Viral Seorang Kakek Dipenjara Gegara Pelihara Ikan Aligator Gar, Begini Kata Pakar Hukum Pidana
TIMESINDONESIA, MALANG – Pemberian vonis penjara 5 bulan oleh hakim untuk warga Kota Malang, Piyono (61) gegara memelihara ikan Aligator Gar menyita perhatian publik.
Banyak yang menyayangkan keputusan hakim, lantaran Piyono telah lebih dahulu memelihara ikan yang masuk dalam kategori hewan yang dilindungi itu sebelum ada aturan yang melarangnya.
Advertisement
Dalam keterangan Kuasa Hukum Piyono, Guntur Putra Abdi mengatakan bahwa klienya telah memelihara ikan Aligator Gar itu sejak tahun 2008.
Ikan tersebut dia beli di Pasar Splendid Kota Malang. Sedangkan aturan larangan memelihara Ikan yang bisa berukuran hingga lebih 1 meter itu baru keluar tahun 2020.
Aturan tersebut yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19/PERMEN-KP/2020 Tahun 2020 tentang Larangan Pemasukan, Pembudidayaan, Peredaran, Dan Pengeluaran Jenis Ikan Yang Membahayakan Dan/Atau Merugikan Ke Dalam Dan Dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perikanan.
Majelis hakim menyatakan bahwa Piyono terbukti melakukan tindak pidana perikanan, yakni Pasal 88 Jo Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perikanan Jo PERMEN-KP RI No. 19/PERMEN-KP/2020. Sehingga Hakim memberikan putusan vonis 5 bulan penjara subsider 1 bulan dengan denda Rp 5 juta.
Menanggapi hal ini, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Brawijaya (UB), Dr Setiawan Noerdajasakti SH MH mengatakan, dalam hukum ada asas Nemo ius ignorare consentur yang artinya setiap orang dianggap tahu hukum atau undang-undang.
"Jadi, kalau menurut asas ini, orang yang memelihara satwa dilindungi, maka dia harus menurut aturan yang berlaku sejak 2020 itu. Apakah harus menyerahkan satwa tersebut kepada pihak berwenang, itu tergantung bagaimana rumusan aturan yang ada di situ," ucapnya.
Sehingga jika ada orang yang melakukan tindakan melawan aturan, namun mengaku tidak mengerti bahwa ada aturan yang mengikat hal itu, maka alasan tersebut tidak bisa diterima.
Namun, pria yang juga sebagai Wakil Rektor 3 UB itu juga menegaskan bahwa setiap hal tidak boleh hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Terlebih dalam kasus ini, harusnya ada berbagai aspek yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan.
"Tujuan hukum ada bermacam-macam, ada yang untuk mencapai keadilan, untuk mencapai kepastian untuk memberikan kemanfaatan," tuturnya.
Meski dalam kepastian hukum seorang yang melanggar aturan bisa dipidana, tapi tapi masih ada banyak sisi lain yang bisa dilihat oleh hakim untuk memutus sebuah perkara.
"Salah satunya sisi keadilan. Adilkah seseorang yang memelihara satwa dilindungi itu dengan itikad baik dan memelihara secara baik-baik kemudian dia harus dipenjara?," Tanya pria yang akrab disapa Sakti ini.
Selain itu, hakim seharusnya juga menimbang dari sisi kemanfaatan pemberian putusan terhadap suatu perkara. "Dari sisi kemanfaatan, adakah manfaatnya apabila menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan seperti itu? Hal ini juga perlu dikaji," tegasnya.
Sakti melanjutkan, saat ini keadilan restoratif menjadi pendekatan yang banyak dipakai oleh penegak hukum di Indonesia. Dia menyebut, Kapolri hingga Jaksa Agung telah mengeluarkan aturan restorative justice ini.
"Kalau kita berpegang peda ini, kan sebenarnya bisa penyelesaiannya dilakukan secara restorative justice," tuturnya.
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang disahkan oleh undang-undang nomor 1 tahun 2023 ada sebuah lembaga baru yang namanya Rechterlijk Pardon atau pemaafan yang diberikan oleh hakim.
"Ada baiknya, karena ini untuk kemanfaatan sisi kebaikan dan sebagai, ada baiknya hakim menjatuhkan pemaafan kepada yang bersangkutan, toh undang2 nya sudah berlaku, walaupun masih efektif berlaku 2027. Berikan lah Rechterlijk Pardon pemaafan oleh hakim," ujarnya.
Terakhir Sakti menegaskan bahwa seorang hakim harus mempunyai cakrawalanya keilmuan dan pengetahuan yang luas. Dalam kasus ini, jika memang hakim berpegang teguh pada aturan yang sekarang, harusnya hakim masih bisa memberikan vonis yang lain, yang lebih dekat dengan sisi keadilan dan kemanfaatan.
"Andaikata hakim tetap bergepang pada aturan yang sekarang, berilah pidana bersyarat. Atau pidana percobaan misalnya, kan banyak hal-hal yang kira-kira bisa tetap kesesuaian dengan rasa keadilan di masyarakat," pungkas Sakti. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |