantornya. Kemudian terjadi deal dealan yang dari harga itu senilai 275 juta rupiah tapi boleh dicicil per bulan 17 juta. Nanti setelah selesai serah terima itu baru pelunasan senilai 50 juta lagi. Saya sangat kesal bahwa pelaku banyak alasan untuk menghidar, entah itu alasannya covid, dan katanya ada perubahan dari kelurahan soal lebar tanah (depan aspal tanahnya harus berubah),” tandas Intan.
Selang beberapa bulan kemudian, Intan curiga. Sebab, banyak tim marketing KTPI itu yang resign sampai membuat kantornya mulai tutup.
“Saya lupa pas transaksi keberapa, saya sudah mulai curiga karena ini kok marketingnya sudah pada mulai resign, dan terakhir-akhir itu kantornya tutup dan pelaku tiba tiba dikabarkan sudah di luar kota. Sehingga, kami kesulitan untuk mencari beliau, hanya bisa lewat WA, telepon, ini karena pelaku jarang banget untuk bertatap muka,” ungkap Intan.
Sama halnya dengan Albert, ia juga meyayangkan tidak sempat berkomunikasi dengan OPD terkait, karena melihat prospek tanahnya yang cukup bagus.
“Memang ini salah satu yang pembelajaran bagi saya, langsung percaya begitu saja. Saya pikir kavling itu sudah jadi miliknya yang kemudian dijual jual gitu, saya kurang periksa ke bidang pertanahan dan sebagainya,” terang Intan.
Intan mengaku sempat berkomunikasi dengan terduga pelaku yakni sekitar 4 bulan yang lalu. Hanya, pelaku selalu menjawabnya dengan mencari alasan untuk menghindar.
“Niatnya saya beli tanah itu buat dibangun rumah. Karena kita lagi mulai menata hidup di Jogja. Istilahnya buat tempat pensiun bisa hidup senang disini. Nah saya pikir, kalau beli rumah jatunya kok mahal. Alhasil belilah tanah itu karena kala itu saya punya uang, tapi sekarang jadinya kan mimpinya saya sudah buyar semua,” papar Intan.
Sekretaris LBH PW GP Anshor, Teguh RM meminta tim penyidik Ditreskrimum Polda DIY segera menemukan pelaku untuk ditemui bersama para korban agar dapat diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu.
Namun, apabila kasus ini tidak sesuai apa yang diharapkan, pihaknya menegaskan akan mengambil tindakan hukum lain tentunya sesuai prosedur.
“Kalau nantinya hasil pengaduan ini tidak sesuai apa yang kita harapkan, tentu kita tetap mengikuti proses hukum yang berlanjut. Tentu kan ada beberapa langkah hukum yang arahnya bisa pakai jalur pidana maupun perdata. Dan saat ini, dimana kita di Polda DIY tentu kita upayakan dalam konteks pidananya dulu. Semoga dari pihak Polda DIY bisa memanggil sekaligus mempertemukan pelaku agar bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap Teguh.
Sebelum melaporkan kasus tersebut ke Polda DIY, para korban sempat ke kantor KTPI yang berada di Jalan Kaliurang KM 10, Gentan, Ngaglik, Sleman. Namun, tidak ada respons bahkan tidak ada terlihat aktivitas kantor. Sehingga, para korban langsung datang ke Polda DIY.
“Kami minta Kementerian Informasi untuk segera menutup akses media sosial yang dibuat oleh KPTI agar tidak ada lagi korban yang tergiur,” terang Teguh.
TIMES Indonesia sempat mendatangi kantor KPTI yang berada di Jalan Kaliurang KM 10, Gentan, Ngaglik, Sleman untuk konfirmasi terkait laporan para korban dan LBH GP Ansor DIY. Namun, jurnalis TIMES Indonesia tak dapat bertemu dengan pengurus dan pegawai KPTI. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |