Menilik Potret, Kontribusi, dan Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pertanian Indonesia dalam Riset Terkini BKMP UNAIR

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Eksklusivitas masih menjadi isu yang menghambat pencapaian kesetaraan gender di Indonesia, terutama di sektor-sektor kunci seperti pertanian. Peranan perempuan petani cukup esensial, dimulai dari pengolahan lahan, pemasaran hasil panen bahkan hingga pengelolaan keuangan hasil panen. Ketidaksetaraan gender masih mengakar kuat di sektor pertanian, seperti perempuan memperoleh upah lebih rendah dan akses sumber daya produktif yang masih terbatas. Kondisi ini menjadi bukti belum terwujudnya prinsip GEDSI (Gender Equality, Disability, and Social Inclusion) yang menekankan pentingnya pemberdayaan dan partisipasi perempuan belum sepenuhnya terwujud, salah satunya di sektor pertanian.
Merujuk pada kondisi tersebut, tim peneliti BKMP UNAIR melakukan penelitian mengenai “Pemberdayaan Perempuan di Sektor Pertanian”. Penelitian yang bekerja sama dengan INKLUSI (Kemitraan Australia – Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) serta ‘Aisyiyah tersebut mengungkap potret mendalam tentang kondisi petani perempuan di Indonesia. Empat daerah dipilih sebagai lokus penelitian, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Garut, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Kolaka.
Advertisement
Riset ini mengkolaborasikan dua metode, yakni kuantitatif (pengujian statistik data survei) dan kualitatif (focus group discussion dengan stakeholder terkait). Hasil survei ini telah dipaparkan dalam hadapan ‘Aisyiyah sebagai mitra CSO (civil society organization), stakeholder terkait di empat lokus penelitian, perwakilan pemerintah pusat, dan akademisi pada rangkaian diseminasi penelitian, Agustus - Oktober 2024. Selain memaparkan hasil penelitian, rangkaian acara diseminasi ini juga mencakup sesi diskusi dengan para pemangku kepentingan untuk mendapatkan umpan balik dan merumuskan rekomendasi yang lebih komprehensif.
Mayoritas responden perempuan petani berusia 45-54 tahun (usia produktif), sebagian besar menggarap lahan sendiri, sisanya berstatus buruh tani atau keduanya. Komitmen perempuan petani di sektor pertanian Indonesia dibuktikan dengan jumlah waktu yang mereka habiskan di lahan pertanian. “Hampir 42% perempuan petani bekerja antara 5 hingga 8 jam sehari, bahkan lebih dari 15% bekerja diatas 8 jam sehari. Bahkan, saat hamil dan menyusui, sebagian responden masih semangat untuk bertani. Ini menunjukkan dedikasi tinggi perempuan pada kegiatan pertanian,” ungkap Shochrul Rohmatul Ajija, S.E., M.Ec., salah satu peneliti, dalam paparan kepada pemerintah pusat 9 Oktober lalu.
Meskipun kontribusi perempuan di sektor pertanian tidak terbantahkan, sebagian besar perempuan petani tidak mencantumkan petani/pekebun pada kolom pekerjaan di KTP mereka. Salah satu peneliti, Rumayya, SE., M.Reg. Dev., Ph.D. dalam diseminasi yang dihadiri oleh akademisi di Surabaya 28 Oktober lalu menyatakan,“Di Garut dan Kolaka, lebih dari 87% perempuan petani memilih mengurus rumah tangga sebagai pekerjaan di KTP. Persentasenya menurun di Probolinggo, yakni mencapai 75%. Untuk Lahat, persentasenya jauh lebih rendah, yakni sebanyak 41%.” Jika ditelaah lebih mendalam, persentase tersebut bisa menjadi indikasi banyak perempuan petani yang belum menyadari pentingnya peran mereka dalam pertanian.
Keterlibatan dalam organisasi menjadi isu spesifik bagi Kabupaten Probolinggo. Keikutsertaan perempuan petani Probolinggo di kelompok tani jauh lebih rendah dibanding ketiga lokus penelitian lainnya. Terungkap pula isu lain di Garut, yakni frekuensi bantuan untuk kelompok tani yang dirasa masih jarang diterima oleh perempuan petani. Tak berbeda dengan Garut, perempuan petani di Kolaka menyatakan, bantuan yang paling dibutuhkan selain akses bibit dan pupuk adalah pelatihan dan akses informasi usaha tani. Di Lahat, hampir 94% responden menyatakan pernah mengalami kerugian. Selaras dengan fakta tersebut, persentase perempuan petani Lahat yang menyisihkan hasil panen untuk ditabung, paling rendah dibandingkan rata-rata nasional. Untuk Kolaka, tantangan yang dihadapi oleh perempuan petani berasal dari kondisi eksternal, seperti akses bibit serta seringnya mengalami kerugian karena anjloknya harga komoditas pertanian.
Tingkat keberdayaan perempuan petani Indonesia dihitung menggunakan Women’s Empowerment in Agriculture Index (WEAI). Martha Ranggi Primanthi, S.E., MIDEC., Ph.D., ketua tim peneliti, dalam diseminasi di hadapan Pimpinan Pusat dan Daerah ‘Aisyiyah menyatakan, sebanyak 84 persen perempuan petani di wilayah penelitian masih mengalami ketidakberdayaan. Kondisi ini terkait dengan keterbatasan dalam pengambilan keputusan produksi, otonomi dalam kegiatan pertanian, akses dan keputusan mengenai kredit, kemampuan berbicara di depan umum, serta waktu luang. Namun, perempuan petani menunjukkan keberdayaan di bidang keuangan, termasuk dalam hal pengelolaan pendapatan dan kepemilikan aset. Selain itu, aspek keberdayaan lainnya terlihat pada beban kerja dan keterlibatan dalam kelompok masyarakat.
“Lahat dan Kolaka menjadi kabupaten dengan persentase perempuan berdaya paling tinggi, yakni 21%, kemudian Kabupaten Probolinggo sebanyak 19%. Garut menjadi kabupaten dengan persentase perempuan tidak berdaya paling tinggi, dengan persentase yang sama dengan keseluruhan sampel,” pungkas Martha.
Lalu, apa pentingnya pemberdayaan perempuan di sektor pertanian? Hasil pengujian statistik menunjukkan, pemberdayaan perempuan di sektor pertanian dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap BPJS dan mengurangi ketergantungan pada bantuan pemerintah (PKH dan BPNT). Selain itu, pemberdayaan perempuan juga membantu mengurangi permasalahan administrasi yang dihadapi petani perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian mengenai potret perempuan petani Indonesia, tingkat ketidakberdayaan mereka, didukung dengan hasil FGD bersama para pemangku kepentingan, menghasilkan sejumlah rekomendasi. "Pemberdayaan perempuan dapat ditingkatkan melalui program seperti akses pemasaran digital dan akses kredit," ujar Muhammad Syaikh Rohman, S.E., M.Ec., salah satu peneliti. Rohman juga menekankan pentingnya pelatihan untuk meningkatkan nilai tambah produk, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, dan kepemimpinan. Selain itu, tim peneliti menegaskan perlunya program khusus bagi perempuan petani usia lanjut, mengingat penurunan keberdayaan setelah masa produktif.
Rangkaian diseminasi laporan akhir penelitian menghasilkan berbagai umpan balik serta rekomendasi dari stakeholder terkait. Dalam diseminasi di Probolinggo (9/9/24), isu yang menjadi sorotan utama para undangan adalah pendidikan serta peran ganda perempuan. Sesi diskusi ini menyimpulkan, pentingnya peningkatan akses pendidikan non formal serta edukasi kepada suami atas pentingnya pembagian peran domestik dalam rumah tangga. Pada diseminasi Garut (13/9/24), perwakilan perempuan petani menekankan pentingnya menjaga ‘api’ semangat para perempuan petani dengan pemberian kebijakan pertanian yang pro perempuan. Pokok bahasan yang sama juga ditegaskan pada diseminasi Lahat (25/9/24). Pemangku kebijakan yang hadir di diseminasi Kolaka (1/10/24) menggarisbawahi pentingnya pelatihan literasi keuangan dan manajemen pertanian bagi perempuan petani.
Perwakilan pemerintah pusat juga memberikan berbagai umpan balik untuk mempertajam hasil dan rekomendasi penelitian, salah satunya yaitu pemberian rekomendasi taktis yang langsung tertuju pada kementerian/lembaga terkait. Perlu juga ditekankan pentingnya koordinasi antar lembaga dalam laporan penelitian, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Dari sudut pandang akademisi, pemberdayaan perempuan ini penting untuk dioptimalkan karena berkaitan dengan berbagai indikator SDGs, salah satu yang utama adalah mengakhiri kelaparan dan memastikan semua orang memiliki akses terhadap makanan yang aman, bergizi, dan cukup. Selain itu, perempuan menghadapi hambatan yang berbeda dengan laki-laki, sehingga perlu penajaman analisis pada hambatan-hambatan tersebut.
Penelitian ini telah membuka berbagai fakta dan poin-poin mengenai pentingnya pemberdayaan perempuan di sektor pertanian. Pemberdayaan perempuan menjadi sebuah agenda yang harus diupayakan untuk meminimalisir ketidaksetaraan gender dan meningkatkan produktivitas sektor pertanian, mengingat komitmen dan dedikasi perempuan yang tinggi di sektor ini. Untuk mencapai kesetaraan yang sejati, perlu ada dukungan kebijakan dan program yang mendukung keterlibatan perempuan secara aktif dan setara dalam berbagai aspek, baik sosial maupun ekonomi, sesuai dengan prinsip Inklusi, yakni “Noone left behind-Tidak ada seorang pun yang tertinggal”.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |