Indonesia Positif

Inilah Respon Novi Basuki Atas Dokumen Polisi Xinjiang yang Beredar di Publik

Jumat, 26 Agustus 2022 - 22:04 | 243.73k
Foto: Novi Basuki. (FOTO: dok. Pribadi for TIMES Indonesia)
Foto: Novi Basuki. (FOTO: dok. Pribadi for TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penulis buku Islam di China Novi Basuki merespon Dokumen Polisi Xinjiang yang beredar ke publik lewat sejumlah media barat dalam beberapa pekan lalu. Dokumen itu diduga bocor atau dihack oleh pihak tertentu. 

Adrian Zenz dari Yayasan Peringatakan Korban Komunis di Amerika adalah salah satu yang menyebarkan dokumen itu ke media. Menurut Adrian, sebagaimana telah disebarkan ke media, dokumen itu berisikan tentang penangkapan dan pemenjaraan massal tanpa proses pengadilan terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang.

Advertisement

Novi Basuki mengatakan bahwa Adrian dan sejumlah media barat telah gagal dalam memahami isi Dokumen Polisi Xinjiang tersebut. Media-media barat banyak mengutip dari dokumen tersebut dari pernyataan bekas Sekjen Partai Komunis China di Xinjiang yang mana patal dalam menerjemahkannya. 

“Jadi media-media Barat terlihat gagal paham,” ungkap Novi dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar oleh Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) sebagaimana dikutip dari siaran pers, di Jakarta, Jumat (26/8/2022).


Padahal, kata Novi jika kita membaca secara jelas teks-tek dokumen yang berbahasa China tersebut adalah dokumen itu secara jelas mengatakan bahwa ada perubahan transformasi kebijakan pemerintah China dalam menghadapi radikalisme, esktremisme, terorisme dan separatisme. 
Pemerintah China telah melakukan perubahan yang revolusioner dari awalnya menggunakan cara-cara keamanan (hard approach), kesejahteraan, dan kemudian ke basis pendidikan (soft approach).

Novi melihat ketika pemerintah China melakukan dengan cara-cara keras dalam menghadapi radikalisme, ekstremisme, terorisme dan separatisme ternyata kurang berhasil. Kemudian diganti dengan pendekatan peningkatan kesejahteraan di masyarakatnya dan ternyata juga dianggap kurang berhasil. 

“Nah yang dilakukan saat ini adalah kebijakan yang ketiga yakni berbasis pada pendidikan yang oleh media Barat disebut camp konsentrasi padahal itu adalah sekolah vokasi atau pusat reedukasi yang didalamnya ada peningkatan kemampuan bahasa nasionalis China dan peningkatan kemampuan skilnya,” terang Novi.

Novi mengatakan bahwa mereka yang masuk dalam pusat reedukasi ini adalah yang melakukan pelanggaran dalam hukum di China yang mana dibagi menjadi dua kategorisasi: pelanggaran berat dan ringan. 
Untuk pelanggaran berat yang mana mereka telah terbukti melakukan aksi-aksi terorisme akan diberikan hukuman terlebih dahulu. Setelahnya baru dimasukan ke pusat reedukasi. Sementara, kata Novi, untuk mereka yang melakukan pelanggaran ringan tidak ada hukuman.“Mereka langsung dimasukan ke pusat reedukasi,” ungkap Novi.

Direktur IMCC Robi Sugara mengatakan bahwa pusat reedukasi atau sekolah vokasi tersebut dalam konteks Indonesia mirip dengan Pusat Deradikalisasi yang saat ini dimiliki oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Pusat Rehabilitasi yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional yang ada di beberapa propinsi di Indonesia.

Kemudian Direktur Sino-Nusantara Insititut Ahmad Syaifuddin Zuhri mengatakan bahwa pusat reedukasi atau sekolah vokasi tersebut adalah bentuk ikhtiar pemerintah China dalam menanggulangi radikalisme, terorisme dan seperatisme.

“Kita tahu bahwa setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika, seluruh dunia termasuk China menghadapi ancaman yang serupa dari terorisme,” ungkapnya.

Namun Novi mengatakan bahwa pusat reedukasi di China memiliki fasilitas ruangan ber-AC, diberikan uang saku sekitar 15 yuan dan juga makan-makanan yang layak. “Saya tidak tahu jika dibandingkan dengan Pusat Rehabilitasi milik BNPT soal fasilitas,” demikian Novi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES